Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Enam Faktor Penyebab Asuransi Terasa Berat

4 April 2015   20:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:32 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_407649" align="aligncenter" width="300" caption="Masih banyak orang di Indonesia yang ragu untuk memiliki polis asuransi (Gambar: www.belanjasehat.com)"][/caption]

Sebagai warga Kota Bogor yang sering mengalami hujan tiba-tiba, saya jadi terbiasa (awalnya terpaksa) membawa payung ke mana-mana.Bahkan di hari cerah sekalipun.Rasanya ada yang belum lengkap dibawa jika payung belum dimasukkan ke dalam tas.

Asuransi mirip dengan payung.Sangat bermanfaat saat hujan lebat.Tapi tetap saja masih banyak orang malas membawa payung atau jas hujan saat pergi keluar rumah.Bukankah dari dulu sudah ada pepatah bijak yang berbunyi: “Sedia payung sebelum hujan.”

Jikalau begitu, lalu kenapa masih banyak anggota masyarakat yang berat berasuransi?Padahal sejatinya asuransi adalah perlindungan diri.Aneh rasanya jika seseorang tidak bersedia menjaga keselamatan dirinya sendiri.

Jelas ada faktor-faktor penyebab masih sedikitnya jumlah masyarakat di Indonesia yang tertarik untuk memiliki asuransi.Faktor tersebut secara garis besar dapat dibagi dua yaitu faktor internal dan eksternal yang ada pada diri seseorang.Berikut ini penjelasan dari masing-masing keenamfaktor asuransi masih terasa berat untuk kebanyakan orang.

Faktor Internal (Faktor yang berasal dari dalam diri seseorang)

1.Asuransi belum dianggap kebutuhan primer

Saat disebut kebutuhan primer, biasanya orang akan menjawab dengan cepat: Sandang, pangan, dan papan.Setelah tiga prioritas utama kebutuhan seseorang tersebut terpenuhi, barulah kebutuhan sekunder dan tersier yang akan dipenuhi.Kepemilikan kendaraan bermotor, alat-alat elektronik, gadget komunikasi, rekreasi, jalan-jalan, dan masih banyak lagi kebutuhan lainnya yang bisa saling bertukar tempat antara kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan gaya hidup dan kondisi keuangan seseorang.

Sayangnya, kini banyak orang yang lebih mengutamakan gengsi daripada perlindungan dirinya sendiri.Bukti paling gampangnya kita pasti sering menemukan orang yang bergonta-ganti kendaraan atau gadget sesuai trend yang sedang terjadi saat ini.Tapi, jika orang tersebut ditanya, apakah sudah memiliki polis asuransi, sangat mungkin jawabannya adalah ‘tidak’ atau ‘belum’.Selanjutnya, jika ditanya lagi, berminatkah memiliki polis asuransi, peluangnya bisa fifty-fifty antara jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’. Sepertinya memiliki asuransi gengsinya masih kalah dengan jika mempunyai smartphone keluaran terbaru.

2.Malas mengurus prosedur asuransi

Di kantor saya yang kedua, semua karyawan langsung dan pasti memiliki asuransi kesehatan dari BPJS.Pendaftarannya diurus oleh pihak kantor ketika seseorang mulai bekerja di sana.Saya sangat bersyukur karena asuransi kesehatan tersebut pembukaannya diurus oleh kantor sehingga saya tidak perlu repot-repot mengurusnya seorang diri.Setahu saya, tidak semua kantor memberi keuntungan (benefit) kepada karyawannya dengan menyediakan fasilitas asuransi kesehatan sehingga karyawan harus mengurusnya sendiri, seperti di tempat saya yang pertama kali bekerja.Manajemen perusahaan di kantor saya yang pertama memang sudah menganjurkan para karyawannya membuka asuransi secara pribadi sesuai dengan perusahaan asuransi yang diminatinya.

Meskipun begitu, ketika seseorang sudah mulai bekerja, belum tentu dia otomatis terpikir untuk memiliki asuransi dengan mengurusnya sendiri jika tempat kerjanya tidak memfasilitasinya.Kredit rumah dan mobil atau motor yang umumnya menjadi incaran bagi para pekerja baru.Lalu, bagaimana dengan memiliki polis asuransi? Kemungkinan besar jawabnya, “Nanti dulu.Asuransi bisa menunggu.”Nah, kalimat seperti itulah yang banyak saya dengar dari tempat saya bekerja pertama kali selepas kuliah S1, bahkan dari pegawai yang sudah lama bekerja dan memiliki keluarga.

3.Lebih memilih investasi daripada asuransi

Fakta itu saya dapati dari kantor saya yang sebelumnya dan juga sekarang.Ada staf senior yang saya pernah dengar berkata: “Kalau kantor menawarkan untuk memilih antara memiliki asuransi atau investasi, jelas saya lebih memilih investasi.Jelas hasilnya!”

Ya, para karyawan banyak yang melihat memiliki investasi (terlihat) lebih menguntungkan dibanding asuransi.Mereka berpikir, dengan berinvestasi, jumlah uang atau aset mereka yang diinvestasikan akan berlipat-ganda dalam kurun waktu tertentu.Sementara itu, dengan asuransi, jika tidak terjadi pengajuan klaim asuransi, maka mereka merasa rugi karena telah membayar premi asuransi.

[caption id="attachment_407655" align="alignnone" width="384" caption="Jangan pernah ragu untuk memiliki asuransi kesehatan (Gambar: http://www.koran-jakarta.com)"]

14281538391237535232
14281538391237535232
[/caption]



Faktor Eksternal (Faktor yang berasal dari luar diri seseorang)

1.Pertimbangan dan latar belakang keluarga

Masyarakat Indonesia sebagian besar masih berhubungan erat dan dekat dengan keluarga besarnya sehingga jika terjadi musibah mendadak, mereka bisa mengandalkan pertolongan dari para keluarga yang ada.Rekan kerja saya ada yang pernah bercerita, di keluarga besarnya memiliki asuransi itu dianggap menyerupai budaya orang Barat yang individualis.Menurut keluarga besarnya, asuransi tidak sesuai dengan norma orang Timur yang sangat kental suasana gotong-royong serta tolong-menolongnya di antara sanak-saudara dan handai-taulan.

Itu baru dari segi budaya.Faktor agama pun turut berpengaruh dalam kepemilikan polis asuransi dalam keluarga di Indonesia.Ada keluarga yang lebih memilih berasuransi konvensional saja.Tak sedikit pula yang hanya mau membuka asuransi syariah. Banyak juga yang tak masalah mempunyai asuransi konvensional selama itu memang kewajiban dari kantor.Tetapi, jikalau kantor tidak mengurusnya, maka mereka lebih condong untuk berasuransi syariah.Maka bisa dibayangkan, seandainya dalam satu keluarga tidak terdapat satu suara antara memiliki vs tidak memiliki asuransi atau asuransi konvensional vs asuransi syariah, maka tidak tertutup kemungkinan, kepemilikan asuransi ujung-ujungnya sebatas menjadi wacana berupa debat kusir.

2.Risih dengan iming-iming agen asuransi

Faktor eksternal kedua inilah yang dalam waktu sembilan bulan terakhir inilah sudah dua kali saya alami sendiri.Kedua agen asuransi dari dua perusahaan yang berbeda tersebut menawarkan saya berbagai jenis produk asuransi yang sangat menggiurkan profitnya dari sisi finansial.Saya sampai sempat berpikir saat mereka mengiming-imingi saya dengan keuntungan berupa besarnya rezeki yang kelak saya terima jika membuka polis asuransi melalui mereka: “Ini sebenarnya tawaran asuransi atau investasi?”

Tidak hanya itu saja.Ketika saya menjawab secara diplomatis dengan alasan masih belum berminat memiliki asuransi secara pribadi karena sudah difasilitasi dari kantor, penawaran mereka ke saya kemudian terasa menjurus pada pemaksaan terselubung.Lagi-lagi tentunya dengan iming-iming nominal rupiah yang fantastis dari produk asuransi yang mereka tawarkan.Bukannya tambah berminat untuk berasuransi melalui mereka, saya malah ketakutan dengan janji manis itu.Alasan bahwa dana saya belum cukup saat ini untuk bisa teratur membayar premi asuransi akhirnya membuat mereka mundur teratur.

3.Kabar tentang asuransi di lingkungan sekitar

Beredarnya kabar miring serta simpang-siur di masyarakat tentang pengurusan klaim asuransi yang berbelit-belit juga menambah faktor masih terasa beratnya berasuransi di Indonesia.Belum lagi tentang adanya agen asuransi yang jauh lebih tertarik untuk mengejar komisi dengan semakin banyaknya orang yang membuka asuransi melalui mereka daripada peduli dan fokus dengan motivasi serta kebutuhan dari calon pemegang polis yang hendak memiliki asuransi.Hal seperti itulah yang pernah saya rasakan sendiri saat ditawari produk asuransi oleh dua agen asuransi dari perusahaan yang berbeda.

Padahal, tidak sedikit berita baik tentang perusahaan asuransi yang mempermudah administrasi klaim asuransi dari pemegang polis di perusahaan mereka.Begitu pula dengan agen asuransi yang bertugas secara profesional dan penuh etika.Ya, maklum saja.Ketika berita buruk berlari, berita baik merayap.

Itulah enam faktor yang berhasil saya rangkum dari pengalaman pribadi dan juga orang lain tentang penyebab masih terasa beratnya berasuransi.Namun, saya ingin berbagi kisah indah tentang kepemilikan asuransi.Salah seorang rekan kerja saya yang enam bulan lalu dirawat inap karena penyakit asma dan maag kronisnya memburuk, mengaku sangat bersyukur dengan tersedianya asuransi kesehatan dari kantor.

Saat menjenguknya di RS, sambil tersenyum dia berujar, “Dulu saya sering sebal setiap melihat slip gaji yang mencantumkan keterangan biaya asuransi.Toh, saya kan tidak bisa mengklaimnya untuk rawat jalan.Ternyata, sekarang saya bersyukur sekali karena kantor memotong gaji untuk asuransi kesehatan.”

Sampai saat ini, syukur Alhamdulillah, saya belum pernah dirawat inap sehingga fasilitas asuransi kesehatan dari kantor belum pernah terpakai.Tapi, saya pastinya sepakat dengan pendapat rekan saya di atas tentang prinsip ‘sedia payung sebelum hujan’ dengan memiliki asuransi.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun