Mohon tunggu...
Nida Basyariyyah
Nida Basyariyyah Mohon Tunggu... Guru TK -

Seorang penulis pemula yang ingin membentangkan sayapnya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"The Secret of Cassandra" (Part 2)

22 Maret 2019   08:24 Diperbarui: 25 Maret 2019   06:56 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Part-2

The Secret of Cassandra

 Oleh: Nida Basyariyyah

"Loe kapok kenapa, Yo?" Beni tak henti bertanya meskipun sudah diberi kode untuk diam oleh Toni.

"Diem, Ton. Enggak usah nyikut gue. Sakit tau! Gue mau nyembuhin Ryo. Biar dia bahagia," ungkap Beni tulus.

Mendengar alasan Beni, Ryo pun tertawa terbahak-bahak. Toni dan Beni terdiam untuk kedua kalinya. Mereka terkejut karena melihat Ryo tertawa dengan lepas. Akhirnya mereka pun ikut tertawa bersama.

Ryo memang selalu memasang wajah ketus dan tidak bersahabat pada siapapun, termasuk kedua teman dekatnya. Maka mereka heran saat melihat Ryo yang mendadak tertawa. Seperti melihat makhluk luar angkasa yang mendarat di bumi, begitulah yang ada di pikiran mereka saat itu.

"Yo, Loe kalo ketawa tambah ganteng. Gue yakin semua cewe di sekolah ini bakal semakin tergila-gila sama Loe kalo liat." Toni berkata dengan blak-blakan. Membuat mereka bertiga tertawa kembali.

"Jadi, gimana ceritanya, Yo?" Kali ini Beni sudah tidak sabar mendengar alasan Ryo.

Kenangan Ryo dengan seseorang pun terlihat jelas di ingatannya. Bagai memutar sebuah video rekaman. Masih teringat jelas semua tentang perempuan cantik dan cerdas yang selalu membuatnya terpesona. Ryo pun mulai menceritakan semua kepahitannya.

                                   ***

"Sandra! Tungguin, dong! Kamu curang, nih," panggil Ryo pada Cassandra, sahabatnya sejak kecil.

"Siapa yang curang? Kamunya aja yang lemah!" ledek Sandra yang menambah kecepatan larinya.

Mereka berdua sudah bersahabat sejak kecil karena tinggal di daerah yang sama, Citayam. Setiap berangkat ke sekolah, mereka selalu bersama dan saling bersaing untuk tiba lebih dahulu. Hingga duduk di sekolah menengah pertama, mereka tetap melakukan kegiatan bersama. Terkadang beberapa teman mereka merasa iri. Pernah suatu hari, seorang siswa SMP yang menyukai Sandra terpaksa bertengkar dengan Ryo hanya karena cemburu.

"Yo, kamu kemarin berantem ya sama Rudi?" Sandra bertanya.

"Kenapa? Kamu gak suka? Abis dia duluan sih," sungut Ryo dengan wajah masam.

"Kenapa kamu lawan? Biarin aja nanti juga ketahuan sama guru siapa yang mulai," saran Sandra yang semakin menambah rasa marah pada Ryo.

"Yo! Kok pergi?" Ryo meninggalkan Sandra.

Masa-masa indah itu pun berubah saat Sandra pindah ke Jakarta, ikut dengan keluarga pamannya. Karena ayah Sandra saat itu sedang sakit keras dan kondisi keuangan mereka sangat minim. Sehingga pamannya yang belum memilili keturunan berinisiatif untuk mengajak Sandra tinggal di Jakarta.

Beberapa minggu sejak kepindahan Sandra ke Jakarta, Ryo masih sering bertukar surat dengannya. Namun pada bulan ketiga, surat Ryo mulai tak terbalaskan. Hingga pada hari kelulusan, ia bertekad untuk menyusul sahabat kecilnya dan bersekolah di Jakarta. Dengan meminta izin pada kedua orang tuanya ia berangkat. Berbekal alamat dari surat Sandra selama ini, ia pergi untuk menemuinya.

Ryo berangkat menggunakan kereta listrik. Meskipun ini pengalaman pertama ia pergi jauh, tapi tidak menyurutkan langkahnya. Alamat Sandra cukup jelas. Ia tinggal di sebuah kontrakan bersama keluarga pamannya, di daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Namun, ia sedikit bingung saat melihat peta digital melalui aplikasi pada gawainya. Alamat pada surat tak ditemukan di peta digital. Entah mengapa hatinya yakin, bahwa ia pasti dapat menemukannya meskipun di peta digital tak ada.

Setibanya di stasiun Rawa Buaya, Ryo segera meminta tukang ojek pangkalan menuju alamat yang tertera pada surat. Beruntung, tukang ojek tersebut sudah bertahun-tahun melayani penumpang menuju alamat yang Ryo berikan.

"Adek dari mana?" tanya tukang ojek yang bernama Pak Parjo saat di perjalanan.

"Saya dari Citayam, Pak."

"Citayam mah deket, ya. Istri saya juga dari sana asalnya. Sekarang jualan nasi di deket stasiun. Lumayan buat nambah uang belanja." Obrolan antara mereka pun berlanjut.

Hati Ryo sangat senang. Berulang kali ia membayangkan pertemuannya dengan Sandra. Meskipun mereka tidak pernah mengutarakan perasaan, tapi ia yakin Sandra pasti menyukainya juga. Ryo berjanji dalam hati, setelah lulus SMU akan mengatakan apa yang selama ini dirasakannya.

Motor terus melaju melewati gang-gang kecil. Banyak anak kecil berlarian tanpa alas kaki dengan tubuh penuh tanah. Melihat keriangan mereka membuat Ryo pun teringat masa kecilnya dengan Sandra.

"Nomor 27 ya, Dek? Rumah ini kayaknya, deh." Pak Parjo menghentikan motornya dan menunjuk pada sebuah kontrakan kecil yang sedikit tak terawat.

"Oh iya, Pak. Bener. Ya udah, makasih ya, Pak. Ini ongkosnya." Setelah memberi ongkos pada tukang ojek, Ryo segera mengetuk rumah tersebut.

Ketukan pertama tak ada yang menjawab. Ryo pun mengulang dengan menambah tekanan pada ketukannya, berharap si pemilik rumah mendengar.

"Cari siape, Tong?" Seorang ibu muda yang sedang mengandung bertanya seraya menghampiri Ryo.

"Permisi, Bu. Benar ini rumah Pak Rino?" tanya Ryo yang mengetahui nama paman Sandra.

"Oh, orangnye udeh pindah. Lu siapenye?"

"Saya saudara jauhnya. Kira-kira pindah ke mana ya, Bu?"

"Lah, aye juga kagak tau, Tong. Kalo kagak salah, anaknye si Sandra tekdung deh. Eh, maap ye, aye keceplosan dah tuh."

Ryo mengerutkan dahi. "Tekdung itu apa, Bu?" tanyanya polos.

Ibu muda tersebut menjawab dengan memperlihatkan perutnya. Ryo terkejut. Ia yakin itu tidak mungkin. Tak lama datang seorang remaja perempuan mengenakan seragam sekolah.

"Nah, lu tanya dah sama nih cewe. Pan si Sandra tekdung ye, Sus?"

"Sandra? Abang cari Sandra?" tanya Susi, remaja yang lewat.

"Mbak kenal sama Sandra?" Ryo mulai bersemangat kembali.

"Dia udah pindah, Bang. Saya adek kelasnya. Dulu pernah deket sama Sandra. Eh, nama Abang siapa? Ryo bukan?" Ryo menganggukkan kepala dengan cepat. Ia berharap adanya kabar gembira dari Sandra melalui Susi ini.

"Bentar, saya ke rumah dulu. Ada sesuatu buat Abang." Ia bergegas ke rumahnya, tak jauh dari kontrakan Sandra yang kini tak berpenghuni. Ibu muda masih mengawasi dan menatap Ryo dengan wajah selidik.

"Lu bener sodaranye? Kok lu kagak tau die udeh tekdung?" selidiknya. Ryo hanya tersenyum tanpa menjawab apa-apa.

"Udeh ah, Mpok. Napa dibahas mulu dah. Sandranya juga udah gak di sini, kan," bela Susi yang kini sudah kembali membawa sepucuk surat.

"Ini, Bang." Ia menyerahkan pada Ryo. "Pas habis dia pindah saya disuruh Babeh buat cek kontrakan eh nemu surat, kayaknya ketinggalan. Saya pikir dia bakal cariin, tapi pas ditanya katanya suruh bakar aja. Kagak sengaja saya baca, kayaknya isi suratnya penting. Makanya saya kagak apa-apain," jelasnya.

"Makasih ya. Kalau begitu saya pamit dulu. Permisi," pamit Ryo pada Susi dan ibu muda yang senang bergosip.

"Eh, Bang. Di sini susah cari tukang ojek, saya anterin aja, gimana? Abang mau ke mana?" usul Susi.

Ryo bingung. Ia pun tak memikirkan akan tinggal di mana. Awalnya ia berpikir akan mencari tempat tinggal dengan ditemani Sandra. Namun, ternyata perkiraannya meleset.

"Bang!" tegur Susi. Ryo pun akhirnya menjelaskan permasalahannya.

"Pas banget kalo gitu. Ini kontrakannya kan kosong, Abang mau tinggal di sini?" Susi menawarkan. "Kebetulan, Babeh saya yang punya kontrakan. Abang nanti temuin Babeh aja," lanjutnya.

Ryo pun menanyakan harga sewanya yang ternyata cukup rendah karena ukuran kontrakan yang hanya cukup untuk ditempati oleh satu hingga tiga orang dan lokasi yang jauh dari jalan raya. Ia menyesal tidak mendengar saran dari orang tuanya saat akan berangkat. Namun, di sisi lain ia bersyukur bertemu Susi anak juragan kontrakan.

Usia Susi selisih satu tahun dari Ryo. Saat ini ia naik ke kelas XI di SMU Teladan. Melalui Susi pula Ryo akhirnya dapat bersekolah di SMU Teladan. Namun, setelah menjadi siswa di sekolah tersebut, tak pernah ia bertemu dengan Sandra. Ia pun teringat akan surat yang Susi berikan saat pertama kalinya mereka bertemu.

*Dear, Ryo. Sahabat kecilku yang kini semakin memesona.

Maafkan aku ya, Yo. Mulai saat ini aku mohon padamu untuk melupakan tentang kita. Aku tahu kamu memiliki rasa suka. Karena aku juga suka sama kamu. Tapi, kita enggak bisa bersama, Yo. Aku sudah tidak pantas untuk dicintai kamu. Aku hamil dan ... aku enggak tau harus minta tolong ke siapa? Beruntung om Rino dan tante Tati masih mau menerimaku. Tapi tetangga? Apalagi kamu, Yo. Aku udah gak kayak dulu lagi. Jadi, tolong lupain aku, selamanya.

I love you, Ryo. Maafkan aku.*

Bagai mendengar halilintar di siang hari yang terik, begitupun dengan apa yang Ryo rasakan. Ia terkejut setelah membaca surat itu. Ternyata betul apa yang digunjingkan para tetangga. Ia bingung, apakah harus marah dan membenci? Atau mengasihani Sandra? Ia berteriak dan meratapi apa yang telah terjadi pada Sandra.

Malamnya, Ryo tak mampu memejamkan mata. Pikirannya selalu membayangi Sandra. Ia ingin menemui Sandra dan mengatakan 'tidak apa-apa' tapi hatinya sakit. Ia pun tak tahu keberadaan Sandra. Saat bertanya pada Susi, jawabannya pun sama. Ia terakhir kali bertemu saat kelulusan kelas XII, kakak kelas mereka bernama Ana yang juga sahabat Sandra. Sejak itu Susi tak pernah melihat Sandra lagi di sekolah.

Hati Ryo terlalu sakit. Ia tidak ingin kembali pulang ke rumah dan mengecewakan kedua orang tuanya. Biarlah ia menetap di Jakarta hingga selesai sekolah. Namun hari-harinya ia isi dengan perbuatan yang sangat jauh dari moral. Ia kumpul bersama para preman dan geng motor. Ia pun sempat menyicipi minuman keras hingga dipukuli oleh para preman dan geng motor karena kalah dalam taruhan. Ia lampiaskan seluruh kemarahannya pada Sandra melalui perempuan lain dengan menggoda hingga merusak mereka.

Babeh Susi mengetahui ulah Ryo yang melampaui batas. Beliau marah, menampar Ryo dan mengancam akan mengusirnya. Susi yang merasa kasihan turut mengingatkan Ryo bahwa semua ini belum berakhir. Meskipun Ryo tidak dapat menemukan Sandra bukan berarti sekolahnya gagal. Ryo diingatkan, bahwa kedua orang tuanya mengharapkan keberhasilan anaknya. Akhirnya setelah lima bulan dalam kondisi mengenaskan, Ryo pun mulai bangkit.

Ia datang ke sekolah dengan tekad baru, berhasil dalam pendidikan dan menjadi orang yang dingin terhadap semua perempuan. Saat itulah ia bertemu dengan Toni dan Beni yang selalu membolos dan menggoda siswa perempuan di sekolah. Sejak itu ia mulai membentuk geng bernama 'Ribut'. Entah dari mana asal mulanya, seingat Ryo saat pertama kali mendengar pertanyaan Beni yang tak pernah berhenti.

Prinsip Ryo, meskipun ia nakal tapi berakal. Ia memang memiliki masa lalu yang suram selama beberapa bulan. Namun, bukan berarti ia tidak bisa bangkit dari ketepurukan. Kelak jika dipertemukan kembali dengan Sandra, hal itu yang akan ia katakan padanya.

"Hai, Sandra! Lihat aku yang bergelimang dosa tapi masih bisa bangkit. Kenapa malah merutuki diri sendiri hanya karena kamu pernah hamil?"

                                            ***

"Jadi loe dulu badung, Yo? Wah, baru tau gue. Ternyata pas kita ketemu lo baru tobat?" celetuk Toni setelah mendengar cerita Ryo di masa lalu. Ia hanya mengangguk dan menundukkan kepalanya.

Ryo merasa malu dengan masa lalunya. Ia sengaja bersikap dingin terhadap setiap perempuan karena tidak ingin menyakiti mereka seperti dulu. Meskipun hatinya masih sakit dan terluka akibat pengkhianatan Sandra, tapi ia memaafkan gadis itu. Ia pun tidak ingin mengulang hal yang sama. Dengan bersikap acuh, dingin dan ketus terhadap lawan jenis mampu membuat jarak di antara mereka.

"Trus, hubungan loe sama Susi, gimana?" Rupanya Beni penasaran dengan anak juragan kontrakan.

"Enggak ada hubungan apa-apa. Gue malah berterima kasih sama dia. Kalo aja waktu itu dia gak nyadarin gue, mungkin Cindy udah jadi korban selanjutnya." Ryo mengucapkan seraya menatap Toni.

Melihat ekspresi Ryo, Toni menelan ludahnya dan bergidik ngeri. Membayangkan Ryo jadi seorang playboy yang kejam dan tak bermoral. Ternyata ketampanan Ryo tak sebanding dengan sikapnya di masa lalu. Hatinya pun dipenuhi dengan amarah dan kebencian terhadap perempuan. Sehingga ia menjadi dingin. Meskipun alasannya tak ingin merusak mereka.

"Yo, move on, dong!" Beni menasihati dan menepuk pundak Ryo yang membisu.

Dalam keheningan, Ryo kembali mendengar suara tangis seorang perempuan. Tangis itu sangat menyayat hati. Seolah merasakan apa yang ada dalam hati Ryo saat ini. Sakit hati dan luka lama Ryo kembali terbuka. Ia mendadak teringat pada Sandra. Tangisan ini seperti suara Sandra saat kecil dulu. Samar-samar ia mendengarkan dan semakin lama terasa nyata.

"Yo, kenape lagi lu?" Toni melihat ekspresi wajah Ryo yang berubah.

-bersambung-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun