Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyetop Percaya Hoaks Dimulai dari Pola Pendidikan Anak

15 Oktober 2019   00:22 Diperbarui: 15 Oktober 2019   00:37 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru saja saya menonton channel YouTube Gita Savitri Devi yang membahas tentang kuliah di Jerman. Ia mengambil jurusan yang berhubungan dengan IPA. Di Jerman, katanya, memiliki perbedaan cara pembelajaran suatu materi dengan di Indonesia.

Misalkan, Matematika ataupun Fisika, di Indonesia, kita sudah memiliki rumusnya, dan tinggal memasukkan angka-angkanya ke dalam rumus. Berbeda dengan Jerman, para siswanya harus paham bagaimana alur dari suatu teori sampai terbentuk rumus tersebut. Belibet banget rasanya...!

Sehubungan dengan channel tersebut, beberapa hari lalu saya baru saja selesai membaca buku Hidup Sederhana yang ditulis oleh Desi Anwar. Disana ada bab yang menceritakan kisah awal masa SMP-nya di London. Beliau tidak fasih dalam berbahasa Inggris baik secara tulisan maupun lisan, dan bisa dikatakan nilainya juga buruk disana. 

Namun beliau kaget, ketika pengambilan raport. Nilainya tidak ada yang merah, malah mba Desi ini mendapatkan pujian dari para gurunya. Kok bisa? Ternyata para gurunya lebih menilai usaha mba Desi dalam belajar, dan usahanya dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, serta usaha beliau dalam memahami bahasa. Dengan begitu, mba Desi merasa lebih bersemangat dalam belajar dan lebih percaya diri untuk belajar lebih lagi supaya mendapatkan nilai yang bagus.

Dari dua hal ini, saya mendapatkan gambaran bahwa tujuan utama belajar anak bukanlah dari nilai semata, namun dari proses si anak bisa memahami pelajaran, dan usahanya dalam mendapatkan nilai yang terbaik. Dengan begitu, anak akan lebih memahami apa yang ia sedang pelajari, dan anak pun akan lebih menghargai proses belajarnya sampai ia mendapatkan hasil yang diinginkannya.

Nah, tidak sampai disitu saja, saya mengaitkannya juga dengan apa yang dikatakan oleh Hanung Bramantyo dalam channel YouTube-nya The Bramantyos dalam sesi video Pillow Talk. Kurang lebih seperti ini, seseorang bisa mudah "digerakkan" oleh buzzer, bisa jadi karena pola pendidikan kita yang lebih banyak satu arah. Guru bicara, murid mendengarkan. Dengan kebiasaan seperti itulah, maka bisa jadi sampai dewasa akan terbiasa menyerap informasi dengan cara "disuapi", bukan dari hasil membaca sendiri atau menyerap suatu informasi dengan cara menganalisisnya terlebih dahulu, baru kemudian bereaksi menanggapi suatu informasi.

Dari tiga hal  itu, saya akhirnya mengaitkannya dengan apa yang pernah saya alami.

Dari SD sampai SMP, saya terbiasa menghafal, bila mau ulangan, saya akan menghafal mati pelajaran tersebut. Setelah ulangan, ya wes bablas sudah apa yang sudah saya pelajari. Hehe... 

Begitu pula dengan pelajaran Matematika dan Fisika, hoho, tinggal masukkin angka ke rumus. Misalkan soal pertanyaannya ribet, pasti saya akan jawab tidak terhingga atau tidak terdefinisi. Bila saya malas menghafal, maka saya sudah memiliki kelompok teman yang dengan senang hati berbagi contekan, kan yang penting nilai tugas, ulangan dan ujian bagus. Hehe...

Hingga saya lulus pun, saya sendiri sudah tidak terlalu ingat dengan hal-hal yang saya pelajari semasa sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun