Mohon tunggu...
Nailir Rahmah
Nailir Rahmah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Apa di Balik Ketegaran

20 September 2017   01:55 Diperbarui: 20 September 2017   03:35 1612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah sejenak kita memikirkan bahwa ayah dan ibu adalah orang terhebat yang bisa mengkondisikan emosinya didepan kita. Kadang mereka bisa marah kapan saja yang dia mau, akan tetapi tanpa kita ketahui sebelumnya, bahwa dengan memarahi anak dia membutuhkan mental terlebih dahulu. 

Beliau menyiapkan semuanya baik bahasa, sikap yang sekiranya tidak menyakiti hati sang anak yang sangat dia cinta kasih sayangi. *Tidak apalah jika aku dibenci anakku asal di saat dia besar nanti menjadi anak yang sukses dunia akhirat. Maafkanlah aku anakku karena sering memarahimu. Tujuanku hanya satu, disaat kamu tidak lagi bersamaku, kau akan mengerti dan bisa membedakan yang baik dan yang buruk, dan bisa membimbing keluargamu kelak*.

Orangtua sadar bahwa disaat semuanya sudah sampai pada waktu dimana kita akan berpisah, beliau akan menyesali serta bahagia atau merasa bangga karena pernah memarahinya. Mengapa harus menyesal dan bahagia? Pertama, menyesal memarahinya karena beliau berfikir kenapa beliau harus marah. Kedua, bahagia atau bangga karena beliau berfikir dia pernah mengajarinya tentang perbuatan baik dan buruk, jadi dia akan tahu mana yang salah dan benar dan pastinya sang anak sudah memahaminya.

Saat orang tua memarahi kita, pasti kita berfikir bahwa "kenapa harus marah? Apakah mereka (orang tua) sudah tidak menyayangiku lagi?" sakit rasanya ketika orang tua mengingatkan atau memberitahu mana yang baik dan buruk, dan tanggapan yang diberikan oleh sang anak adalah malah membentak dan bahkan mengabaikan perkataan mereka (orang tua). 

Andai orang tua bisa mengatakan bahwa mereka tidak bisa jauh dari anak, mungkin kita tidak bisa mencari ilmu sejauh mungkin. Kita hanya bisa berdiam diri dirumah dan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, akan tetapi keinginan untuk mempunyai anak yang sukses, anak yang anfa'uhum linnaas (bermanfaat untuk sesama) membuat gugur semua ego mereka. Mending mendo'akannya dari jauh daripada menjadikan anak pengangguran.

Anak-anak kami adalah bagian dari jiwa kami

Melepas mereka tak ubahnya seperti mencabut hati kami sendiri

Andai bisa, tentu kami ingin mereka selalu dalam jangkauan mata

Namun... kami sadari, tangan kami saja tak cukup kuat membimbing mereka

                                                                                                                                   *Secercah curahan hati orangtua*

Bagi orang tua anak adalah segalanya. Rela mengorbankan semua yang mereka punya demi membahagiakan seorang anak dan menjadikan anak yang beruntung, bermanfaat fiddunya wal akhiroh. Mari bersama-sama intropeksi diri, mulailah dari awal, tajdidun niyah (perbaharui niat) unuk lebih berbakti lagi kepada orang tua. Berusaha untuk memahaminya, mengerti, serta perhatianlah kepadanya. Kita akan menyesali ketika kita sudah jauh dari jangkauannya. Kita akan kangen akan marah mereka, omelan, curhat dan cerita bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun