Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

[Resensi] Peran Agama sebagai Jembatan Menuju Praksis Penyadaran

19 Maret 2019   13:24 Diperbarui: 19 Maret 2019   14:20 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditegaskan kembali pendapatnya, bahwa sekalipun NU dan Muhammadiyah akhirnya menjadikan kekuasaan sebagai instrumen perjuangan, sebaiknya ada batas-batas normatif yang tetap menjadi pegangan. Hal itu mutlak diperlukan, karena jika kedua ormas itu terlampaui jauh terlibat dalam politik praktis, kita cemas masalah sosial dan kultural masyarakat bisa terabaikan oleh godaan kekuasaan (hal 69). Jika harus diambil pilihan moderatif, sebaiknya NU dan Muhammadiyah tetap berpolitik, tapi itu cukup menjadi jalan sekunder, dan yang utama adalah peran sosial (hal 70).

Meskipun dengan latar belakang penganut Muhammadiyah yang kental, penulis justru memberikan masukan sebagai pertimbangan terhadap peran dari masing-masing ormas dalam memperbaiki moral kemanusiaan. Sebab penulis sadar bahwa keduanya pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam menjalankan fungsinya. Hal ini banyak dipaparkan penulis pada bab 3 tentang Teori Kritis Muhammadiyah serta Intelektual NU dan Kesadaran Multikultural.

Secara kontekstual, buku ini mudah dipahami dengan adanya alternatif pembagian masing-masing bab. Sehigga pembaca seolah dipahamkan kepada alur berpikir yang runtut dan sistematis. Terlebih ke-istiqomah-an penulis yang selalu berpegang teguh dengan inti pokok, membuat pembahasan buku ini berjalan sesuai alur dan jauh dari kesan membosankan.

Dibumbui pula dengan fenomena sehari-hari manusia yang lekat dengan unsur ketuhanan, alam, dan sosial menjadikan pemahaman pembaca lebih hidup dan mampu melakukan nalar logis. Lebih mendalam, dijelaskan pada bab 2 yang berisi gerakan egalitarian berbasis iman, konflik global Islam barat, nasionalisme dan fanatisme kabilah, hijrah dan pembentukan kepribadian bangsa, menuju peradaban post jahiliyah, serta teologi lingkungan yang (tidak) humanis. Pembahasan serupa inilah yang mampu membuka wacana menjadi sesuatu yang perlu diimplementasikan dalam kehidupan.

Dilengkapi dengan prawacana bertajuk Peran Agamawan di Ruang Publik mengawali kesepakatan penulis terhadap pendapat William Durant yang mengatakan bahwa agama memiliki seratus jiwa. Dalam buku ini pula disebutkan analisa Rayan terhadap realitas beragama di Asia. Penelusuran realitas inilah yang mendukung keakuratan teori di dalamnya. Dalam prawacana pula, penulis mengembangkan kembali elaborasi Rayan menjadi lima bagian. Sehingga secara tersirat penulis mampu memberikan pemahaman yang lebih rinci. Inilah salah satu dari sekian banyak teori para ahli yang akan sering dijumpai saat membaca buku ini.

Selain itu, sebuah prolog disampaikan pula oleh Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif yang patut dijadikan pertimbangan terhadap penilaian buku ini. Kesempurnaan buku Agama dan Politik Moral ini terasa lebih lengkap, sebab terdapat pesan dari "gurunya" penulis sebagai pemangku ilmu yang lebih tinggi. Tentu hal ini akan menjadi semacam pemantauan atau wujud pertanggungjawaban terhadap isi buku yang disampaikan.


Mengkritik namun tidak menjatuhkan. Sebuah hal yang perlu diteladani dari seorang penulis buku ini terletak pada keterampilan beretika. Meskipun penulis menuliskan perihal ormas tetangga, namun bahasa yang disampaikan mengandung dorongan moral untuk bersama-sama membangun tata kehidupan yang lebih baik. Bukan menjatuhkan, namun membangkitkan semangat bersama untuk saling memahami kekurangan dan kelebihan lembaganya.

Sedangkan kelemahan buku ini terletak pada; tidak disebutkannya ayat al-Quran secara lengkap. Dalam hal ini hanya disebutkan surah dan ayat tanpa menyampaikan bunyi dan artinya. Sehingga pembaca perlu membuka kembali makna ayat tersebut dalam al-Quran. Hal ini dirasa kurang efektif. Sebab dengan dituliskannya isi kandungan, pembaca dapat menangkap apa yang dimaksudkan secara langsung melalui buku yang disajikan ini.

Menyinggung tentang kisah kabilah Khajraj dan Aus, hingga disebutkan 3 kali dalam buku ini, yaitu pada halaman 46, 49, dan 56 tentu membuat pembaca penasaran. Sebagai contoh dalam hal 49 dituliskan, "hijrah memang tidak bisa dilepaskan dari budaya yang sudah mengakar dalam sebuah peradaban. Tugas pertama-tama yang dilakukan Muhammad di Madinah adalah memangkas akar budaya nenek moyang yang bertentangan dengan ajaran kemanusiaan. Hal itu tentu harus dilakukan melalui cara-cara akomodatif dan demokratis (konstitusional), seperti rekonsiliasi suku Aus dan Khajraj, distribusi hak dan kewajiban kaum Anshar dan Muhajirin serta konstruksi tat tertib sosial antara umat Islam dan non-Muslim, yang semuanya tertuang dalam Piagam Madinah". 

Namun rasa penasaran ini ternyata tidak mendapat respon dari penulis. Sebab dalam buku ini tidak dijelaskan apa dan bagaimana kisah kaum Khajraj dan Aus pada saat itu. Lagi-lagi pembaca perlu mencari sendiri kisah dua kabilah ini untuk mampu memahami makna yang sebenarnya. Sebab dikhawatirkan pembaca benar-benar minim paham keilmuannya, sehingga kebingunganlah yang melanda.

Keteraturan penulisan yang terstruktur telah terjawab dalam buku ini. Namun sebaiknya dapat diimbangi dengan bahasa yang mudah dipahami oleh orang awam. Karena penggunaan bahasa yang tinggi akan menyulitkan pembaca dalam memahami inti yang disampaikan penulis. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyelami makna yang terkandung di dalam tulisan yang dipaparkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun