Mohon tunggu...
Mustiana
Mustiana Mohon Tunggu... Penerjemah - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis dan penyuka traveling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Label "Kafir" Djarot Datangkan Pujian untuk Kami

18 Desember 2018   21:19 Diperbarui: 25 Januari 2019   19:20 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan tibalah waktu kami untuk berangkat ke Malaysia. Takut tertinggal, teman saya memutuskan menginap dan jalan bareng ke bandara.

Saya pun tak kalah senang, setidaknya satu dari sekian banyak resolusi saya tercapai dan berhasil melampaui batas diri saya sebelumnya. Memang tidak ada yang tak mungkin kalau kita berani bermimpi dan jangan lupa minta restu ilahi.

Baginya kesempatan ini adalah sesuatu yang langka, dia bilang jika bukan karena seminar ini, dia tidak bisa melangkah lebih jauh lagi ke luar negeri.

Pesawat kami berangkat pukul 9 pagi, dengan bus kami meluncur ke KL central lalu lanjut naik MRT. Hotel yang kami pilih memang dekat dari stasiun dan cenderung bukan kawasan turis jadi lebih nyaman dan tenang.

Di hari pertama, kami drop bawaan kami di hotel dan saya tak mau ke Malaysia kalau cuma diam di kamar, jadi memutuskan mengajak teman saya ke icon Malaysia, apalagi kalau bukan menara Petronas. Dan bisa ditebak, responsnya hampir serupa dengan si mama yang sebelumnya ke sini. Takjub.

Selepas berfoto ria, kami makan di foodcourt yang ada di dalam mal. Untuk pertama kalinya, saya makan nasi Hainan yang enak banget di sana. Rekomen buat kalian yang suka nasi Hainan harganya juga ramah di kantong.

Back to hotel mulailah kita konsentrasi buat presentasi lusa, etapi semaleman malah saya nonton Along with the god dan sukses membuat saya nangis kejer, sementara teman saya tidur pulas. Parah hahahha...

Esok paginya saya yang sudah cantik dengan lipstik yang beli di stasiun MRT seharga 40 ribuan (gara-gara lipstik saya ilang) sudah siap untuk mengikuti seminar dan pembahasan mengenai digital literacy. Harga mengikuti seminar ini lumayan lebih mahal dari harga sertifikatnya sekitar 300 ribuan kalau dirupiahin.

Teman saya memilih tidak ikut, saya pun sebenarnya malas tapi siapa tahu cocok dengan pekerjaan saya di dunia digital dan benar saja. Sebenernya sih, materi yang dibawakan oleh Prof Stephen Hall ini lebih cocok untuk orang yang mau eksis di dunia maya kayak influencer.
Pak Stephen ini pun memberi tips dan trik gimana memanfaatkan digital untuk memperluas akses kita, mulai dari pemakaian keyword sampai media sosial. Menurut saya, sangat sederhana, jauh dari bayangan berat materi sekelas seminar internasional.
Kelas juga berlangsung interaktif, namun saya tak ada kesempatan bicara meski setiap orang diberi nomor bergiliran untuk sampaikan pendapat. Sebabnya, klise, nomor saya diserobot orang wkwkw...

Di sini juga saya kenalan dengan banyak orang, utamanya orang-orang Indonesia yang kebanyakan juga ikutan presentasi. Sebenarnya saya pengen banget bisa sharing soal paper dan minat saya soal Critical Discourse Analysis sama si profesor asal Kanada atau Swedia ini, etapi yang pedekate banyak banget jadi susah dan waktunya terbatas, sayang banget. Padahal saya optimis, dia pasti tertarik dengan pembahasan saya soal netizen julid di Indonesia wkwkwk....

Dari kelas ini saya juga berjumpa dengan banyak teman baru, salah satunya Silmy yang merupakan mahasiswa di UPI. Ternyata kami berdiam di satu hotel dan janjian jalan bareng malam-malam untuk menyusuri Pasar Seni.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Sebelum ke Pasar Seni kita pastikan diri kita siap dulu untuk presentasi besok, baru deh jalan-jalan. Sebenarnya mau nyoba kulineran di sana tapi dilihat-lihat tempatnya ga nyaman dan khawatir ga halal. Makanya ujung-ujungnya kita makan di dekat hotel kami

Menariknya si Silmy tuh jalan sama adeknya dan kelihatan deket banget sampe bikin vlog bareng. Bikin sirik. Ade saya mah boro-boro ga seru dia mah wwkkw....

Jreng...jreng, waktunya tiba untuk presentasi. Kita udah cas cis cus melatih diri dan saling mengoreksi. Jadi giliran kami siang sehabis istirahat di suatu kelas yang kondisinya tidak lebih bagus dari ruang kelas FIB UI dulu. Jadi di universitas ini walau disebut sebagai yang terbaik di Malaysia tetap saja fasilitasnya tua dan memprihatinkan termasuk laptop kelas yang rusak dan akhirnya malah pakai punya saya dong. Etdah...

Beruntung saya juga berhasil menjaga mood saya saat saya tahu, jadwal dari panitia pun berantakan dan penonton kita lenyap sudah. Hanya tersisa segelintir saja yang memang mahasiswa bener-bener niat belajar.

Seharusnya kami adalah giliran kelima atau keempat namun maju, menjadi yang pertama karena ketidakjelasan presenter sebelum kami. Ini tentu saja merugikan karena orang-orang yang memang niat menonton kami jadi gagal dan terlambat karena kami ternyata sudah selesai. Ini sungguh mengesalkan. Ini beneran terjadi. Pas kami selesai presentasi beberapa orang datang menanyakan soal presentasi kami yang ternyata maju jadwalnya hingga mereka tidak bisa nonton.

Beruntung beberapa penonton yang merupakan mahasiswa universitas Malaya ini tidak beranjak pergi. Padahal sebelum kami benar-benar buruk presentasinya hingga membuat penonton bubar. Ini juga mengesalkan.

Gimana gak! Mereka presentasi soal speech hate tapi judul sama analisis ga relevan. Menang judul clickbait tapi analisis mirip anak S1 semester 1 coy. Parah, malu saya lihatnya. Alhasil, si presenter ini sukses membuat orang-orang bubar sementara saya butuh didengarkan. "Hei! dont go, presentasi saya dijamin keren!" pengen rasanya teriak gitu. Tapi sudahlah ya.

Dengan kondisi carut marut seperti ini, saya tetap deg-degan karena saya masih punya penonton yang buka orang yang gampang dikadalin juga. Mereka mahasiswa yang siap mencatat dan memperhatikan semuanya. Kalau dianggap presentasi saya sampah siap-siap lihat muka mereka melengos.

Teman saya jadi orang pertama yang maju, bagai naik rollercoster kami membawa mereka mengenali terlebih dulu soal masalah 'kafir' yang kami bawa hingga akhirnya terusik dengan sensasi labeling kata itu di masyarakat melalui bahasa. Mata-mata mereka enggak lepas dari layar presentasi kami, lalu mulai mencatat.

Tangga menuju analisis kami yang matang membuat mereka manggu-manggut dan saya pun menjadi presenter kedua yang membawakan hasil analisis kami. Inilah puncak dari presentasi kami, sebuah kesimpulan yang membuat mereka gemas dan penasaran dengan fenomena sosial dalam bahasa ini. Bisa dikatakan kami sukses menyajikan masalah sosial yang terjadi melalui bahasa dengan analisis yang sungguh sistematis dan sederhana serta mudah dipahami.

Melihat mereka begitu antusias memperhatikan, saya pun terbawa emosi. Tangan saya tidak lagi dingin, tapi ada emosi yang tumpah. Kenapa? saya benci sebenarnya harus menyampaikan kejelekan sosial di Indonesia ini tapi kalau tak begini mereka mana tahu.

Karena terbawa emosi plus tegang karena tahu mereka makin dalam terbawa arus presentasi kami, saya jadi tambah cepat bicara mirip orang kesurupan wkwkwk... teman saya yang melihat ini berusaha menenangkan.

Sesi tanya jawab pun dibuka, pertanyaan pertama langsung bikin emosi, bagaimana bisa orang-orang di negara saya dalam tanda kutip sebodoh itu, begitu juga wartawannya. hahahaha...

Bagaimana bisa juga masalah agama ini bisa disetir lalu membuahkan fenomena sosial yang mengerikan hanya dari satu potong kata 'kafir'. Semua bertanya penasaran. Di sini saya tidak hanya bicara mengenai analisis saya tapi juga keadaan masyarakat Indonesia yang mudah kepancing apalagi soal agama.

Saya lega karena saya lihat mereka puas dan berakhir sudah presentasi kami. Dari penelitian 'kafirnya' Djarot berujung puja puji dari mahasiswa itu pada kami. Mereka bilang penelitian kami bagus dan patut diacungi jempol.

Saya pun semringah tak terkira. Sebagai kenang-kenangan saya minta kita semua foto bareng. Bahkan di sesi ini pun masih ada yang berbisik kalau presentasi saya bagus dan hendak bertanya-tanya lebih lanjut karena menarik.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Keluar kelas, kami lega dan saling berpelukan. Kali ini giliran puja puji syukur sama Allah yang bikin kami punya kesempatan ini dan terasa bermanfaat bagi orang lain. Di jalan juga saya bertemu lagi dengan panitia yang lagi-lagi juga memuji paper kami, dan dia pernah mendengar soal masalah kafir ini di Indonesia. Dia merasa tercerahkan dan tahu bagaimana kondisi sebenarnya. Ahhhhh.... seneng dan terharu banget deh.

Sambil senyum-senyum sendiri kita pun harus segera pulang ke kampung halaman (sampai salah naik bus bok) dan mungkin ke depannya kita akan menulis lagi soal fenomena sosial yang dikaitin sama bahasa, siapa setuju?! tapi kali ini musti pake beasiswa, mau maju ke ranah yang lebih tinggi lah. Kalau bisa berguru langsung sama opa Van Dijk hehehe...

Meski kami murni biaya sendiri gak pernah ada penyesalan dari kami. Inget aja soal hadis yang bilang sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat dan semoga dari penelitian ini kami bisa meraih seuil pahala dan kebaikan. Terima kasih juga untuk mba Husna yang begitu setia menemani perjuangan ini dan tentu Allahku untuk memberikan rasa kebanggaan akan diri yang tak ada apa-apanya ini. Terima kasih semuaaa..... LOVE YOU


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun