Mohon tunggu...
Gigih Mulyono
Gigih Mulyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Musik

Wiraswasta. Intgr, mulygigih5635

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Piknik di Ci Joglo Semar, CatPer 8

31 Agustus 2019   22:40 Diperbarui: 2 September 2019   21:24 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puri Maerokoco, Semarang. Dokpri

Lawang Sewu Semarang. Dokpri
Lawang Sewu Semarang. Dokpri
2.5.Puri Maerakaca

#Rumah rumah Adat di Tepi Danau#

Puri Maerakaca dibaca Maerokoco, adalah Taman Mini Jawa Tengah.

Terletak di tepi laut kota Semarang, bertetangga dengan resto Kampung Laut. Hari masih pagi, kami berangkat dari hotel di sekitar Simpang Lima kesana. Berkunjung pagi pagi ke Taman ini adalah bagian dari menyiasati udara panas kota Semarang.

Untuk menghindari cuaca gerah, berwisata outdoor memang sebaiknya dilakukan pagi hari. Atau sore hari, ketika terik Matahari belum atau sudah tidak begitu membakar.

Pagi ini bertandang out door di Puri Maerakaca. Siang nanti diteruskan untuk kunjungan indoor, menyambangi Lawang Sewu. Kantor pusat jawatan Kereta Api  jaman kolonial Belanda.


Matahari belum begitu tinggi, kami sudah berada di taman Maerakaca.
Dalam Area seluas 23 Hektar lebih yang digagas sejak tahun 1980 an ini, berdiri contoh rumah rumah dari 35 Kabupaten dan kota yang ada di Jawa Tengah.

Puri Maerokoco Semarang. Dokpri
Puri Maerokoco Semarang. Dokpri
Terbentang juga danau cantik dilingkupi hutan Mangrove. Dilengkapi treking walk berpermukaan kayu, berkelok kelok ditepi danau. Juga ada children play ground, area Panahan dll.Pagi itu pengunjung belum begitu ramai. Kami mulai kunjungan dengan masuk rumah adat terbaik disini. Rumah adat di Anjungan Kudus. Di halaman anjungan, berdiri antik replika Menara Kudus yang sangat tersohor. Sayangnya Soto Kudus tidak di jual disini.

Masuk rumah Kudus, langsung berhadapan dengan Gebyok, pintu dan perangkat lain berbahan Kayu jati. Membentang diukir dalam tiga dimensi yang rumit,  mengagumkan. Melihat sopistikit rumah Kudus ini, komentar tiyang hanya dua kata, *Begitu Indah*.

Pasti untuk menjaga kebersihan dan pamor rumah Kudus ini, memerlukan cara pemeliharaan yang khusus, telaten dan rutin.

Keluar dari anjungan Kudus, kami melanjutkan menyambangi replika bangunan bangunan adat lainnya. Rumah Jepara, Pati, Solo, Semarang, Klaten, Wonogiri, Sukaharja, Boyolali, dll. Semuanya memiliki ciri khas masing masing daerah yang unik dan menarik.

Tentu saja kami juga masuk replika Masjid Demak yang sangat terkenal itu. Masjid yang konon dibangun oleh Sunan Kalijaga dan teman teman. Ada yang istimewa dari salah satu Soko atau tiang utama terbuat dari tatal atau serpihan kayu jati yang ditumpuk. Karena waktu itu terdesak oleh waktu, kehabisan bahan untuk satu pilar utama untuk menyelesaikan Masjid Agung Demak.

Selesai mengagumi rumah rumah adat, kami menyeberang. Meneruskan menyusuri walking trek di tepi danau yang cukup panjang. Berjalan santai, asyik dalam naungan pohon pohon bakau rimbun.

Di tengah dan tambatan, Perahu perahu kecil bertambat nganggur. Baru akan sibuk dipergunakan pada hari Sabtu Minggu kerika ramai pengunjung.

Di tengah danau mengapung kafe angkringan. Memanjang cukup luas, buka sampai malam hari saat akhir pekan. Menjual makanan dan minuman khas daerah Jawa Tengah.

Matahari sudah lebih sepenggalah, kami meninggalkan taman di pinggir laut utara. Berjalan jalan santai di Puri Maerakaca, adalah salah satu pilihan wisata yang cukup menarik di kota Semarang.

Puri Maerokoco, Semarang. Dokpri
Puri Maerokoco, Semarang. Dokpri
2.6. Lawang Sewu

#Misteri Gaya Art Deco di Pojok Tugu Muda#

Lawang Sewu, Semarang. Dokpri
Lawang Sewu, Semarang. Dokpri
Lawang Sewu, salah satu dari 102 bangunan kuno di kota Semarang yang dilindungi dan dilestarikan.
Lawang dan Sewu adalah bahasa Jawa yang berarti Pintu dan seribu. Lawang Sewu bangunan megah berpintu seribu, warisan jaman kolonial Belanda. Dengan gaya arsitektur Art Deco.

Sebenarnya pintu di bangunan ini berjumlah 429 buah. Sedangkan daun jendela yang berukuran tinggi mirip seperti pintu berjumlah 1200 daun. Orang Jawa disekitar bangunan  menyangka kalau daun daun jendela itu adalah pintu. Maka dinamailah bangunan ini dengan sebutan Lawang Sewu. Pintu Seribu.

Lawang Sewu berdiri cantik di pojok bundaran Tugu Muda  .... dulunya  bernama Wilhelmina plein.... di Jantung kota Semarang.

Pembangunannya diperuntukan sebagai kantor pusat Maskapai Kereta Api jaman Kolonial, Nederlands Indische Spoorweg. Rancangannya diselesaikan tahun 1903 oleh Arsitek Belanda, Madzab Amsterdam. Lawang Sewu dibangun selama 3 tahun, dari tahun 1904 sd tahun 1907.

Madzab Amsterdam adalah sekelompok Insinyur Arsitek yang banyak merancang bangunan bangunan dengan gaya sopistikit, artistik ornamental. Bagian dari aliran Art Deco. Bangunan seperti Gedung Sate, Gedung ITB di Bandung, Gereja Blendug, Lawang Sewu, Stasiun Tawang di Semarang, Stasiun Cirebon, Musium Fatahilah Jakarta, dsb adalah karya karya yang mengadop gaya Madzab Amsterdam itu. Central Station Amsterdam, adalah contoh karya monumental Madzab itu yang masih tegak indah perkasa hingga hari ini di pusat kota Amsterdam.

Sedangkan gaya Arsitektur yang lain adalah Madzab Delf. Delf, kota kecil di Belanda terkenal dengan Institut dan Sekolah Teknologi di negeri Kincir Angin. Madzab Delf merancang bangunan dengan gaya lebih sederhana, lugas dan fungsional dibanding Madzab Amsterdam. Jejak bangunan Madzab Delf jarang kita temukan di tanah air. Gedung Pusat UGM di Bulak Sumur Yogya, meskipun di arsiteki orang Solo mungkin lebih nyerempet dengan gaya Madzab Delf.

Siang di Semarang, udara gerah menyengat ketika kami masuk ke gedung Lawang Sewu. Berada di ruangan  bangunan Raksasa ini udara terasa bersahabat, sepoi adem.

Didampingi pak Pemandu, sambil menyimak penjelasannya kami segera menjelajahi sudut dan pojok pojok gedung megah nan luas ini.

Megah, Indah dan sedikit Aura seram mengambang. Barangkali rasa seram akan lebih terasa mencengkeram kalau kita datang waktu malam.

Tetapi tidak. Sebenarnya rasa seram itu lebih banyak dipengaruhi cerita cerita yang beredar dan tayangan uji nyali di televisi beberapa tahun lalu. Yang antara lain mengambil lokasi di gedung ini.

Gedung ini sekarang tampak cerah. Dengan pengecatan baru memberi Aura bersih dan terang. Lawang Sewu telah berubah. Dari bangunan Angker menjadi tempat wisata mempesona, andalan kota Lumpia.

Pak Pemandu, tanpa ditanya menjelaskan juga spot spot angker disini. Barangkali keangkeran menjadi salah satu daya tarik wisata di gedung ini sehingga perlu dijelaskan.

Sumur di halaman belakang yang telah ditutup. Konon disitulah tempat pembantaian dan penguburan ratusan tentara Belanda oleh serdadu Jepang, ketika berhasil merebut kota Semarang. Konon dari dalam sumur tertutup itu, pada malam hari sering terdengar jeritan kesakitan dan ketakutan. Disertai bau anyir darah. Seram amatt. Barangkali itu hanya sekedar halusinasi orang orang.

Cerita seram yang lain. Bayangan serdadu Belanda yang nampak di ujung selasar dan ujung lainnya. Melintas, mondar mandir di selasar lapang ini. Selasar panjang dengan pilar pilar megah berjejeran, dan daun daun pintu kayu coklat tua yang sedang kami tapaki ini. Membayangkan jisim serdadu serdadu Belanda melintas kesana sini disini rasanya seram juga. Entah apakah pernah ada, yang tanpa sengaja  seseorang berfoto tiba tiba di back ground nya terlihat tentara Belanda itu.

Yang jelas selasar ini sangat fotogenik, Instagramabel.

Kemudian dinding kaca patri warna warni yang tinggi sampai ke Menara. Konon penampakan tangan raksasa berwarna hitam menutupi kaca itu pernah dilihat oleh beberapa orang.

Ada lagi penjara bawah tanah. Penjara berdiri, penjara jongkok yang menyimpan kisah sedih dan mengerikan di jaman penjajahan. Di jaman Jepang, ruang bawah tanah ini difungsikan sebagai penjara dan tempat penyiksaan para tahanan.

Namun itu semua sudah lewat, berlalu. Bangunan berlantai dua plus satu ruang bawah tanah ini, kini kental memiliki Aura wisata. Tiap hari ratusan hingga ribuan orang berkunjung ke Lawang Sewu mengagumi pesonanya.

Gedung yang di kelola PT Kereta Api itu kini tertata dan terang. Tidak kusam lagi. Beberapa ruangan di lantai dua disewakan untuk ruang perkantoran.

Lantai satu dan ruangan lainnya dimanfaatkan sebagai museum, perpustakaan dan wisata.

Ruang bawah tanah kini ditutup. Pada mulanya ruang bawah tanah dipergunakan sebagai gudang, untuk saluran air dan juga ruangan pendingin gedung ini.

Salah satu ruangan bawah tanah yang sangat luas diisi air melimpah. Membuat sejuk ruangan ruangan diatasnya.

Di jaman Jepang, ruangan itu menjadi penjara. Dan di Jaman modern pernah menjadi ajang shooting acara seram Uji Nyali. Kini ruang bawah tanah ditutup bagi pengunjung. Pak pemandu menunjukan salah satu pintu ke bawah tanah yang terbuka. Menganga mendebarkan.

Kini di selasar berpilar pilar, juga di undakan depan kaca patri, di halaman belakang, halaman depan gedung menjadi tempat favorit bagi para pre wedder untuk mengambil foto pre Wedding. Nantinya foto foto itu tentu akan dipakai cover undangan pernikahan. Atau dipajang di gedung pesta resepsi.

Sebelum mengakhiri kunjungan, kami menengok ruangan Museum Kereta Api yang memajang barang barang memorabilia perkereta apian. Membuat  mengingat kenangan naik KA tempo doeloe. Teringat kembali Topi dan Tongkat komando sep Stasiun. Dipajang juga replika Lokomotif Asap hitam dengan rodanya yang khas. Gerbong kuno warna kuning. Juga Karcis warna warni bekas pakai jaman dulu dengan mesin untuk menjeklek melobangi karcis. Dan timbangan kodok stasiun.

Masa lalu terbayang, ternyata telah begitu lama. Waktu berlari begitu cepat.

Cukup lama kami menjelajah dan mengambil foto di gedung ini. Kunjungan hampir berakhir, pak Pemandu mengajak kami ke tempat yang katanya jarang ditengok para wisatawan.

Kami telah sampai. Di depan kami adalah tangga undakan terjal, yang akan mengantar menuju wuwungan, ruangan dibawah atap gedung. Melihat undakan terjal itu isteri menyerah, tidak mau ikut naik.

Saya, Junior dan Pemandu tersuruk mendaki tangga terjal yang pertama. Sampai di lantai dua, kami melanjutkan mendaki tangga terjal yang ke dua.

Dengan sedikit ngos ngosan sampailah kami di wuwungan. Ngos ngosan itu langsung terbayar dan reda begitu berada dan melihat ruangan fantastik dibawah atap ini.

Ruangan luas ini seperti hanggar pesawat. Melengkung ke samping dengan penopang konstruksi dari kayu. Terlihat bersih, pengkuh dan artistik.

Ruangan ini begitu luas tanpa perabotan apapun. Juga sepi tidak ada pengunjung lain. Begitu lengang, hening dan kosong. Merangsang imajinasi.

Terdiam, terpukau menatap ruangan lapang tanpa suara. Membayangkan seandainya Pavarotti, penyanyi seriosa bersuara menggelegar asal Itali itu menyanyi disini.

Lawang Sewu Semarang. Dokpri
Lawang Sewu Semarang. Dokpri
Tiba tiba, sayup sayup seolah berhalusinasi terdengar suara Pavarotti menyanyikan nada tinggi penutup bait Nessun Dorma lagu opera dari Puccini. Menghentak  diiringi genderang Timpani bertalu talu. Melayang.....Siang itu kami meninggalkan gedung Lawang Sewu. Langsung disambut udara gerah yang menyergap. Matahari tepat berada di tengah langit kota Semarang, menunjukan kuasanya. Memancarkan sinar menyengat.

Lawang Sewu Semarang. Dokpri
Lawang Sewu Semarang. Dokpri
Sebelum berlalu sekali lagi menoleh menatap Lawang Sewu. Berharap dalam diam, seribu tahun dari sekarang Lawang Sewu tetap tegak disini. Di pojokan Tugu Muda, menjadi penghias indah kota Semarang.              

Lawang Sewu Semarang. Dokpri
Lawang Sewu Semarang. Dokpri
   
Lawang Sewu Semarang. Dokpri
Lawang Sewu Semarang. Dokpri
          Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun