Saya jadi paham mengapa Pak Agus sangat hafal kuburan di Untoroloyo. Di satu sisi dia memang harus melayani para peziarah yang tidak selalu tahu persis di mana letak kuburan kerabatnya. Apalagi peziarah asal luar kota seperti saya.
Di sisi lain, sebagai perawat makam yang berharap rejeki dari kemurahan hati peziarah, dia berkepentingan nenuntun peziarah pada sebanyak mungkin makam. Sebab semakin banyak makam yang diziarahi, maka semakin banyak kerja pembersihan makam, dan semakin besar peluang untuk mendapatkan saweran yang lebih banyak.
Berbeda dengan perawat makam di Kampung Kandang Jakarta, yang mendapat kontrak informal rawat makam Rp 50,000 per bulan (baca: Sosiologi Pekuburan di Jakarta), perawat makam di Untoroloyo Solo mendapat rejeki secara acak. Tergantung ramai atau sepinya peziarah, jumlah makam yang duziarahi, Â dan pelit atau dermawannya peziarah tersebut. Â Tidak ada penghasilan tetap seperti perawat makam di Kampung Kandang, Jakarta.
Karena tidak ada kontrak informal rawat makam dengan kerabat mendiang, maka perawat makam di Untoroloyo tidak merawat makam secara rutin. Pak Agus dan kelompoknya hanya heboh membersihkan makam saat kerabat mendiang datang ziarah. Setelah itu makam dibiarkan saja, menunggu ada kerabat lagi yang datang menziarahi.
Lain ladang memang lain belalang, lain pekuburan lain pula organisasi pemeliharaannya. Di Kampung Kandang Jakarta, makam dirawat rutin oleh orang-orang migran dari Karawang. Di Untoroloyo Solo, makam dirawat secara insidentil oleh orang-orang asli kampung sekitar.
Tapi satu hal tetap sama, yaitu pekuburan adalah sumber nafkah halal bagi sekolompok orang yang mendedikasikan hari-harinya pada perawatan makam. Hal itu terjadi karena orang hidup tidak memutus hubungan dengan mendiang kerabatnya. Tetap ada relasi transenden yang memiliki konsekuensi biaya. Dimana ada biaya, maka di situ ada peluang nafkah.***