Kita adalah sekumpulan doa yang terpanjatkan. Rapalan demi rapalannya kita pintakan bersama kepada-Nya. Haruskah kini apa yang kita panjatkan berhamburan begitu saja? Hilang tak berjejak.Â
Untukmu kuperjuangkan. Mungkin tak sehebat dirimu. Entahlah... sulit untuk dituangkan dalam tulisan. Menggambarkan siapa dirimu tak bisa. Tentangmu, kau melengkapi hidupku.
Tentang kita. Rasa pahit adalah pembelajaran. Jalan berliku dan tak berujung memberikan banyak warna cerita. Getirnya hidup, kerasnya pengorbanan adalah bentuk perjuangan yang harus diwujudkan demi bahagianya kita dan orang orang yang dicintai.Â
Memanglah demikian seharusnya saling mendukung, memahami akan selalu memiliki peluang untuk mencapai apa yang kita harapkan. Namun kali ini hatiku patah. Berkeping hingga tak berupa. Terluka dan teramat perih. Ah... melow sekali.
Perjalanan kali ini tak semulus kala kemarin kita  lewati bersama. Begitulah pada akhirnya. Hanya mengupas rasa resah dan tak enak. Gelisah yang menyesakkan dada. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak. Benarlah ini kalimat klasik. Namun memang benar apa adanya.
Kau adalah pertanyaan yang harus kusegerakan mencari tahu apa jawabnya. Kemarahan, ego diantara kita, letih yang berkepanjangan membuat parit parit panjang untuk membersamai kita lagi. Aku begitu naif. Tentangmu aku masih saja mencinta. Tapi bagaimana denganmu?
Maka senyuman itulah yang masih membuatku bertahan di sini. Eloknya perangimu membuat hati ini kembali teguh, menyatukan kembali jiwa yang berkepingan. Mungkin kemarin adalah kita. Mempertentangkan ego masing masing, membuatnya semakin rumit.Â
Dan kini aku tertahan oleh senyummu itu. Untuk bisa membersamai kita lagi yang terkurung sendiri sendiri.
Cathaleya Soffa
Legoso, 21 Agustus 2017