Di antara pagi yang mengaduk dirinya sendiri dalam keriuhan tak henti orang-orang yang berjalan dan berlari. Di trotoar jalan, koridor persinggahan, dan halte-halte perhentian. Matahari menjatuhkan bayangan panjang dan pendek di halaman menara-menara tinggi yang kelihatan sekali begitu tinggi hati.
Pada sorot mata kegelisahan yang diperlihatkan para penari latar di panggung-panggung perburuan nasib, tercetak berbagai kartu nama dengan huruf kapital yang nyaris kehabisan tinta. Tertera di sana; kami adalah para pencari cinta yang membakar airmata kami agar bisa bekerja tanpa duka.
Dalam kerontang siang yang memberatkan langkah kaki, orang-orang berteduh pada harapan atas kedatangan hujan. Menyirami kepala mereka yang mengepulkan asap setelah berlama-lama menghitung angka-angka. Mengenai rugi-laba.
Hari belum juga separuh terlewati, namun sebagian besar orang sudah mendanaukan keringat di jalanan yang mampat oleh banyaknya teriakan mengumpat.
Mungkin di sore nanti ketika perjalanan hari diselamatkan oleh tenggelamnya kota dalam kubangan harapan yang bermatian. Kepala dan hati pada akhirnya ikut mendingin membentuk kesadaran. Bahwa mimpi sesungguhnya tak bisa mati. Selalu saja terlahir kembali setiap pagi.
Jakarta, 15 Maret 2019