Aku menjelajahi beberapa lapis dunia. Â Mengumpulkan puzzle demi puzzle yang berserakan, menangkap setiap mataharinya, mengikuti setiap pergerakan cuaca di belakangnya, supaya aku tahu mesti berhujan-hujanan atau menapis kekeringan dalam sebuah cawan minuman.
Duniaku mirip dunia metamorfosa. Â Aku berawal dari kupu-kupu. Â Pemburu waktu yang hidupnya justru diburu oleh waktu. Â Detik demi detik sangat berharga bagiku. Â Semacam deja vu yang terjadi berkali-kali. Â Menjumpai pagi, bercengkerama singkat dengannya, lalu melambaikan perpisahan sederhana. Â Pada bunga-bunga.
Aku meletakkan butiran-butiran telur. Â Dalam rangka menumbuhkan harapan atas kehidupan selanjutnya. Â Lapis dunia berikutnya. Â Aku dilindungi kemasan daun-daun yang terlipat rapi. Â Seperti selimut kabut atas tubuh laut yang mengeriput. Â Aku hidup. Â Terimakasih untuk segala kecemasan yang membiarkan dirinya meredup.
Aku merupa ulat. Â Menggeliat-geliat mencari pijakan agar tak terjatuh dengan keras. Â Kawanku adalah musim kemarau. Â Persis saat daun-daun merontokkan dirinya dalam upacara bunuh diri yang tak disengaja. Â Aku membangun rumah di sana. Â Bersama dengan segala kerumitan yang menyertainya.
Duniaku memasuki lapisan kepompong. Â Semacam gorong-gorong. Â Di mana aku mesti beringsut melaluinya. Â Meringkuk pasrah. Â Menunggu ketetapan waktu menjamah. Â Dilahirkan dalam proses persalinan hati-hati. Â Tak ubahnya reinkarnasi. Â Menjadi kupu-kupu kembali.
Beberapa lapis duniaku terlewati satu demi satu. Â Tanpa kasak kusuk yang tak perlu. Â Tidak sempurna. Â Namun setidaknya tidak pula mengada-ada.
Bogor, 20 September 2018