Telaga sudah dekat. Â Suara bisik-bisik mulai terdengar. Â Semua orang berdebar-debar. Â Seperti apa surga itu? Â Seindah apakah? Â Apakah dijaga oleh bidadari-bidadari secantik artis-artis sinetron yang sering dilihat di televisi?
Sampailah mereka. Â Semua mata mengitarkan pandangan gamang ke sekeliling telaga. Â Tidak ada apa-apa. Â Telaga seperti biasanya. Â Tidak ada sesuatu yang aneh atau berbeda.
"Bapak ibu sekalian! Mbah Yai bilang kita harus mengelilingi telaga ini agar bisa menemukan surga yang jatuh!" Â Suara keras Paino memecah kesunyian. Â Paino merasa seperti pahlawan saat orang-orang menatap percaya ke arahnya. Â Apalagi ketika orang-orang itu ikut di belakangnya mulai mengitari telaga.
Rombongan itu menelusuri jalan setapak yang mengelilingi telaga. Â Suasana senyap meski rombongan itu berjumlah ratusan orang. Â Orang-orang yang tadinya hampir putus asa karena tidak menemukan apa-apa, terbangkitkan lagi harapannya. Â Mungkin surga yang jatuh itu berupa pintu. Â Jadi kecil dan tidak kelihatan dari sini.
Udin terkejut ketika bahunya ditepuk orang dengan keras dari belakang. Â Parjo! Â Ah, akhirnya dia datang juga. Â Udin tentu saja jauh lebih rela jika Parjo yang menemukan surga dibandingkan orang-orang itu.
Kedua sahabat ini berjalan di belakang Paino yang berjalan gagah layaknya panglima. Â Barulah di belakang mereka rombongan besar lainnya.
"Ini sudah hampir terkelilingi! Â Mana surganya?!" sebuah teriakan menghancurkan keheningan.
"Iya mana?! Mbah Yai berkirim berita hoax!" teriak yang lainnya.
"Uh, mau-maunya aku tadi termakan berita nggak jelas ini! Sudah gitu harus gendong simbahku lagi," gerutu yang lainnya lagi.
------
Sudah sampai di ujung telaga. Â Udin terbelalak. Â Parjo lebih lagi terpaku. Â Di hadapan mereka nampak sesosok tubuh terbujur lemah tak berdaya. Â Mbah Lopo! Â Kenapa ada di sini? Â Pantas saja sudah beberapa hari ini saat mereka berdua mengantarkan rantang nasi ke dangau tidak lagi menemukan Mbah Lopo. Â Rupanya dia tergolek sakit di sini.