Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan, Kreator sampah plastik

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Belajar dari Penjual Gorengan di Nongkojajar

16 Mei 2016   22:55 Diperbarui: 13 Agustus 2016   11:45 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beristirahat sejenak sebelum ke Bromo (dok.pri)

Bagi Anda yang doyan menjelajah Gunung Bromo melalui jalur Nongkojajar, Purwodadi – Pasuruan, tidak jauh dari tugu yang berdiri di pertigaan menuju kawasan Nongkojajar itu atau persis di samping Masjid Besar Al-Ihsan, Anda akan menemukan lapak penjual gorengan. Pemilik lapak itu bernama Warso (23 tahun). Hampir setiap hari Warso membuka lapaknya kecuali ia berhalangan, sakit atau libur hari raya. Warso tidak berjualan sendiri, sang istri tercintalah yang menemani setiap harinya.

Pria beranak satu yang asli Nongkojajar itu mengaku sudah tiga (3) tahun ini menggantungkan hidup keluarganya dari berjualan jajan (kue) gorengan. Bermacam-macam kue gorengan ia jajakan di partisi lapaknya. Ada pisang, ketela, tahu isi, ote-ote (bakwan) dan tape goreng. Ia juga menyediakan beraneka minuman kopi sachet-an atau kopi tubruk selain itu juga mie rebus.

Gak mesti kasile mas, dino biasa rodo’ sepi, Sabtu-Minggu biasane rame (tidak tentu hasilnya mas, hari biasa agak sepi, Sabtu-Minggu biasanya ramai, red)” ungkap Warso dengan logat Jawa Timuran.

Ketika saya tanya berapa rupiah hasil setiap harinya, Warso dengan rendah hati menjawab : “pokok’e keno kanggo nempur bendinane (pokoknya bisa buat beli beras setiap harinya, red)”.

Ia mengaku pada hari Sabtu-Minggu atau hari libur lainnya, kue gorengannya laku keras, laris-manis diborong para wisatawan yang hendak mendaki Gunung Bromo. Asal tahu saja, jarak antara tugu pertigaan atau lapak Warso dengan kawasan Bromo sekitar 30 kilometer. Lumayan jauh, para penjelajah Bromo yang datang dari daerah yang jauh dan ingin berburu sunrise biasanya beristirahat sejenak di lapak Warso sambil menikmati jajanan ringan dan minuman hangat. Mereka menunggu sampai tengah malam atau dini hari agar bisa sampai ke view point puncak Penanjakan lebih awal. Kalau datang lebih awal bisa menempatkan posisi kamera di depan tanpa harus berebut dengan wisatawan lainnya.

Meski tidak menyebut berapa rupiah hasil setiap harinya namun Warso mengaku kalau hari Sabtu atau Minggu ia bisa menghabiskan tepung terigu sebanyak 6-7 kilogram. Tepung terigu digunakan sebagai adonan pembungkus kue gorengan. Logikanya, dengan jumlah tepung sebanyak itu berarti jumlah bahan (pisang, tahu, ketela dan lainnya) juga banyak dan tentu saja omset penjualan juga banyak.

Sebagai pedagang gorengan Warso mungkin terlihat bersahaja, biasa-biasa saja bahkan low profile tidak seperti karyawan perusahaan atau pegawai negeri yang mempunyai sistem penghasilan tetap dan memadai. Ia mengaku disaat ramai pembeli sebagian pendapatannya ia tabung. Disaat sepi pembeli ia tetap bersabar dan tidak mengeluh. Pedagang kecil yang masih berusia belia itu kini memiliki rumah sederhana yang berada tidak jauh dari lapaknya berdiri. Hari-harinya diwarnai perasaan bahagia bersama istri dan anak tercintanya.

Warso merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang mengais rezeki dengan berjualan makanan ringan (gorengan). Hasilnya meski tidak menentu tapi ia merasa happy saja menjalani hidup ini.

Sing penting wis usaha, piro-piro kasile keno kanggo ngingoni anak-bojo (yang penting sudah berusaha, berapapun hasilnya bisa untuk menghidupi anak-istri, red)” cetus Warso dengan percaya diri.

Malam semakin larut, hawa dingin kawasan Nongkojajar menyeruak masuk ke dalam jaket saya yang tak begitu tebal itu. Saya sempat menggigil kedinginan. Setelah berbincang-bincang agak lama dengan Warso, diam-diam saya mengagumi semangatnya dalam berwira-usaha. Coba bayangkan, di usianya yang masih terbilang muda itu ia sudah memiliki rumah dan hebatnya lagi uang yang ia gunakan untuk membeli rumah itu murni dari hasil jerih payahnya berjualan kue gorengan.

Warso bahkan tak tertarik bercerita berapa ratus ribu atau juta omset penjualan setiap harinya. Ia hanya berkata : “alhamdulillah, aku wis duwe omah soko kasile dodolan gorengan iki mas (alhamdulillah, saya sudah punya rumah dari hasil berjualan gorengan ini mas, red) pungkas Warso merendah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun