Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ikhtiar Merdeka dalam Kacamata Bung Karno

17 Agustus 2017   09:28 Diperbarui: 17 Agustus 2017   14:25 2501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: hastagnews.co.id

Bapak proklamator pernah mengingatkan kepada setiap kalangan, bahwa keberhasilan perjuangan melawan penjajah dari bangsa lain bukanlah suatu ujung penyelesaian kemerdekaan yang sesungguhnya. Semua itu bukan apa-apa, dibandingkan ketika kita melawan bangsa kita sendiri.

Kemerdekaan, sungguh luas arti yang terkandung didalamnya. Maknanya dapat dikaji dengan berbagai varian sudut pandang dan konteks. Merdeka dari sisi eksternal merepresentasikan kebebasan sejati dari genggaman kuasa bangsa lain. Dari sisi internal, merdeka adalah suatu ikhtiar perwujudan kesejahteraan bersama seluruh pelaku bangsa tertentu yang mendiami suatu bangsa tertentu. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan yang mencerminkan komitmen dan kesamaan dalam berintegritas antara pemerintah yang melakukan penyelenggaraan negara, dengan warga negara yang menggulirkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Beda lagi ketika kita melihat kemerdekaan dari sudut pandang disiplin ilmu kewarganegaraan, bahwa kemerdekaan dianggap sebagai keterpenuhannya aspek prasyarat de facto dengan de jure,dimana didalam negara haruslah terdapat rakyat, pemerintah, wilayah dan pengakuan bangsa lain.

Tentu masih banyak sudut pandang lainnya yang bisa dicari. Sungguh abstrak si merdeka itu, sehingga penikmatnya sendiri pun punya cara yang sangat beragam (bahkan terkadang bingung) dalam memaknai dan memelihara esensi kemerdekaan mereka sendiri. Mulai dari yang sederhana namun unik seperti simbolisasi perjuangan dalam bentuk pengadaan lomba-lomba, sampai yang kritis dan penuh dengan kelayakan sanjungan aspresiasi seperti apa yang telah dilakukan oleh para insan berilmu yang telah mengharumkan nama Indonesia.

Terlepas dari itu semua, sesungguhnya apa sih esensi awal daripada kemerdekaan itu sendiri ? Kemerdekaan yang 'bergaya'seperti apa yang sesungguhnya menjadi cita-cita paling pertama milik Indonesia ? Gambaran kemerdekaan yang bagaimana yang diimpi-impikan Indonesia kala tersakiti oleh 'kulit putih' dan para Jepun ? Jawaban dari semua rasa penasaran itu sudah terwakili oleh segudang pernyataan bapak Proklmator kita, Ir. Soekarno ketika beliau dengan penuh kewibawaannya berpidato digedung Penjambon sebagai bagian dari rangkaian acara pembicaraan tentang dasar Indonesia pada 1 Juni 1945.

Kerelaan untuk berpusing ria menggali pijakan ideologi bangsa kala itu adalah apalagi jika bukan serta merta juga dalam rangka merencanakan kemerdekaan. Yang namanya mempersiapkan kemerdekaan, tentunya poin yang menjadi perhatian pertama dalam pidatonya kala itu adalah soal kemerdekaan. Dasar negara harus ada dalam kemerdekaan, dan merdeka perlu dasar negara. Maka adalah tidak srek membahas tetek bengek dasar negara tanpa berbicara tentang bagaimana cara merdeka terlebih dahulu.

Merdeka Ala Bung Karno : Mempersiapkan Kemerdekaan Seperti Mempersiapkan Pernikahan

Dalam sudut pandang Bung Karno, kemerdekaan justru dimaknai sebagai sesuatu yang unik namun tetap mengena dan patut direfleksikan. Jika orang-orang mengkaji kemerdekaan secara rumit dengan varian bentuk simile, misalnya sebagai bentuk perwujudan lain dari kebebasan universal ; akhir perjuangan ; awal yang sejati ; proses penghidupan bangsa ; dan lain sebagainya, maka tidak demikian dengan beliau yang justru memaknai kemerdekaan dengan penuh kesimpelan.

Ya, kesimpelan. Kesimpelan yang penulis maksud ialah ketika Bung Karno cenderung to the point dan ogah memperumit persiapan kemerdekaan, sehingga beliau dengan penuh kebersahajaannya malah mempersempit arti dari kemerdekaan sendiri. Kasarnya, maksud dari kemerdekaan menurut beliau begitu sederhana. Beliau memulainya dengan sebuah analogi bernuansa anekdot. Begini potongan-potongan bunyi beliau :

....Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian Saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji Rp. 500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.Ada orang lain yang berkata: Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu meja makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur.Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen!

Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: kawin.Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, electrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat-tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar satu periuk, Saudara-saudara! (Tepuk tangan, dan tertawa). Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset plus kinder-uitzet, -- buat 3 tahun lamanya! (Tertawa)....

Dalam berpotong-potong ungkapan beliau tersebut, dapat kita lihat bagaimana cerdiknya pikiran Bung Karno dalam menyamakan persiapan kemerdekaan dengan persiapan pernikahan. Lhoo, apa kaitannya ? Realitas karakter dan pola pikir orang-orang sungguh berbeda satu sama lain ketika hendak menghadapi pernikahan. Beberapa lelaki terlalu berorientasi pada jangka panjang dan menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang memerlukan banyak matangnya persiapan, tatkala sebelum mengikat sumpah janji, haruslah mereka mempunyai rumah dan uang banyak terlebih dahulu dengan asumsi semuanya akan lancar dan sesuai harapan.

Bertolak belakang dengan ketika lelaki yang lain justru hanya mengandalkan kekuatan tekad sebagai modal pernikahan. Tak perlu gedung dan emas, cukup tempat tinggal berukuran kecil dengan dapur dan tempat tidur beralaskan tikar, itu sudah pantas dijadikan sarana penunjang simbolisasi keterikatan suami istri. Kemudian Bung Karno melengkapi kembali, diantara kedua permisalan kisah lelaki itu, apakah sudah pasti yang paling berbahagia adalah lelaki yang pertama ? Nalar manusia akan menjawab : belum tentu.

Dalam kaitannya dengan persiapan kemerdekaan, secara subjektif penulis mengindikasikan bahwa melalui cerita permisalan tersebut, Bung Karno sesungguhnya (secara implisit) berniat untuk mengkritik proses persiapan kemerdekaan yang terjadi kala itu. Bahwa, BPUPKI mencerminkan lelaki pertama, yang serba merumitkan situasi sana dan sini dalam merencanakan kemerdekaan. Secara sepihak Bung Karno mengeluhkan perencanaan kemerdekaan yang terlalu bertele-tele dan memakan banyak waktu.

Beliau bersikukuh, hal tersebut (secara kasar) hanya akan menelantarkan Indonesia dalam hal kepastian kemerdekaan. Dengan demikian, jelas disini terlihat jelas bahwa Bung Karno berani (lagi, secara implisit) menyatakan dirinya sebagai pihak oposisi daripada BPUPKI, atas ketidakrelaannya untuk membiarkan persiapan kemerdekaan tanah airnya sendiri jatuh kepengurusannya di tangan Jepang, yang notabene berstatus (bekas) penjajahnya sendiri.

Bung Karno melihat kemerdekaan bukanlah sebagai sesuatu yang perlu dirumit-rumitkan, dimatang-matangkan, dan sebagainya ; tatkala yang beliau harapkan hanyalah satu hal, Indonesia menggenggam kemerdekaan secepat mungkin dalam waktu yang seringkas mungkin, karena ini adalah harapan universal bagi siapa saja orang yang berpayung dalam nama Indonesia. Apakah sudah ada modalnya untuk mewujudnyatakan kemerdekaan dengan cara seperti demikian ? Ada. Bung Karno menyebut modal itu dengan istilah Minimum Eis. Adalah hasrat bersama ; semangat bersama ; tekad bersama ; kemauan bersama, untuk membangun dan mempertahankan bangsanya sendiri, yang dimana itu sudah tercipta dan tertanam dalam setiap intuisi pikiran dan perasaan milyaran orang Indonesia jumlahnya.

Jika itu sudah menjadi modal yang sangat cuku, jadi untuk apa terus diperumit ? Untuk apa trus ditunda ? Untuk apa terus ragu hati dan berlutut pada leletnya langkah kaki BPUPKI ? Sungguh kurang kerjaan.... Jadilah seperti lelaki yang kedua, percaya diri mengandalkan tekad dan keberanian untuk mencapai visi besar.... Menunda kemerdekaan sama kelirunya dengan menunda pernikahan.... Kira-kita seperti itulah....

Jelas kekritisan dan kesederhanaan begitu terpantul disaat yang bersamaan sekaligus sebagai bagian dari jati diri Bung Karno ketika beliau menegaskan semua itu melalui bunyinya yang demikian :

  • ....Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai "njlimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njlimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan....
  • ....Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njlimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka....
  • ....Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan njlimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya Tuan-tuan punya semangat,-jikalau Tuan-tuan demikian- dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang....
  • ....Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar-hati....
  • ....Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan "INDONESIA MERDEKA SEKARANG" Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!....  
  • ....Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!....
  • ....Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap sedia, masak untuk Merdeka....

Merdeka Ala Bung Karno : Kemerdekaan Adalah Jembatan Emas Kesembuhan Indonesia

Kiat Bung Karno belum berhenti sampai disitu. Beliau kemudian kembali bermain-main dengan analogi. Penggambaran kemerdekaan dengan permisalan kasus jenis-jenis model lelaki dalam mempersiapkan pernikahan kemudian terbarui dengan anaogi lain yang lebih estetik : 'kemerdekaan adalah jembatan emas'.

Bermula dari anggapan Bung Karno tentang realitas keadaan Indonesia yang diidentikan sebagai suatu penyakit, maka beliau mengekspektasikan kemerdekaan dapat menjadi obat yang mujarab untuk menyembuhkan penyakit itu. Asumsi bahwa 'penyembuhan penyakit' sebagai aspek prasyarat dari perwujudan kemerdekaan beliau anggap sebagai kekeliruan ; yang benar adalah justru kemerdekaanlah yang akan membawa Indonesia pada ''penyembuhan penyakit' itu. 'Merdeka untuk sembuh', bukan 'sembuh dulu baru merdeka'. Harapan Indonesia untuk memperbaiki diri ada diujung dari jembatan emas itu. Indonesia merdeka dalam keadaan sakit dan akan sembuh setelah menyeberangi jembatan emas kemerdekaan tersebut.

Konkritnya beginilah kata beliau :

....Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakit hongeroedeem, banyak ini banyak itu. "Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka."Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan "jembatan". Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi....

Merdeka Ala Bung Karno : Bersatu dan Persatuan

Setelah Bung Karno cukup senang hati dengan aspresiasi tepuk tangan, kemudian beliau memberikan sentuhan lanjutan pada pidatonya. Tidak lagi tentang analogi, melainkan yang lebih serius dan empirik. Kini, topik pembicaraan tentang arti kemerdekaan kembali semakin dipersempit. Kali ini beliau mencoba memaknai kemerdekaan dengan melirik aspek psikologisnya. Mencoba untuk rendah hati, untuk selanjutnya Bung Karno berani untuk mengutip pendapat-pendapat insan pintar lain.

Dengan dibumbui istilah-istilah asing yang menyangkut teori kemerdekaan, Bung Karno sekejab menyerahkan pemaknaan kemerdekaan berdasarkan sudut pandang pihak lain : sosok Ernest Renant dan Otto Bauer lah yang dipilihnya. Berdasarkan pemikiran kedua ahli tersebut, Bung Karno menitikberatkan langsung pemaknaan tentang kemerdekaan dengan istilah sederhana : persatuan. Tidak jauh berbeda dengan konsep Minimum Eis tadi, dalam konteks ini persatuan (yang didasari oleh kesadaran akan kesamaan nasib) serta merta dianggap olehnya sebagai aspek fundamental daripada perwujudan kemerdekaan itu sendiri. Bersatu adalah untuk merdeka, dan tidak akan ada merdeka tanpa bersatu. Kurang lebih beginilah kata beliau :

  • ....Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?Menurut Renan syarat bangsa ialah "kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: "le desir d'etre ensemble", yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu....
  • ....Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya "Die Nationalitatenfrage", di situ dinyatakan: "Was ist eine Nation?" dan jawabnya ialah: "Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charakter-gemeinschaft." Inilah yang menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib)....    

Merdeka Ala Bung Karno : Ada Pemerintahan (yang Berdaulat), Rakyat (yang Toleransi) dan Wilayah (yang Mencakup Secara Universal)

Jika tadi Bung Karno melirik aspek psikologisnya, kini yang ditekankan selanjutnya adalah dari teknisnya. Seyogyanya aspek-aspek teknis apa saja yang kiranya wajib terpenuhi agar kemerdekaan yang dimimpikan dapat terwujud. Sederhana, beliau menegaskan : ada sekumpulan orang (rakyat), tanah (wilayah), pemerintahan dan yang terakhir pengakuan oleh bangsa lain, yang dimana masing-masing dari variabel tersebut membentuk satu kesatuan kedaulatan yang utuh.

Kata 'sekumpulan' mengarah pada kondisi dimana setiap orang yang berpayung dalam nama Indonesia bersatu dan menempatkan diri satu sama lain dalam kesatuan identitas dan jati diri sebagai warga negara bangsa Indonesia. 'Sekumpulan' tersebut juga dimaknai Bung Karno sebagai penunjang nilai keuniversalan, keterbukaan dan toleransi ; yang minim akan tindak pandang bulu, yang dimana itu merepresentasikan : Indonesia yang semua untuk semua, bukan semua untuk satu, sebagai suatu bentukan mufakat yang secara psikologis telah 'terencanakan' dari setiap-setiap orang Indonesia yang memiliki kesamaan tujuan, yakni tujuan untuk merdeka.

Akhir

Dilihat secara keseluruhan, ringkasnya makna kemerdekaan sesuai dengan apa yang dimimpikan Bung Karno (bersama dengan seluruh Indonesia) mencakup dalam tiga cara :

a.Secara analogis : Kemerdekaan adalah visi besar bersama, maka merdeka bukanlah sesuatu yang harus terus ditunda. Tempuhlah kemerdekaan dengan penuh motivasi dan ambisi layaknya ketika hendak mempersiapkan pernikahan. Mengapa ? Karena merdeka adalah jembatan emas yang menawarkan kesembuhan diujungnya.

b. Secara psikologis : Kemerdekaan hanya memerlukan satu modal besar, dan penanamannya sudah diperoleh sejak lama. Modal tersebut adalah kebersamaan dan kesamaan : dalam hal kesadaran nasib dan kehendak untuk bersatu.

c. Secara teknis : Kemerdekaan hanya sedikit menagih prasyarat sederhana : ada rakyat, pemerintahan dan wilayah, sebagai tiga variabel yang membangun keutuhan jati diri yang berdaulat sebagai sebuah bangsa.   

Jika kita merujuk pada segala transformasi realitas yang telah membentuk Indonesia masa kini, tentu saja pemaknaan kemerdekaan itu sendiri akan lagi berbeda cerita dan orientasinya. Tidak hanya sekadar bersatu diatas kesamaan prinsip dan tujuan, yang dibutuhkan Indonesia di ulang tahunnya yang ke 72 ini adalah lebih dari itu. Pemerataan perekonomian, peningkatan kualitas pendidikan, pemangkasan kemikinan, penekanan isu masalah ketimpangan sosial, toleransi antara kebegaraman, integritas dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara dan masih banyak lagi. Pengharapan akan perwujudan kemerdekaan teradaptasikan dengan kondisi Indonesia 'yang tak seperti dulu'. Merdeka saat 1945 berbeda dengan merdeka saat 2017 dan selebihnya.

Lalu, sejatinya untuk apa lagi merefleksikan dan memaknai kembali gambaran bentuk awal cita-cita kemerdekaan yang dimimpikan 72 tahun lalu ? Bukankah saat ini kita tidak sedang berada dalam konteks sebagai negara yang baru akan berdiri dijalan yang baru ? Jawabannya adalah agar rangkaian visi misi dan tindak tanduk kita dalam mengupayakan segala kebaikan yang diperlukan Indonesia tidak keluar dari jalur yang sudah dibuka dan diarahkan oleh para moyang pejuang kita dulu.

Jangan sampai arti merdeka untuk sekarang tidak koheren dengan arti merdeka 72 tahun yang lalu. Kiat Bung Karno tentang merdeka dalam pidatonya patut kita jadikan sebagai rujukan psikologis agar segala perbuatan yang mencerminkan penyalahmaknaan kemerdekaan dan pengrusakan bangsa, dapat ditekan potensinya. Indonesia sudah menemukan titik terang 72 tahun lalu, dan seterusnya titik terang itu harus tetap ada didalam kita. 

         

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun