Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Ada Apa dengan Sampah Jakarta?

19 November 2015   07:07 Diperbarui: 30 November 2015   09:10 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="lautan sampah di Bantargebang"][/caption]Ending yang bisa ditebak. Perseteruan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama dengan PT Godang Tua Jaya (GTJ) terkait pengelolaan sampah yang diperparah penghadangan supir truk oleh sekelompok masa, akhirnya dilerai oleh pihak yang berwajib. Antrian truk silakan lewat menuju Bantargebang Bekasi dan selamatlah Kota Jakarta dari ancaman lautan sampah.

Iya juga, ngga mungkin Presiden Jokowi mau mempertaruhkan nama dengan membiarkan Ibukota Negara Republik Indonesia dipenuhi sampah hanya gegara anak buahnya nekad menantang lawan. Padahal kalau dibiarkan, wuih …… saya membayangkan yang terhormat bapak duta besar serta yang terhormat – yang terhormat lainnya menutup hidung dan bahkan mungkin mengungsi dari Kota Jakarta akibat bau yang tak tertahankan melingkupi Kota Jakarta.

Kota Bandung pernah mengalami di tahun 2005. Akibat terjadi longsoran sampah di Leuwigajah yang memakan ratusan korban, Kota Bandung tak ubahnya seperti kota yang mengerikan. Dimana-mana sampah. Bau busuk tercium dalam radius 1 kilometer dari kontainer sampah, hingga akhirnya Presiden SBY turun tangan mengultimatum walikota Bandung, Dada Rosada.

Setelah itu beberapa kali terjadi lagi walau tidak separah yang pertama. Penyebabnya warga yang dilewati truk sampah menuju TPA Sarimukti, menuntut uang bau yang tak kunjung dibayar. Hanya 2-3 hari, tapi efeknya sama dengan ketika sekelompok warga Cileungsi menuntut uang ganti rugi atas hadirnya truk sampah yang wara-wiri di kawasan tempat tinggalnya. Truk sampah menuju Bantargebang tersebut sungguh mengganggu, baunya busuk, sering meninggalkan cairan lindi dan tentu saja belatung menjijikkan yang muncul di sela-sela sampah berusia sekian hari.

Walau tragedi terbengkalainya sampah Kota Jakarta sudah berlalu, bukan berarti kasusnya sudah selesai. Yang dilakukan hanya pengalihan masalah, belum ada penyelesaiannya sama sekali. Jadi? Potensial untuk meledak dengan skala yang lebih besar. Duarrrr ….. tenggelamlah Jakarta dalam tumpukan sampah. Mirip kisah Mr Bean yang menyembunyikan masalah dalam lemari yang dipaksa tertutup rapat, begitu pintunya tak mampu menahan, berhamburanlah isinya.

Inti masalahnya apa sih? Sederhana, sampahnya berasal dari abad milenium, cara buangnya masih cara zaman batu. Kumpul, angkut, buang. Kemudian sebagai manusia milenium yang mengagung-agungkan teknologi dan uang, semua pihak terlena, menganggap uang bisa menyelesaikan masalah, teknologi secara simsalabim mampu memusnahkan sampah. Lupa bahwa ada hukum kekekalan materi, jadi ya ngga mungkinlah sampah bisa menghilang, pasti akan berubah wujud. Apakah menjadi listrik? Pasti ada residunya. Plastik berubah menjadi serpihan plastik. Sampah organik yang berubah menjadi kompos.

Kebetulan saya menyimpan salah satu tulisan kompasianer Yogi Ikhwan yaitu Berdamai Dengan Sampah Di Bantargebang yang publish 12 Desember 2010 dan diperbarui 26 Juni 2015. Dalam tulisan yang diperkuat foto-foto, tampak bahwa TPST Bantargebang, telah menerapkan Sanitary Landfill dengan metode Gassifikasi Landfill – Anaerobic Digestion (GALFAD). Dimana gas metan yang keluar dari timbunan sampah organik, dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Sedangkan sampah anorganiknya diolah dengan teknologi Pyrolysis untuk juga menghasilkan bahan bakar pembangkit listrik.
Listrik yang diproduksi sebesar 2 MW (tahun 2010), target tahun 2011 sebesar 14 MW, dan kapasitas penuh PLTSa sebesar 26 MW ditargetkan tercapai tahun 2023 MW. PT PLN telah bersedia membeli listrik yang dihasilkan PLTSa Bantargebang senilai Rp 850 per KWH.

Setiap tahunnya diprediksi 800 ribu ton emisi gas rumah kaca yang dapat dapat dikurangi di TPST Bantargebang melalui aktifitas ini. Keberhasilan Dinas Kebersihan DKI mengolah sampah menjadi energi listrik telah mengantarkan Pemprov DKI Jakarta meraih penghargaan Anugerah Dharma Karya Energi dan Sumber Daya Mineral dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Nah lho? Bagaimana Ahok, panggilan Basuki Tjahaya Purnama bisa menuduh PT GTJ wanprestasi jika kenyataannya DKI Jakarta mampu meraih penghargaan berkat keberhasilan mereduksi efek gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global? Yang memberi penghargaan Kementerian ESDM lho, bukan lembaga ecek-ecek.

[caption caption="kegiatan pengelolaan sampah di Bantargebang (dok. Yogi Ikhwan)"]

[/caption]Sebagai tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) terbesar di Indonesia, wakil presiden Budiono (kala itu) pernah melakukan hubungan kerja pada 19 Maret 2010. Dan yang tak kalah seru, Megawati Soekarno Putri pernah melakukan deklarasi ketika maju bursa presiden dengan Prabowo Subianto.
Penulisnyapun mantan jurnalis yang kini bekerja di Pemprov DKI Jakarta. Jadi jika merunut berita terakhir Kompas.com maka kedua pihak (Pemprov DKI maupun PT GTJ) sama–sama melakukan kesalahan.

Kewajiban Pemprov DKI yang hingga kini belum terlaksana adalah pembangunan sumur pantau, pembuatan talud di Sungai Ciasem yang seharusnya 3 kilometer baru terealisasi 1,8 km, pembangunan Jalan Pangkalan Lima, penyediaan obat-obatan, dan pembangunan instalasi pipa ke sumur artesis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun