Mohon tunggu...
Suci Maitra Maharani
Suci Maitra Maharani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak suka kopi

Quarter of Century

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Aku Anak yang Menyimpan Tanya

9 Desember 2016   20:31 Diperbarui: 9 Desember 2016   23:43 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: novykayra.blogspot.com

“Jadi kau itu buah cinta sejati atau cinta birahi?”
Begitu mereka pernah bertanya padaku suatu waktu.

***

Aku memang tak pernah mengenal ayahku sejak lahir hingga kini tumbuh dewasa. Aku hidup di bawah rimbun kasih sayang seorang wanita yang bagiku begitu mulia. Aku dilahirkan dan dibesarkannya tanpa seorang ayah. Kami menjalani hari-hari yang berbeda-beda dan melampaui semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Ibu pernah bercerita, dulu memang ia adalah wanita yang suka berkencan dengan para lelaki.

Ibuku perempuan yang cantik juga amat menarik. Bukan hanya parasnya yang nikmat dipandang mata, tapi karakter Ibu juga membuatnya menjadi tipe wanita seluruh pria. Tak heran banyak kumbang memujanya sebagai bunga titisan dewa. Tapi Ibuku ternyata hanya manusia. Kencannya yang sering bergonta-ganti membuatnya tak dapat memastikan benih lelaki mana yang mengembang di rahimnya dan mewujud lahir menjadi aku.

Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang, dan untuk seorang anak yang kenyang cinta toh bagiku itu bukan perkara yang penting-penting amat. Ibu mengasuhku dengan keperkasaan prima dan memenuhi segala yang kuinginkan. Aku ingin jadi penyair, Bu. Suatu hari kumengatakan padanya. Ibuku mengangguk pasti dan percaya segala mauku akan menjadi nyata. Dengan ketelatenan yang lahir dari tangannya aku membuat jemariku tak henti menetaskan kata-kata yang lalu beranak pinak banyak sekali. Aku semakin tumbuh besar, sajak-sajakku juga.

Aku besar dan bertemu banyak penyair, baik yang masih seusiaku, lebih muda, juga yang lebih tua, bahkan jauh lebih tua. Ada di beberapa kepala mereka menyarang satu tanya yang sama sampai padaku tentang identitas ayah. Jadi kau ini lahir dari cinta sejati atau cinta birahi? Hasil hubungan terang atau gelap? Dan bagiku, para penyair yang terus bertanya seperti itu tentu saja jauh dari kata cerdas. Justru ibuku yang bukan penyair pernah bertanya, “Kau, penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam kata-katamu?”

Tepat, aku terlahir dari seorang wanita cerdas. Karenanya kromosom yang membentuk DNA-ku adalah kromosom yang sama cerdas. Tak ada keraguan lagi darimana kemampuanku mencipta geliat makna yang kupahatkan dalam larik juga rima. Hingga secara kebetulan seiring dengan syairku yang kian membumi, berdatanganlah mereka, beberapa pria yang mengaku-aku sebagai Ayahku.

Mereka menyatakan cintanya yang tulus kepada Ibu. Ada yang menawarkan nafkah berupa rumah lengkap dengan garasi beserta isinya, ada juga yang bersedia memberikan sertifikat tanah berhektoare luasnya, atau yang bersumpah mewujudkan apapun yang Ibu inginkan. Mereka tak lupa juga berkata merasa bangga padaku yang kian beranjak dewasa baik orang maupun sajaknya. Sayang, aku tak butuh pahlawan kesiangan. Ibuku juga. Dan semua yang datang itu Ibu singkirkan hanya dengan kibas satu senyuman. Lagipula, aku lebih suka membiarkan diriku tetap menjadi milik rahasia.

Waktu adalah satu-satunya yang tak dapat kami rekayasa. Dan syair-syairku tak pernah bisa membeli waktu meski sedetik juga. Aku menjadi seorang dewasa yang artinya Ibuku juga beranjak menua. Kini ketika senjanya tiba, Ibuku yang cerdas terbaring sakit. Ibuku yang perkasa telah susut kuasanya, dan hanya mampu tergolek ditinggalkan daya, tubuhnya makin hari makin lemah. Dalam sakitnya, Ibu sering minta dibacakan sajak-sajakku yang kadang ia mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca. Memang selain berdua sajak telah menjadi yang ketiga bagi kami. Ibu adalah penggermar utama dan terberat dari sesajakku, denting pengiring irama syairku juga bara dari nyala kata-kataku.

Ibuku tak tahan lagi rupanya, ia harus menyudahi semuanya. Berperang melawan hidup tiba masanya tuntas, Ibuku saatnya mentas. Di gurat terakhirnya tercetak catatan perjalanan, Ibuku yang tangguh terus melindungiku dengan cinta dan keyakinan. Meski, hingga saat-saat terakhirnya ia tak pernah juga menyelesaikan jawaban dari segala pertanyaan.

Beberapa saat sebelum Ibuku wafat, aku dengan lancang kembali bertanya. Aku tak ingin Ibu pergi membawa pertanyaan besarku yang kelak kutuntut hingga mati. Pada hari dan saat yang telah banyak kupertimbangkan, di sisi pembaringannya aku menatap penuh harap, “Ibu, aku ini sebenarnya anak siapa?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun