Mohon tunggu...
Linda Djalil
Linda Djalil Mohon Tunggu... -

linda - TEMPO dan GATRA menempa saya untuk selalu jeli, kritis, menulis dengan jujur, dan bekerja keras. Hasilnya? Saya tidak tahu karena yang menilai tentu orang lain. Di KOMPASIANA ini saya sangat menghormati nama pemberian orang tua saya sehingga tidak perlu saya ganti dan palsukan, apalagi memalsukan wajah pada identitas diri. Blog pribadi saya, www.lindadjalil.com --- bila iseng, silakan mampir.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mama Menginap Lagi di Rumah Teman...

20 Februari 2010   17:17 Diperbarui: 4 April 2017   17:22 45482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kamarku sepi. Suara televisi sudah sayup, pertanda papa mulai meredupkan mata. Biasanya ia mengecilkan volume kalau kantuknya menyergap. Secangkir kopi tadi sore tidak mampu menahannya bertahan sampai malam hari.

Kamarku sepi. Suara telefon genggam sudah lelah berbunyi. Pacarku sudah mengucapkan selamat tidur lewat sms yang panjang lebar dan penuh cinta itu. Adikku di tempat tidur sebelah sudah merapatkan tangannya ke balik selimut.

Hatiku sepi. Mama tak ada lagi. Ia sibuk dengan pertemanannya ke sana ke mari. Dengan alasan tak betah di rumah duit cekak papa sering membentak, mama acapkali menginap di mana-mana. Di rumah tante yang berambut pirang, di rumah tante berkacamata, di rumah tante yang hobi pakai baju batik. Semua teman mama yang serba tak jelas, yang kurang kusukai. Entah mengapa. Hatiku berkata tak suka saja kepada mereka. Andai mereka wanita waras, tentu justru harusnya menasihati mama untuk tak sering-sering hengkang menginap ke sana ke mari. Dan mengatakan mama bukanlah remaja lagi.

Hatiku sepi. Kini dengan membara tajam. Di satu sisi aku harus menghormati mama sebagai ibu biologisku. Di sisi lain aku semakin tak mengerti mengapa mama jadi begini.  Gelang kalung gede-gede melingkar di tangan dan lehernya, yang aku tahu itu semua barang pinjaman. Rambutnyapun sudah mulai berubah warna. Kadang ungu kadang merah kadang keemasan bagai boneka barby. Aku pilu ketika teman sebangkuku tertawa cekikikan saat melihat mama di mall dengan rambut diriap sebahu. Nyokap lo kayak boneka barby, tapi barby tua....

Duh mama, betapa usia lebih dari separo abad bagai tak diingat sama sekali. Dandanan ala ABG dengan wajah keriput dan celana pendek minim berhias kaki penuh selulit dan garis biru ketuaan seperti tak pernah tersentuh cermin. Mama benar-benar semakin mengumbar segalanya. Dan semakin tak perduli. Dan tak mau tahu tanggungan berat  akibat malu yang kuhadapi dari hari ke hari.

Aku kembali malu amat sangat ketika ada lagi yang berkata, sudah lihat facebook nyokap lo? Ada fotonya lagi bergaya berbaring di tepi kolam renang dengan payudara nyembul betis paha diumbar. Barangkali nyokap lo termasuk yang memang memanfaatkan facebook di luar hal-hal yang positif. Duh mama, kenapa kembali mempermalukan aku...dan jangan salahkan mereka ma, yang sudah berkomentar serupa itu. Kemarin kata seorang psikolog  di televisi, komentar orang terhadap kita tergantung dari tampilan kita.

Kadang aku ingin sekali malam-malam begini sebelum tidur mengobrol dulu dengann mama. Atau ditemani makan malam di meja sembari bercerita urusan sekolahku, urusan les dan teman-temanku. Atau apa saja yang berkaitan dengan kewanitaan.  Mama hanya menghadiahkan beberapa sms saja dari kejauhan. Sudah makan, sudah bereskan dapur, lagi apa bokapmu yang bawel itu dan  sebagainya. Atau menelefonku dengan suara hiruk pikuk dari ruang karaoke atau kafe yang penuh gelak tawa.

Mama jarang sekali tahu baju apa yang kupakai pagi saat berangkat kuliah. Atau jepit rambutku berganti warna. Bahkan cabe bawang tomat yang berkurang di dapur rasanya bukan urusannya lagi. Semua terlampiaskan dengan ia menginap di berbagai rumah temannya, menghindar dari keributan dengan pasangannya yang telah menemani hidupnya sebelum ini. Hidupnya kelewat sibuk oleh urusan di luar rumah yang tak jelas juntrungannya itu.

Mama juga tak pernah tahu betapa diam-diam ibunda pacarku seringkali berkata kepada teman-temannya bahwa ibuku brengsek dan tak memperhatikan keluarganya. Dan ia berpikir-pikir sejuta kali kalau harus berbesanan dengan perempuan semacam itu. Duh... getahnya tentu  lagi-lagi aku yang mengecapnya.

Duh mama.... malam ini begitu sepi. Mama menginap lagi di rumah teman.... yang dianggapnya lebih nikmat lebih nyaman lebih sedap ketimbang  tidur di rumahnya sendiri sembari memeluk aku dan adik-adik. Sampai kapan mama akan  terus begini? Kapankah suatu saat Tuhan membalikkan qolbu mama untuk sadar diri? Kapan...?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun