Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kenapa Tulisan yang Humanis Itu Lebih Disukai

16 Mei 2014   05:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:29 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya memang penyuka hal-hal yang terjadi dalam konteks kehidupan sehari-hari. Memotret kehidupan melalui tulisan feature, terasa ringan, aktual, karena genre humanisme itu tak pernah basi. Yang penting menulis feature itu selalu berada pada posisi standing on fact. Yang dipotret/ditulis itu ada, meski dengan bumbu-bumbu teranyar.
Makanya dari semua tulisan saya sejak ikutan bareng ngompasiana, kalau pun temanya ada berbau birokrasi dan politik, tapi unsur humanitasnya yang saya paling kedepankan. Persoalan cinta, saya anggap bagian penting dari kemanusiaan. Saya misalnya lebih suka berbincang dengan penjual sate, menyimak suka dukanya. Atau menelisik para pemburu burung yang tak ingat lagi kapan matahari terbenam saking asyik bertiarap menunggu jerat sangkarnya menjerat korban. Atau untuk apa seseorang terjun jadi wartawan kalau menulis berita pun tak bisa. Untuk menghidupi anak isteri, atau sekadar ikutan doang. Juga amatlah menarik memotret suasana dan kebiasaan serta hal-hal unik di daerah, ketimbang ikut-ikutan nimbrung mencampuri politik pileg dan capres yang saya sendiri tak merasa paham.Bagi saya politik itu cukuplah sekadar diketahui saja, dan kalau pun satu ketika kasi komen dan opini, ya yang normally saja. Tak usah grasa-grusu, sepertinya saya itu kader kebakaran jenggot. Ranah kita ada di kanal penulisan, terasa kaya dan nyaman membicarakan apa saja yang menarik diliput dan ditayangkan. Dalam memilih topik short story misal, saya suka membidik sisi-sisi ganjil dari perkara percintaan. Ada apa dengan rambut, kumis, gigi, para pelaku. Kenapa ada gadis memilih jadi single women sementara peminat silih berganti. Kenapa Jokowi itu teramat populer seperti SBY dulu, seakan manusia Indonesia sekarang dijangkiti demam Jokowi. Bukankah itu seolah-olah nama Jokowi memiliki mukjizat, sehingga dianggap sakti mandraguna. Ah, koq nama aja dibilang sakti. Tepatnya nama bertuah aja kenapa, komen teman saya.
Tak banyak mungkin penulis masa kini tau siapa Rosihan Anwar (alm), atau Putu Wijaya penjaga gawang rubrik Cari Angin di Tempo. Rosihan itu seperti terbaca saya dalam sebuah tulisannya menekankan, kalau feature itu sebenarnya ibarat bunga dalam sebuah taman di suratkabar. Kalau berita itu mata dan telinga, maka editorial adalah otak. Sebuah tulisan feature tak perlu rumit-rumit membidik tema, kata Rosihan pada suatu acara penataran dulu. Tentang kondom saja pun bisa dibuat jadi sebuah cerita menarik bergenre feature. Coba juga kita simak, apa saja yang ditulis Putu Wiajaya di kolom Cari Angin di Tempo. Memang ada sentilan sentilun, tapi bahasa dan plot ringan dan kocak, tak perlu mengerutkan dahi membacanya.
Di Kompasiana itu saya kagum dengan ratusan tulisan yang tayang dalam hitungan detik. Membaca judul yang masuk membuat saya seperti sedang membaca running teks di layar televisi. Dari tulisan ilmiah, kalkulasi-kalkulasi matematis, reportase kampung, wisata, filosofi, prosa, puisi, esei, hingga romantika kehidupan masyarakat kecil. semuanya campur ada di sini. Kalau diumpamakan pasar kuliner, maka menu tayangan Kompasiana sudah sangat komplit, multi vitamin kalau ibarat obat.
Saya salut dengan kecekatan dan keseriusan para kompasianer menggelindingkan arus pikirannya di sini. Terkadang saya mengernyitkan kening, kapan ya kompasianer itu istirahat, makanya setiap menit setiap jam ratusan tulisan meluncur deras di laman kompasiana. Banyak yang enak saya baca dan kena dengan kesukaan saya, walau terkadang saya merasa kikuk atau khawatir (?) saat ketemu tulisan beraroma politik tinggi dengan penyampaian yang cenderung keras dan pisau analisis yang luar biasa tajam terhadap oknum atau kubu tertentu. Saya salut keberanian beraspirasi macam itu, tapi sekaligus khawatir apakah kritik ekstrim itu satu saat tidak berdampak menuai risiko yang siapa tahu diluar keinginan kita. Soalnya, seperti terbaca menjadi papan pengumuman permanen di laman Kompasiana ini, setiap tulisan adalah tanggung jawab kompasianer.
Tapi, namanya ibarat pasar kuliner. Ada makanan yang pedas bukan main, ada menu sedang pedisnya, ada yang enak di mulut enak pula dalam perut, ada yang penyejuk dengan aneka juice, ada pula menu pengunci.
Sekian saja catatan kecil saya, kesan mengikuti sajian menu keroyokan di Kompasiana. Selama saya masih ada minat saya masih akan menyumbang hasil jepretan saya, dengan pilihan feature menyangkut yang sifatnya humaniora, dan kalau dapat hal yang aneh-aneh dan unik. Salam

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun