Mohon tunggu...
Lazuardi Ansori
Lazuardi Ansori Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir dan besar di Lamongan, kemudian belajar hidup di Sulawesi dan Papua...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru dan Murid

26 Mei 2010   12:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:57 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_150698" align="alignleft" width="189" caption="http://ksupointer.mypointer.info/wp-content/uploads/2009/04/guru-2.jpg"][/caption]

Ingngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Guru dalam “ilmu Jawa” disebut sebagai sosok yang digugu lan ditiru. Itu mungkin sebagian dari banyak ungkapan yang sering kita dengar tentang Guru.

Sebagai seorang yang besar dan dapat sekolah dari gaji seorang Guru, saya sedikit banyak telah mengalami perjalanan sejarah kehidupan seorang Guru. Entah itu sejarah tentang perlakuan masyarakat terhadap Guru, tentang “dialog keluh” antar Guru maupun tentang kepulan asap dapur seorang Guru.

Guru selalu ditimang dan rayu dengan banyak istilah. “Pahlawan tanpa tanda jasa”. Pernah juga saya dengar bahwa “setiap orang besar selalu pernah jadi Guru”. Entah kenapa itu selau dielu-elukan, padahal di alam nyata, Guru yang ada disekitar kita tidak pernah menjadi orang besar. Minimal mereka selalu dihadapkan pada banyaknya problem –tidak hanya melulu tentang tercekiknya dompet namun juga tentang tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsa.

Saya setuju dengan salah satu tokoh (saya lupa namanya) yang sempat berujar bahwa gelarpahlawan tanpa tanda jasa itu lebih terasa sebagai ungkapan hinaan, ejekan, bukan penghormatan, karena ungkapan itu bisa diartikan bahwa kita anggap Guru memang tak berhak memperoleh tanda jasa itu.

------

Ada cerita seorang ksatria yang ingin belajar kepada seorang Resi yang kepiawaiannya dalam mengajar sudah terkenal. Namun sang Resi itu ternyata menolak, karena dia sudah bersumpah hanya akan mengajar ksatria dari Pandawa dan Ngastina, sementara sang ksatria ini tidak masuk dalam keluarga Pandawa ataupun Ngastina.

Dengan rasa kecewa, ksatria ini pulang. Namun dia tidak patah arang, semangatnya untuk belajar sangatlah tinggi. Konon, ksatria ini membuat patung yang menyerupai Resi yang dipujanya itu, dan dia kemudia berpura-pura berlatih memanah dan sang patung Resi itu memberikan arahan. Tiap hari dia berlatih secara tekun dengan patung itu.

Singkat cerita, ketika diadu, sang ksatria ini jauh lebih baik dibanding dengan murid yang belajar langsung dengan sang Resi.

Ada dua hal yang bisa saya ambil dari kisah itu.

Pertama, bahwa bisa saya pastikan kalau saja Resi tidak menolak ksatria itu pasti dia akan menjadi seorang murid yang mau nggugu [manut] apapun yang di perintahkan dan niru apapun yang dilakukan oleh sang Guru.

Bahwa untuk menuju dunia pendidikan, untuk mempelajari ilmu diperlukan sebuah keprasahan dan telat bulat untuk benar-benar belajar. Bahwa dalam mempelajari ilmu, salah satu unsur terpenting adalah Guru maka siapkan diri untuk menerima sebuah “paket manusia” yang bernama Resi.

Sang ksatria berhasil melapaui tahap itu, jangankan kepada seorang Resi, kepada “bayang-bayang” Resi saja dia mampu tunduk dan manut.

Kedua, bahwa harus ada kemandirian seorang Guru dalam proses transfer ilmu itu. Guru harus bersih dari “campur tangan” dari pihak luar. Ketika Resi bersumpah hanya akan mengajar ksatria dari Pandawa dan Ngastina, tidak ada yang boleh mengganggu gugat.

Kemandirian itu saya dianggap penting, karena saat ini banyaknya pihak yang mencoba mengganggu kemandirian dan independensi seorang Guru dalam mengajar.Sekarang, silahkan hitung kasus betapa banyaknya orang tua yang mencoba merayu Guru, mengibaskan lembaran-lemabaran uang di depan mata seorang Guru yang memang gajinya cekak agar anak orang tua itubisa mendapatkan nilai baik.

Saya pernah dengar seorang Guru berkisah pada saya. Suatu hari ada seorang wali murid datang ke ruang Kepala Sekolah dan meletakkan sebilah parang di atas meja Kepsek, sambil bertanya “Anak saya naik kelas apa tidak?”

­--------

Bapak saya pernah cerita (meskipun cerita ini sering saya dengar dan pernah saya temui sendiri), bahwa santri itu hormat kepada kiai, mereka rela mencium tangan kiai, tunduk akan dawuh kiai, melakukan apa saja yang bisa membuat kiainya senang.

Dan saya menganggap ada dua hal yang membuat kenapa itu bisa terjadi, yaitu karena tekad bulat seorang murid serta karena kemandirian dan kharisma kiai.

Sekarang, ketika membaca kisah Cecep Rochman tentang sikap Guru-Gurunya yang dia ceritakan di Surat Pembaca Kompas. dan dia mengaku mendapat perlakuan kurang baik dari Gurunya setelah keluhannya itu dimuat di media massa (Baca : "Keluhan" Cecep). Kira-kira, masalahnya apa? []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun