Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tidak Semua Orang Asing Itu 'Bill Gates' dan Tahu Indonesia Bukan Hanya Bali

2 Agustus 2012   09:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:19 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang muncul perasaan 'sedih'' bila kebetulan membaca blog atau ngobrol dengan orang Jerman atau orang asing yang menuliskan atau bercerita pengalaman mereka bergaul dengan orang Indonesia. Bila pengalamannya positif tentu saja saya ikut senang dan bangga, tapi bila pengalamannya negatif, ya saya kecewa tentunya.

Lebih 'sedih' lagi, pernah saya membaca sebuah blog yang menuliskan pengalaman siswa Jerman di Indonesia bagaimana ia diperlakukan seperti Bill Gates, padahal tentu saja ia juga sehijau anak-anak di sekolah yang dia kunjungi. Ia pun menuliskan bagaimana risihnya ia diperlakukan seperti  itu apalagi saat ada siswa setempat yang menuliskan ingin seperti anak Jerman ini. Dug ... saya ikut 'sedih' membaca ini. Bila keinginan seperti anak Jerman ini yang dimaksud untuk dapat melihat-lihat negara lain, tentu saja baik. Tapi keinginan dalam konteks lainnya itu yang tidak jelas kan, tidak heran bila anak Jerman ini pun risih saat membacanya.

Bila pernah hidup di luar Indonesia, tentu akan segera menyadari bahwa tidak semua yang asing atau 'bule' itu mengkilap dan serba tahu. Saya pernah beberapa kali tidak sengaja ngobrol ringan dengan orang asing yang bahkan tidak tahu kalau Bali itu ada di Indonesia bahkan lebih parah lagi, tidak tahu letak Indonesia. Ilmu bumi bukan makanan setiap orang ternyata.

Teman saya, orang asing yang bermukim di Indonesia, pernah diminta mengajar di sebuah universitas swasta cukup bergengsi di Jakarta, bukan karena kompetensinya tapi karena 'wujudnya yang asing'. Menurutnya, mahasiswa Indonesia yang terdaftar di sana menginginkan 'orang asing' yang mengajar (walaupun kompetensinya untuk standar negaranya saja, tidak cukup). Ceritanya bagi saya terasa sindiran, betapa anehnya keinginan sebagian dari masyarakat kita.

Konflik identitas ini memang menyedihkan. Saya tidak tahu penyebabnya, apakah karena terlalu lamanya kita dijajah asing atau karena kekecewaan pada kegagalan sistem Indonesia menanamkan rasa identitas nasional ?? Seperti misalnya gejala RSBI atau Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional pun menurut saya gejala tidak menyenangkan yang mana para pemikir sistem pendidikan Indonesia perlu segera turut campur tangan sebelum terjadi keterpurukan identitas nasional yang lebih dalam.

Saya cukup yakin masih banyak kebaikan yang bisa digali dari dalam diri kita, yang murni milik kita dan sesuai dengan hakiki kita, bukan adopsi dari negara A atau negara B. (ACJP)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun