Suaranya terhenti. Aku tetap diam.
" Pesta perkawinanannya setelah lebaran tahun ini. Aku akan datang. Akan aku tunjukkan kalau aku kuat. Kalau aku tidak akan merapuh, hanya karena masalah kebusukan seperti ini." Katanya sambil menatap ruang kosong kejauhan.
Seminggu, setelah kabar pertunangan itu menyebar kemana-mana, ibu yang sejak pertama memendam amarah yang tak berkesudahan, karena memakan malu akibat kakak ku yang gagal menikah dengan Ning luluk itu, akhirnya, di ruang tamu yang tetap beku, dia menatap  lekat mataku. Aku kaget. Ada apa? Yang punya masalah kan kakak , bukan aku!.
" Kamu harus sadar .cung."
Ibu akhirnya memecah keheranan ku.
" Kita ini budak , jangan pernah mengharapkan ratu!" Ibuku memegang dadanya. Menahan gemuruh ombak amarah. Meluap luap, membakar kesabaran.
" Saya sudah bilang kepada kakak mu sejak awal. Tapi tetap saja dia berhubungan dengan putri kiai adnan di kampung sebelah. Akhirnya seperti ini kan?" Aku tertunduk layu mendapati cerita yang secara halus memberikan warning keras pada masa depan ku.
Sebuah peringatan yang suatu saat akan membelenggu ku bersama dia. Ah...
" Kalau hanya panas nya matahari, masih bisa di payungi. Tapi kalau panasnya hati , tidak bisa nak! Tak kan pernah bisa!"
" Enggeh, bu..."
Aku membeku pilu, memandang masa depan ku dengan nya, tak akan sampai di tujuan.