Mohon tunggu...
Shinta Galuh
Shinta Galuh Mohon Tunggu... -

Seorang Muslimah, menikmati pekerjaan barunya sebagai dosen ilmu komunikasi, pecinta buku, suka sejarah, psikologi populer, dunia parenting, fashion dan buah-buahan. \r\n\r\nBerdoa untuk suatu hari, saat saya menjadi seorang ibu, bunda, ummi, apapun namanya, dari anak-anak saya. ^__^

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Film-film 'Kosong' Ala Indonesia

4 Januari 2010   11:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:38 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menurutmu, mau jadi apa bangsa Indonesia?

Menurut saya yang senang mengamati media, bangsa yang berbudaya dapat dilihat dari apa yang ditampilkan media-medianya.  Media menampilkan budaya yang -dipandang atau dijadikan- dominan, sekalipun tidak serta merta menjadi representasi dari seluruh budaya yang ada. Dan salah satunya adalah film.

Memang menarik bahwa tahun-tahun belakangan ini, mungkin selepas booming-nya AADC, begitu banyak film-film Indonesia bermunculan dan menghiasi bioskop-bioskop Indonesia. Ceritanya pun beragam. Dari mulai yang digarap serius seperti Ca Bau Kan, hingga yang sangat ringan seperti Cinta Lokasi. Dan selalu, kontroversi mengikuti perjalanan film-film tanah air.

Sempat di saat masa jaya da'i kondang Aagym, film 'Buruan Cium Gue' dipaksa mengganti judul. Akan tetapi ironisnya, film-film setelahnya yang lebih vulgar justru bisa dengan mudah nangkring di bioskop-bioskop di kota-kota besar. Sebut saja 'Quickie Express' yang dari judulnya saja sebenarnya sudah merepresentasikan filmnya. Tidak ada isu yang mencuat seputar 'Quickie Express', entah itu fatwa haram atau apapun. Semua seperti tertawa bersama Aming,Tora, dan Lukman Sardi. Padahal menurut saya pribadi, film itu menyajikan sesuatu yang 'dong': kosong. (*and i paid for that...)

Film Kawin Kontrak tidak kalah 'serunya', bahkan sampai dibuat sekuelnya segala. Dan film-film bergenre horror dengan daya pikat yang menurut saya masuk kategori 'pornografi', seperti Air Terjun Pengantin, atau film-film yang dibintangi Jupe atau Dewi Persik. Boleh tidak suka dengan pendapat saya tentang kategori 'pornografi'. Tapi kalau mau jujur dengan hati sendiri, tentulah miris melihat penonton film-film tersebut bukanlah penonton 'dewasa' seperti rekomendasi Lembaga Sensor Film. Sebagian penontonnya berseragam sekolah menengah, bahkan pernah saya lihat berseragam biru tua (baca: SMP). Dan herannya, petugas bioskop mengizinkan remaja-remaja ini masuk ke dalam.

Saya belum pernah tingga di Amerika, memang. Tapi salah seorang kerabat Ayah saya yang ditempatkan di sana selama beberapa tahun pernah mengalami suatu kejadian yang mungkin sedikit memalukan baginya. Kebetulan ia ingin membeli 'Penthouse', salah satu majalah porno yang terbit di sana. Melihat tubuhnya yang pendek dan wajahnya yang imut, walaupun ia sudah berkeluarga, petugas toko menolak kerabat Ayah saya tersebut untuk membeli 'Penthouse' karena mengira ia masih di bawah umur.


Memang, terlalu naif untuk membuat kesimpulan hanya dengan satu contoh kasus saja. Namun demikian, kita bisa menarik hikmahnya. Di Amerika saja, bisa dan terjadi kok, pelanggan ditolak karena dianggap masih berusia di bawah umur. Seharusnya Indonesia yang katanya ketat dengan nilai-nilai ketimuran bisa lebih dari itu. Apalagi ini jelas-jelas berseragam.

Tulisan ini sebenarnya dipicu dari pernyataan Herfiza Novianti, bintang film 'soft porn horror' Suster Keramas yang juga dibintangi aktris porno dari Jepang.

"Iya, banyak yang udah berpikiran negatif sebelum menyaksikan, Yang jelas aku pribadi tidak melakukan adegan adegan aneh karena saya punya batasan. Ya, susah kalau belum menyaksikan protes, harusnya nonton dulu. Lagian kan sudah ada badan sensor yang mengatur boleh atau tidaknya tayang, jadi selama lulus badan sensor ya berarti masih layak tonton," katanya kepada KapanLagi.com saat dihubungi via telepon, Minggu (3/1). (sumber: www.yahoo.co.id)

Penasaran, saya search trailernya. Ternyata eh ternyata,trailernya saja sudah sangat vulgar, saya semakin tidak mengerti dengan definisi 'adegan-adegan aneh' atau 'batasan' yang dimaksud di atas. Sayakah yang terlalu kolot, ataukah jaman memang sudah berputar sedemikian cepat sehingga mengaburkan 'batasan-batasan' terhadap 'adegan-adegan aneh' yang layak dan tidak layak ditayangkan?

Lagipula, masih ingatkah bahwa film-film semacam ini dulu tempatnya adalah di bioskop nomor dua. Tapi sekarang, bahkan XXI pun memutar film-film seperti ini, yang artinya adalah masyarakat kelas menengah pun menikmati film-film yang 'kosong' dan hanya menjual sensualitas semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun