Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FEB UGM
KASTRAT BEM FEB UGM Mohon Tunggu... Penulis - Kabinet Harmoni Karya

Akun Resmi Departemen Kajian dan Riset Strategis BEM FEB UGM

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meninjau Kembali Gerakan Nasional Revolusi Mental: Komparasi dengan Restorasi Meiji dan Analisis Kondisi Sosial di Indonesia

1 Mei 2019   17:37 Diperbarui: 1 Mei 2019   17:47 1401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah, Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan telah membelanjakan Rp87.4 miliar pada rentang 1-30 November 2015, Rp92 miliar pada 1-30 Desember 2015, dan Rp22.5 miliar pada 1-30 Oktober 2016. Dana ini dialokasikan untuk tujuan sosialisasi melalui iklan yang ditayangkan pada kanal-kanal televisi nasional. 

Selain itu, dana pembuatan situs web sejumlah Rp200 juta pada tahun 2015 hanya didukung konten yang terbatas dan tidak menunjukkan gairah dalam pengamalan Gerakan Revolusi Mental. Dalam rentang waktu empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, website revolusimental.go.id telah mem-posting delapan belas infografis, empat video, dan 48 galeri foto.

Setelah hampir lima tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, Gerakan Nasional Revolusi Mental relatif tidak terlalu menunjukkan capaian yang signifikan. Lalu, apakah sebenarnya yang harus dibenahi dari Gerakan Nasional Revolusi Mental? Adakah suatu pembanding yang dapat dijadikan patokan bagi Gerakan Nasional Revolusi Mental? Kapankah kita dapat berbangga sebagai bangsa yang berhasil merevolusi diri dan mental?

MENGKOMPARASIKAN REVOLUSI MENTAL DENGAN RESTORASI MEIJI

Mari kita sejenak mengimajinasikan diri yang sedang berada di masa lalu. Terkait pernyataan yang disampaikan Presiden Soekarno dalam pidatonya tentang Revolusi Mental, beliau menyatakan bahwa untuk menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya, nilai-nilai yang telah terinternalisasi selama 350 tahun penjajahan harus dihilangkan. Segala bentuk inferiority complex, budaya penyelewengan kewenangan, dan "mental Inlander" harus dihapuskan. Menurut Presiden Soekarno, sesungguhnya Revolusi Mental juga mewajibkan hengkangnya bangsa Indonesia dari masa lalu dan menolak segala nilai-nilai yang merintangi kemajuan. 

Tak dapat dipungkiri bahwa 350 tahun penjajahan seakan menjadi semacam pencucian otak jangka panjang yang akhirnya melebur ke jiwa bangsa Indonesia. Tak hanya itu, gaya administrasi pemerintahan yang sangat birokratis dan berbelit-belit dari warisan kongsi dagang VOC serta pemerintah kolonial Hindia Belanda masih dipertahankan hingga saat ini. 

Penggunaan teknologi yang dimaksudkan untuk memangkas birokrasi pun juga masih terganjal oleh kecenderungan masyarakat maupun pejabat pemerintahan untuk memanfaatkan celah-celah pada administrasi pemerintahan. Sistem pendidikan pedagogik yang mulai ditinggalkan di negara-negara maju masih menjalar di ruang-ruang kelas. Revolusi Mental yang dikumandangkan Presiden Soekarno tempo hari hampir menjadi tonggak kemajuan bangsa Indonesia yang sayangnya terhenti selama lebih dari setengah abad.

Restorasi Meiji yang terjadi di Jepang pada awal abad ke-20 dapat dijadikan pembanding terhadap Revolusi Mental. Sejak klan Tokugawa berhasil menduduki kursi Shogun, Kekaisaran Jepang menerapkan Sakoku, yang merupakan kebijakan isolasionisme dari hubungan luar negeri. Seiring berjalannya waktu, kebijakan ini menjadikan Jepang sebagai negara yang terbelakang, lemah, dan berpikiran tertutup. Pada Juli 1853, Komodor Matthew Perry berlabuh di Jepang dan menuntut keterbukaan, yang pada akhirnya, pemerintahan Bakufu Tokugawa tidak dapat berbuat apapun dan menerima perjanjian dagang yang cenderung menguntungkan pihak asing. 

Hal ini menimbulkan perselisihan yang berujung pada jatuhnya kekuasaan rezim Bakufu Tokugawa dan restorasi status kepala negara serta pemerintahan kepada Kaisar. Mulai dari titik ini, pemerintahan Jepang bertransformasi menjadi pemerintahan dengan konstitusi yang jelas. Kesadaran nasional akan ancaman nyata dari pengaruh barat setelah perang Sino-Jepang menjadi titik transformasi Jepang dari negara yang tertutup menjadi salah satu powerhouse perindustrian dan juga salah satu bentuk nyata imperialisme.

Penting untuk dipahami bahwa dalam jalannya Restorasi Meiji terdapat hal-hal yang dapat dijadikan indikator tercapainya tujuan dari gerakan tersebut. Ketika teritori yang menjadi hak Jepang setelah kalahnya Tiongkok pada perang Sino-Jepang dikembalikan akibat adanya intervensi oleh Tripartite antara Jerman, Perancis, dan Rusia, pemerintahan Meiji Jepang menjadi semakin sadar akan pentingnya mengesampingkan perbedaan untuk mengusung kekuatan nasional (Sumikawa, 1999). 

Kemudian, ambisi pemerintahan Meiji menuntut bahwa rakyat Jepang harus memiliki kedisiplinan, pendidikan yang memadai, dan juga kualifikasi kepemimpinan. Oleh karena itu, walaupun dalam kondisi finansial yang tidak terlalu menguntungkan, pemerintahan Meiji tetap berkeras akan usahanya untuk memberikan pendidikan masyarakat, walaupun hasil akhirnya adalah sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada nilai-nilai Barat. Dapat dilihat dari hal-hal yang dicapai Restorasi Meiji di masa lalu telah meletakkan fondasi untuk Jepang yang kita ketahui di masa kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun