Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak Jokowi, Ini yang Masih Kurang

13 November 2017   13:40 Diperbarui: 13 November 2017   13:54 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Walau menurut berbagai survey baik lokal maupun dari luar sana, rezim pemerintahan Pak Jokowi diakui cukup berhasil memperbaiki sejumlah hal, tetapi tetap banyak yang nyinyir dan cukup degil tetap bertahan tidak mengakui sejumlah perbaikan yang sudah dan sedang digarap. Karena setiap rezim pasti terdiri dari elemen-elemen manusia, dan semua manusia tidak ada satupun yang sempurna, maka tetap harus diakui bahwa kekurangan pastilah ada.

Kabar terakhir, bahwa peringkat kelayakan investasi melesat cukup tinggi, kabar baik buat bangsa ini, tetapi kabar buruk buat gerombolam manusia tukang nyinyir itu.

'1. Apa yang Menarik?

Bukan Nawacita, bukan pula pendidikan karakter yang didengungkan itu, bukan itu yang menarik untuk selalu saya cermati dari rezim pemerintah yang sekarang ini. Karakter itu adalah resultan dari tuntutan dan tuntunan lingkungan, bukan hasil dari pengajaran perdefinisi di persekolahan, tetapi resultan dari berjenis-jenis faktor, sangat banyak jenisnya. Tengok, hingga kini, seperti apa wujud dari pendidikan karakter itu?, semua bingung dan karena itu bertebaranlah definisi yang membuat kebingungan makin bertambah. Dan, sibuklah kita semua mendefinisikan apa itu karakter.

Mengubah dari "Pertumbuhan berbasis konsumsi", menjadi "Pertumbuhan berbasis produksi", adalah kampanye paling menarik minat dan atensiku. Mengubah sifat konsumtif menjadi produktif sama saja dengan mengubah paradigma. Bah, hal paling sulit dari manusia adalah mengubah paradigmanya.

Paradigma Pertumbuhan berbasis konsumsi mengharuskan pemerintah menumbuhkan minat belanja rakyatnya. Mal-mal harus dibangun banyak, tersebar dan menarik, out let-out let harus diperbanyak untuk memajang barang konsumsi dan menggoda hasrat masyarakat, iklan-iklan yang membujuk memaksa dan menipu harus disiarkan berulang-ulang saban detik demi detik, subsidi harus digelontorkan, upah dan gaji harus dinaikkan, impor harus dipermudah, itu agar masyarakat senang berbelanja, dan doyan berkonsumsi. Begitulah paradigma dari pertumbuhan berbasis konsumsi. Pertanyaan barang yang dikonsumsi itu buatan siapa? Menjadi pertanyaan yang tidak relevan dan tidak perlu. Ayo belanja ......bukan soal kebutuhan, tetapi tentang gaya hidup.

Tetapi paradigma pertumbuhan berbasis produksi menuntut yang sebaliknya. Hemat, belanja seperlunya dan sesuai kebutuhan. Menabung atau berinvestasi, kerja, kerja, kerja.

Perubahan paradigma dari pertumbuhan berbasis konsumsi menjadi pertumbuhan berbasis produksi, hal itu menuntut dan memaksa masyarakat menyesuaikan banyak hal di dalam dirinya. Itu juga mengubah cara pemerintah mengalokasikan uang Negara, dengan terpaksa para birokrat harus mengubah banyak hal pada cara kerjanya. Itu sebabnya banyak resistensi yang timbul, karena banyak kenyamanan yang dinikmati selama ini terpaksa atau dipaksa hilang dibonsai.

Tetapi kalau hendak maju dan sejahtera, ya memang harus begitu. Generasi sekarang harus rela dan ikhlas menanggung seluruh efek dari perubahan itu, demi masa depan generasi berikutnya, anak dan cucu kita. Apa yang dapat kita wariskan ke anak cucu dari paradigma pertumbuhan berbasis konsumsi?, tidak ada selain hedonisme dan budaya instan.

'2.Pertumbuhan Berbasis Produksi

Infrastruktur yang bagus adalah kebutuhan fisik paling mendasar, jika hendak meraih pertumbuhan berbasis produksi. Tanpa kita sadari, Vietnam dan Kamboja sudah melangkahi kita dalam kelayakan infrastruktur, dan jika tetap terlena, sebentar lagi bahkan Timor Leste juga akan mengangkangi kita dalam hal kelayakan infrastruktur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun