Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gus Dur, Pluralisme dan Tuhan yang Tak Perlu Dibela

27 Desember 2010   10:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:20 4355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="288" caption="Tuhan Tak Perlu Dibela--Gus Dur (sumber:kompas.com)"][/caption]

Untuk: Gus Dur, Tanda ziarahku kepadamu

KIRA-KIRA APA KOMENTAR orang ini, misal saja ia masih hidup, ketika tahu bangsa kita kalah 3-0 dari Malaysia di leg pertama final AFF tadi malam? Saya menduga pasti: “Mbok yo presiden kita itu jangan protas-protes, orang permainan Malaysia memang bagus kok! Yang sportif dong! Mestinya kita belajar dari mereka! Masak sih gara-gara, apa itu namanya? laser ya, kita kalah?” dan dilanjutkan dengan: “Begitu saja kok repot!” Ya, saya berbicara tentang Kiyai Haji Abdurahman Wahid (1940-2009) atau yang sederhana kita kenal sebagai: Gus Dur. Mantan Presiden Indonesia—bahkan mungkin dunia—terlucu yang pernah ada. Akh, tak terasa sudah hampir setahun (30 Desember nanti) kita ditinggalkan olehnya, tapi humor-humornya nan cerdas serta ungkapan-ungkapan khasnya yang tak kalah lucu semisal: “Begitu saja kok repot!” masih hidup dalam benak kita—dan semoga juga kebijakan-kebijakan lain yang ditinggalkannya. Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 Agustus 1940 dari pasangan Wahid Chasyim dan Solichah. Ia adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ia hidup dalam keluarga yang sangat terhormat pada komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. (www.wikipedia.org) Walaupun berasal dari kalangan pesantren, namun Gus Dur tidak mengharamkan mempelajari hal-hal yang diluar agama Islam. Yang dari barat! Tradisi ini telah hidup dalam kelurganya sejak lama. Segala macam buku, majalah, dan literatur lainnya—yang diluar konten Islam—dibacanya. Sehingga wajar ia tumbuh menjadi sosok yang dengan pengetahuan yang luas. Ia bisa berbicara dan berdiskusi tentang kitab kuning sampai kitab suci kaum proletar (baca: Das Kapital). Pengetahuannya tentang sastra, musik, film, sepak bola, tak bisa diragukan. Jelas ia sosok yang memiliki multi talenta. Pluralisme Gus Dus semasa hidup dikenal sebagai orang terdepan membela pluralisme. Baginya hal ini sebuah keniscayaan ketika berhadapan dengan agama, kebudayaan, dan demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa pluralisme. N o n s e n s. Artinya memang tiap-tiap kelompok agama, budaya, atau apapun latarnya harus bisa saling menghargai di tengah perbedaan. Gagasan ini sejalan dengan jargon yang digagas para pendiri bangsa ini “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi satu, atau dalam kata Obama: “Unity in diversitity!” Barang tentu ia tak sedang bercanda dengan gagasan ini. Serius! Ketika ada minoritas yang terpinggirkan oleh sistem yang tak adil Gus Dur maju membela, padahal siapa yang dibela bukan berlatar agama yang sama dengannya. Tak heran kemudian ia sering dimusuhi oleh orang segamanya sendiri. Tapi ia tak ambil pusing. Maju terus membela yang  benar! Keseriusan itu terbukti pula pada saat menjadi presiden, ia tanpa ragu mengeluarkan Keppres No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Intruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China yang mendiskriminasi warga China yang ada di Indonesia. Setelah itu kita tahu, etnis China sekarang bisa menjalankan budayanya dengan lega di negeri ini. Juga menjalankan kepercayaa leluhurnya di bawah jaminan perlindungan negara. Tak boleh ada yang mengganggu. Imlek kemudian diperingati secara nasional dan dinyatakan sebagai hari libur bersama. Tak hanya pada kebudayaan, Gus Dur juga aktif membela kebebasan orang-orang berideologi. Baginya, sebagai bagian dari hak asasi, tak ada suatu kekuasaan pun yang bisa melarang orang memiliki ideologi—walaupun mungkin seberapa jahatnya ideologi itu. Kan sejatinya ada kuasa orang menghalangi orang berpikir? Bahkan ketika dibui sekalipun. Karenanya pelarangan ini sangat absurd. Karenanya, Gus Dur acap mewacanakan pencabutan Tap MPR yang melarang partai politik PKI serta paham komunisme, marxisme, dan leninisme. Tapi karena banyak pertimbangan, ia belum melakukannya. Bahkan ia juga dekat dengan kelompok-kelompok transgender. Ketika orang lain menghujat, Gus Dur justru pasang badan membela mereka. Tak heran kemudian mengapa banyak artis-artis seperti Dorce Malagama merasa sangat kehilangan ketika Gus Dur wafat setahun yang lalu. Tuhan Tak Perlu Dibela Tiap kali ada orang yang mati-matian membela agamanya—Tuhannya—dan menyerang agama ataupun sekte lain sebagai sesat, kafir, dlsb-nya, saya kembali teringat Gus Dur. Ia tentunya sangat jengah dengan orang-orang model ini, walau mestinya mereka seiman dengannya. Heran. Kok mesti dengan kekerasan membela Tuhan? Dengan bakar-bakar? Dengan gebuk-gebukan? Padahal,  “Tuhan tak perlu dibela” kata Gus Dur yakin. Ya, Tuhan memang tak perlu dibela. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Tempo (bisa dibaca di wahidinstitute.org), Gus Dur menulis uraiannya tentang ketidakperluan kita membela Tuhan. Dengan mantap ia menulis: “Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.” Lanjutnya dalam artikel itu: “bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia "menyulitkan" kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.” Dalam hal ini Gus Dur mengutip Al-Hujwiri, seorang sufi dari Persia. Lalu Gus Dur menyimpulkan bahwa benar Islam perlu dikembangkan, tapi tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak  dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan. Dengan pijakan-pijakan ini kemudian yang dilakukan Gus Dur dalam kehidupannya bukanlah membela Tuhan, tapi membela kaum minoritas yang seringkali tertindas oleh mayoritas. Tuhan tak perlu dibela, yang harus dibela adalah umatnya—yang tak mendapatkan keadilan. Tak heran kemudian ia membela kaum transgender, minoritas China, orang-orang yang berpaham komunis, dan lain kelompok terpinggirkan lainnya. Ia membela Tuhan dengan membela ummatnya yang menjadi korban kedzaliman. *** Yah, kini Bapak Pluralisme itu telah pergi mendahului kita—setahun yang lalu. Semoga semangatnya dapat kita warisi di tengah masih sulitnya orang saling menghargai, menghormati, atau pun ber-empati. Tak bisa di dunia yang luas, mungkin kita praktikkan di kompasiana, blog kita ini, untuk saling menghargai pendapat, faham, budaya, kepercayaan, dan lain sebagainya. Tanpa perlu memaksakan apa yang menurut kita lebih benar, lebih beradab, lebih dekat diridhoi Tuhan, dlsb. Terimakasih Gus, warisanmu selalu kami jaga … [*]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun