Maka, menjadi priyayi yang sesungguhnya adalah ketika seseorang yang dapat mengayomi keluarga dan rakyat miskin dengan welas asih, memiliki pendirian yang kokoh, sikap terpuji, berjuang keras dan bermanfaat bagi orang lain.
Tetapi, Pada abad 19, termenologi "Priyayi" telah mengalami perluasan makna. Priyayi tidak lagi identik untuk sebutan bagi kaum ningrat. Tetapi lebih kepada orang orang  yang memiliki pendidikan dan jabatan administrative tertentu dalam sistem birokrasi pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga Pada konteks inilah, bahwa setiap orang bisa menjadi Priyayi, menciptakan trah Priyayi baru. Dan bagi penerusnya merupakan sebuah keharusan untuk mempertahankan, melanggengkan trah priyayi yang telah di rintis sebelumnya.
lantas, ihwal apa yang bisa kita petik dari dua kisah dengan setting social yang berbeda di atas. Baik  Ken Arok dan Sastra Darsono telah memberikan contoh kepada semua  orang, bahwa siapaun bisa menjadi Raja, bisa menjadi Priyayi, membangun  trah  baru, membuat sanak ketutunannya menjadi Priyayi juga. asalkan siap melawan dan berjuang atas dominasi dan hegemoni struktur sosial politik yang berlaku.  . bahkan dalam satu sabdanya Airlangga raja Kahuripan, pernah  mengatakan ; bahwa seseorang bisa naik kasta apabila melakukan dharma.
Akhirnya, apakah hiruk pikuk kontestasi politik di pilkada dan pilpres 2019 sedang mencerminkan kisah diatas, perjungan seseoramg untuk menjadi priyayi..? apakah benar, bahwa konflik kepentingan, perlawanan terhadap dominasi struktur social yang hegemonic, konspirasi aktor politik dan pengusaha  merupakan pengejwantahan dari keinginan untuk melanggengkan trah atau membuat trah baru. Saya kira Perihal tersebut tergantung dari interpretasi seseorang dalam memaknai realitas social yang sedang berlangsung.