Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Korupsi Berurat Berakar Sejak Zaman VOC, Bagaimana Mencabutnya?

5 April 2019   16:37 Diperbarui: 7 April 2019   09:15 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam buku Urip iku Urub (Penerbit Buku Kompas, 2019), Dr. Sudibyo, seorang filolog dan pengajar Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, menjadi salah satu kontributor dengan tulisan berjudul "Bajingan Terkutuk yang Rindu Menjadi Belanda: Surapati dalam Novel Kolonial Belanda".

Ada yang menarik dalam tulisan itu, yakni tentang keruntuhan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau yang lebih dikenal dengan Kompeni pada tahun 1799. Bahwa korupsi sudah marak sejak zaman kolonial karena budaya upeti, sudah banyak diketahui. Tapi Sudibyo mempertegasnya dengan data kuantitatif yang mencengangkan.

Ini yang antara lain diungkapkannya. Seorang gubernur jenderal dengan penghasilan resmi sebulan 700 Gulden atau menurut penulisnya setara 7.000 Dolar Amerika dalam uang sekarang (Oktober 2018) dapat membawa pulang harta senilai 10 juta Gulden (100 juta Dolar Amerika dalam uang sekarang). 

Seorang Pedagang Junior (Onderkoopmen/Asisten Saudagar) bersedia membayar 3.500 Gulden (35.000 Dolar Amerika sekarang) kepada pejabat berwenang untuk sebuah posisi dengan gaji 40 Gulden (400 Dolar Amerika sekarang) per bulan. Seorang inspektur berhak mendapatkan seperenam dari nilai korupsi yang dia bongkar, tapi dia dapat memperoleh lebih banyak dengan tutup mulut. 

Oleh karena korupsi demikian merajalela, pegawai dikenai pajak sesuai dengan penghasilan ilegal mereka. Mereka diwajibkan menaksir penghasilan pribadi mereka. Seorang Opperhoofd (Kepala daerah/Residen) yang gajinya 60 Gulden menaksir penghasilannya per tahun 30 ribu Gulden, yang kemudian direvisi menjadi 75 ribu Gulden.

Dengan demikian tidak aneh jika kemudian VOC diolok-olok dengan kepanjangan Vergaan Onder Corruptie (hancur karena korupsi). Praktik memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi di kalangan para pegawai Kompeni menjadi sumber penghasilan sampingan yang jumlahnya beberapa kali lipat di atas gaji resminya.

Makanya tidak rugi memberikan upeti yang besar kepada pejabat yang berwenang menentukan posisi seseorang dalam struktur tata pamong VOC, karena amat cepat balik modal dan setelah itu tinggal menangguk untung.

Akhirnya VOC tak tertolong lagi. Dengan utang sebesar 136,7 juta Gulden, terhitung tanggal 31 Desember 1799, VOC dinyatakan pailit, utang dan asetnya diserahkan kepada pemerintah Belanda, seperti yang ditulis sejarawan Ong Hok Kam dalam buku Dari Soal Priayi Sampai Nyi Blorong (2002).

Begitulah yang tertulis dalam sejarah kita lebih dari 2 abad yang lalu. Jadi kalau masih ada praktik pemberian gratifikasi agar seseorang memperoleh jabatan seperti yang sekarang menimpa mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Romahurmuziy, dalam kaitannya dengan pengisian jabatan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, boleh saja mengkambinghitamkan sejarah.

Namun jika berabad-abad kita tak pernah bisa memetik pelajaran dari sejarah, tentu ini kecelakaan sejarah yang tak termaafkan. Setelah Indonesia merdeka dan sekian kali berganti Presiden, korupsi tetap menghantui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun