Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

42 Bank Asing Berkiprah di Indonesia, Apa Bahayanya?

12 Juni 2019   09:35 Diperbarui: 12 Juni 2019   09:40 7934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama ini, kepemilikan mayoritas di Bank Danamon yang merupakan salah satu bank papan atas di tanah air, sudah beralih ke pemodal dari Jepang. Detik.com (29/4/2019) memberitakan hal tersebut di bawah judul "Danamon Resmi Dicaplok Bank Jepang, Transaksinya Tembus Rp 52 T".

Bank Danamon didirikan tahun 1956 dan telah melewati rangkaian sejarah yang panjang. Awalnya merupakan bank yang seratus persen milik investor dalam negeri, kemudian bank ini beberapa kali berganti kepemilikan sampai akhirnya lepas ke tangan asing.  Sempat jatuh ke tangan investor Singapura melalui grup Temasek, sekarang dikuasai oleh Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) dari Jepang.

Tentu saja hal itu menambah panjang daftar bank asing yang berkiprah di tanah air. Bank Tabungan Pensiun Nasional (BTPN), yang diberdiri tahun 1958 dan diprakarsai oleh 7 orang pensiunan militer di Bandung, juga terhitung baru dikuasai oleh bank dari Jepang lainnya, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC).

Akuisisi dari bank asing terhadap bank dalam negeri yang sudah berjalan lebih lama lagi contohnya adalah Bank Niaga yang diambil oleh CIMB dari Malaysia, yang di dalamnya juga telah "menelan" Bank Lippo. Berikutnya ada lagi Bank Internasional Indonesia yang menjadi milik  Maybank, juga dari negara jiran Malaysia. Bank NISP diambil oleh OCBC dari Singapura.  Bank Buana menjadi Bank UOB juga dari Singapura.  

Bila dilihat dari sisi prinsip resiprokal, kelihatannya memang tidak berimbang. Bank-bank asing semakin banyak mencaplok bank domestik. Sementara bank-bank yang 100 persen milik negeri sendiri susahnya setengah mati sekadar untuk membuka cabang di Singapura atau Malaysia.

Tapi sekarang ada berita yang bisa dibilang sebagai serangan balik. Bank Mandiri yang merupakan bank milik negara tengah menjajaki untuk mengakuisisi Bank Permata yang nota bene pemegang saham pengendalinya adalah Standard Chartered Bank, bank terkemuka asal Inggris. Sayangnya berita tentang progress akuisisi Bank Permata ini tidak banyak diekspos oleh pihak Bank Mandiri.

Industri perbankan memiliki nilai yang strategis, karena sampai saat ini masih menjadi yang paling dominan dalam aktivitas penghimpunan dana dari masyarakat yang mempunyai kelebihan uang dan sekaligus juga menyalurkannya kembali kepada dunia usaha atau masyarakat yang membutuhkan modal.

Memang dengan maraknya keberadaan pendatang baru berupa industri fintech yang memudahkan banyak orang untuk menabung atau mengajukan permohonan kredit cukup melalui aplikasi secara daring saja, memunculkan kekhawatiran akan masa depan perbankan.

Kehadiran fintech boleh jadi akan menggoyahkan bank-bank yang selama ini fokus pada kredit retail dan konsumer. Namun untuk transaksi skala besar yang biasa dalam melayani nasabah korporasi, yang menyimpan dananya atau mengajukan permohonan kredit dalam ukuran triliunan rupiah, tampaknya masih harus mengandalkan perbankan.

Makanya jangan heran, bank-bank asing masih sangat bernafsu untuk masuk ke Indonesia, negara yang diproyeksikan akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke 4 di dunia pada tahun 2045, setelah China, India dan Amerika Serikat. Bahkan Standard Chartered Plc memproyeksikan hal itu bisa terwujud lebih cepat, yakni pada tahun 2030 (okezone.com, 9/1/2019)

Berdasarkan berita di Infobank edisi Mei 2019, sekarang ini terdapat 42 bank asing yang berkiprah di Indonesia dan berasal dari 15 negara. Jepang tercatat sebagi yang paling agresif dengan menempatkan 8 bank yakni Bank of Tokyo, BTPN, Sumitomo Mitsui Indonesia, Mizuho, J-Trust, Resona Perdania, BTPN Syariah dan Nusantara Parahyangan.

Korea Selatan dan Singapura sama-sama punya 5 bank yang beroperasi di Indonesia. Bank dari Korea Selatan adalah KEB Hana, Woori, Shinhan, Dinar, dan Bank Oke. Sedangkan yang dari Singapura adalah OCBC NISP, Danamon (datanya masih sebelum diakuisisi oleh Jepang), UOB, DBS, dan Bank Amar.

Berikutnya ada 4 bank dari Ingris, yakni Permata, HSBC Indonesia, HSBC, dan Standard Chartered. Malaysia, China, dan Amerika Serikat (AS) masing-masing punya 3 bank. Yang dari Malaysia adalah CIMB Niaga, Maybank Indonesia dan Maybank Syariah Indonesia. Dari AS adalah Citibank, JP Morgan Chase Bank, dan Bank of America. Dari China adalah ICBC Indonesia, Bank of China, dan China Construction Bank.

Masih ada lagi bank dari Australia (ANZ Indonesia dan Commonwealth), India (Bank of India Indonesia dan Bank SBI Indonesia), Timur Tengah (Muamalat dan QNB Indonesia), Thailand (Bangkok Bank), Taiwan (CTBC Indonesia), Perancis (BNP Paribas), Jerman (Deutsche Bank), dan satu bank dari Belanda yang baru saja menghentikan operasinya, Rabobank Internasional Indonesia.

Jadi kalau kita melihat nama bank yang terkesan sebagai nama lokal, jangan buru-buru mengira sebagai bank milik domestik. Bisa-bisa bank tersebut berada di bawah kendali bank asing.

Apakah hal tersebut berbahaya buat perkembangan perbankan nasional? Sebetulnya sepanjang semua bank berbendera asing tersebut mematuhi ketentuan yang dibuat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), bank asing akan sama berkontribusinya dengan bank milik negara dan bank swasta nasional.

Kontribusi dimaksud adalah ikut menggerakkan perekonomian nasional melalui kredit yang disalurkannya kepada dunia usaha. Bahkan untuk bank asing ada nilai plus lain bila berhasil membawa masuk perusahaan-perusahaan dari negara induknya untuk berinvestasi di Indonesia dan juga membantu perusahaan Indonesia menembus pasar ekspor ke negara asal bank tersebut.

Namun bila yang terjadi sebaliknya, tentu menjadi musibah buat kita, misalnya bila dengan segala kelihaiannya bisa mengamankan uang hasil jarahan para koruptor untuk disimpan di banknya, dan bahkan disalurkan sebagai kredit ke negara asal bank tersebut. Ini namanya dua kali rugi, yakni melindungi koruptor sekaligus pelarian modal.

Kemudian akan menjadi kerugian juga bila bank-bank asing lebih banyak membantu agar perusahaan Indonesia mengimpor barang dan jasa dari nasabah bank tersebut di negara asalnya, namun tidak membantu upaya peningkatan ekspor ke negara dimaksud.

Maka kuncinya berada di tangan OJK, apakah mampu mengawasi sepak terjang semua bank asing tersebut secara ketat dan mengarahkan agar bisnis bank asing berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun