Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Potret Pemilu Era Reformasi : Tak Ada Parpol Juara Bertahan dan Meningkatnya Golput

15 April 2014   00:32 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41 7591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_319959" align="aligncenter" width="600" caption="Hasil hitung cepat versi CSIS - Cyrus (foto : harianandalas.com)"][/caption]

Sejak berhentinya Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998, Indonesia telah menggelar Pemilihan Umum sebanyak 4 kali. Yang pertama terjadi setahun setelah berakhirnya era Orde Baru, pada 7 Juni 1999. Pemilu kedua dilaksanakan pada 5 April 2004 dan yang ketiga pada 9 April 2009. Tahun ini, pemilu keempat digelar pada tanggal yang sama, 9 April. Hasil Pemilu Legislatif 2014 memang belum final, mengingat sejumlah daerah baru menggelar pemungutan suara ulang dan pemungutan suara susulan pekan ini. Namun gambaran secara garis besar pattern urutan perolehan suara sudah bisa dilihat dari hasil hitung cepat beberapa lembaga survey yang nyaris tak jauh berbeda satu sama lain, dengan margin error sekitar 1% saja.

Jika dicermati hasil Pemilu di era reformasi, maka bisa dilihat ada beberapa kesamaan yang berulang selama 3 periode pemilu sebelumnya. Entah apakah fenomena itu akan berulang lagi pada periode pemilu kali ini sampai 5 tahun ke depan, masih perlu kita lihat bersama nanti. Fenomena serupa yang selalu berulang itu antara lain :

1.Tak ada pemenang Pemilu yang jadi juara bertahan sampai pada Pemilu berikutnya.

2.Partai pemenang Pemilu, ironisnya justru mengalami kekalahan ketika jumlahnya mayoritas di parlemen dan menjadi the ruling party.

3.Prosentase perolehan suara partai pemenang Pemilu terus menurun dari Pemilu lalu ke Pemilu berikutnya.

4.Tingkat partisipasi pemilih terus menurun dari Pemilu ke Pemilu berikutnya.

Pada Pemilu 1999, PDIP menjadi partai pemenang Pemilu dengan perolehan suara 33,74% dengan jumlah kursi DPR 153 kursi. Pada Pemilu 2004, di saat PDIP menjadi partai penguasa dan Megawati menjadi Presiden, justru PDIP mengalami penurunan drastis menjadi 18,53% suara (turun 15%) dengan jumlah kursi hanya tersisa 109 kursi. Partai pemenang Pemilu 2004 digantikan oleh Golkar dengan perolehan 21,58% suara atau setara 128 kursi DPR. Kemenangan Golkar di angka 21%-an ini masih kalah jauh dengan kemenangan PDIP periode sebelumnya di angka 33%-an.

Lagi-lagi ironi terjadi pada Pemilu 2009, di saat Golkar menjadi partai penguasa dan Jusuf Kalla, Ketua Umumnya, menjadi Wakil Presiden. Golkar mengalami penurunan suara sekitar 7% menjadi 14,45% suara dan jumlah kursi hanya turun menjadi 107 kursi. Partai pemenang Pemilu 2009 digantikan oleh Partai Demokrat dengan perolehan 20,85% suara atau setara 150 kursi DPR. Lagi-lagi kemenangan Demokrat masih dibawah kemenangan Golkar pada periode sebelumnya meski hanya selisih 1%-an saja.

Kini, di saat Demokrat menjadi partai penguasa dan Ketua Umumnya dijabat SBY yang menjadi Presiden, kembali ironi itu terjadi. Perolehan suara Demokrat turun sekitar 11%-an, entah berapa penurunan jumlah kursinya nanti jika konversi suara menjadi kursi sudah ditetapkan oleh KPU. Kali ini pemenang Pemilu adalah PDIP yang menurut beberapa hasil survey perolehannya ada di kisaran 18% - 19%, artinya angka ini juga masih di bawah kemenangan Demokrat pada Pemilu lalu.

[caption id="attachment_319961" align="aligncenter" width="576" caption="Hasil Pemilu 1999 (ditabulasikan oleh penulis dari data Wikipedia)"]

13974710591621231469
13974710591621231469
[/caption]

Begitupun dengan golput alias golongan putih, sebutan bagi mereka yang tak berpartisipasi dalam Pemilu, entah dengan tidak datang ke TPS maupun yang membuat suara menjadi tidak sah. Pada Pemilu pertama pasca gerakan reformasi, antusiasme pemilih sangat tinggi sehingga tingkat golput rendah, hanya 6,7% saja. Namun pada Pemilu 2004 golput meningkat lebih dari 2 kali lipat, menjadi 15,93%. Pada Pemilu 2009 naik hampir 2 kali lipat menjadi 29,01%. Pemilu tahun ini, hasil survey CSIS – Cyrus sudah mencatat 25% pemilih yang memilih tak menggunakan hak pilihnya. Lingkaran Survey Indonesia (LSI) memprediksi bahwa jika kelak hasil rekapitulasi suara sudah disahkan KPU dan jumlah suara sah nasional sudah diketahui, maka tingkat golput diperkirakan mencapai 34,02%. Rasanya prediksi LSI ini cukup masuk akal, sebab datang ke TPS belum tentu dengan niatan mencoblos. Di beberapa tempat, termasuk di daerah kota tempat tinggal penulis, banyak warga yang datang ke TPS namun surat suaranya sengaja tidak dicoblos sama sekali karena merasa tak punya pilihan atas caleg maupun partai, atau sengaja di coblos pada beberapa tempat sekaligus untuk membuatnya menjadi tidak sah agar tak disalahgunakan oknum nakal.

KENAPA PEMILU TAK RAMAH PADA PARTAI PEMENANG?

Selama 4 kali Pemilu tak satupun partai politik yang mampu jadi juara bertahan, kendati hanya 2 kali Pemliu berturut-turut. Kenapa Pemilu era reformasi jadi tak ramah pada parpol pemenang? Di era reformasi, kebebasan pers telah membuat masyarakat dengan mudah mengakses informasi. Sidang-sidang Komisi, Paripurna maupun Rapat Dengar Pendapat dengan perwakilan Pemerintah bukan lagi jadi barang tabu untuk disiarkan. Perilaku anggota dewan baik ketika di gedung parlemen maupun di luaran, dengan mudah jadi konsumsi pembicaraan publik.

Makin banyak suatu parpol memiliki kadernya di parlemen pusat maupun daerah, makin besar kemungkinan tak terkontrol atau memang kode etik parpolnya mengijinkan sang aleg (anggota legislatif) bertindak demikian. Maka tak heran jika parpol besar dengan jumlah anggota parlemen banyak, kader-kadernya makin jadi sorotan. Yang paling mudah menyulut kemarahan publik adalah perilaku asusila (contohnya kasus YZ dan artis dangdut ME di awal tahun 2007) dan korupsi (paling fenomenal adalah kasus Nazaruddin). Kasus-kasus yang menimpa anggota DPR dan DPRD di berbagai daerah sangat potensial menggerus kepercayaan masayarakat terhadap partai pemenang.

Kebijakan tak populer atau dianggap kurang pro rakyat dari pimpinan tertinggi parpol yang sedang berkuasa saat itu, bisa dipersepsikan sebagai kebijakan partai. Hal ini wajar sebab fraksinya di DPR yang merupakan kepanjangan tangan partai, cenderung menjadi tameng bagi kebijakan tak populis sang penguasa. Misalnya PDIP ketika Megawati jadi Presiden, mau tak mau mengamankan kebijakan Megawati. Di masa Jusuf Kalla menjabat sebagai Ketum Golkar, JK memang tak menjadi Presiden. Tapi jangan lupa, di masa itu SBY sangat mengandalkan JK untuk menjadi “juru bicara” kebijakan tak populis SBY. Inisiatif JK untuk menggelar pembicaraan dengan pers setiap usai sholat Jumat, menjelaskan kebijakan-kebijakan Pemerintah, sebenarnya sebuah langkah yang bijak. Namun, hal itu telah menjadikan JK sebagai “bumper” Pemerintahan SBY – JK.

[caption id="attachment_319962" align="aligncenter" width="576" caption="Hasil Pemilu 2004 (ditabulasikan oleh penulis dari data Wikipedia)"]

13974711601144660314
13974711601144660314
[/caption]

Sementara, SBY cukup cerdik untuk mengambil alih setiap kebijakan yang populis untuk diumumkannya sendiri. Akibatnya, popularitas JK menurun dan berimbas pada partai pimpinannya. Sebaliknya, pencitraan yang dilakukan SBY justru menuai hasil dan melambungkan partai Demokrat yang semula hanya 7% meningkat hampir 3 kali lipat. Tapi saat berpasangan dengan Boediono, SBY tak bisa lagi mengandalkan sepenuhnya seperti ketika berduet dengan JK. Belum lagi “badai” kasus korupsi yang bermula dari Nazaruddin, kemudian diseret ke arena Kongres Partai Demokrat, maka lengkaplah sudah petaka yang menimpa Demokrat sehingga kehilangan lebih dari separuh suaranya.

Kini, PDIP menjadi partai pemenang Pemilu. Sebagian menganggap berkah yang dituai PDIP karena faktor Jokowi, namun tak kurang pula yang menyebut Jokowi effect tak berdampak signifikan pada PDIP. Satu fakta yang tak bisa dinafikan begitu saja oleh PDIP adalah adanya slogan “Jokowi YES, PDIP NO” yang digaungkan banyak orang yang bukan pemilih tradisional PDIP. Artinya, jika ini benar, PDIP harus berhati-hati sekali, karena sangat rentan menggantungkan keberuntungan partai pada figur 1 orang saja, sementara kinerja para aleg di parlemen kelak tak memuaskan. Lima tahun lagi, kita akan melihat : apakah fenomena tak ada partai juara bertahan akan kembali berulang pada Pemilu 2019?

GOLPUT : SEBAB ATAU AKIBAT?

Banyak teori yang mengatakan : jika orang-orang baik, orang bijak, orang terpelajar tak mau menggunakan hak pilihnya untuk memilih orang baik, maka diluar sana ada banyak orang lain yang siap memilih orang tak baik. Maka, kelak parlemen akan dikuasai para koruptor dan penipu rakyat. Dari sini sekilas memang golput jadi SEBAB terpilihnya caleg-caleg buruk yang akan melakukan pembusukan dari dalam parlemen. Namun benarkah golput sepenuhnya adalah PENYEBAB?

Tahun 1999, Pemilu pertama era reformasi, masyarakat sangat phobia dengan cara-cara Pemilu era Orde Baru. Di jaman Orba, semua WNI otomatis didaftar sebagai pemilih dengan cara didatangi petugas Pantarlih (Panitia Pendaftaran Pemilih) dari rumah ke rumah lalu rumahnya diberi stiker. Saat tiba tanggal Pemilu, semua yang telah didaftar Pantarlih, wajib datang ke TPS. Itu sebabnya cara golput jaman dulu adalah dengan melakukan pencoblosan tidak sah sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan politik Orba yang mewajibkan orang memilih.

Karena itu pada Pemilu 1999, tak ada lagi Pantarlih, warga yang berminat ikut Pemilu, silakan mendaftarkan diri dengan membawa Kartu Keluarga dan KTP ke Kelurahan setempat. Penulis masih ingat saat itu ada teman penulis jadi petugas PPS di Kelurahan, karena membludaknya minat masyarakat untuk ikut Pemilu, maka kami kawan-kawannya membantu proses administrasi pencatatan warga masyarakat yang mendaftar, menyalinnya di komputer di rumah sampai jauh malam demi selesainya proses daftar pemilih. Penulis juga sempat membantu tetangga pengurus RW mendaftar warga setempat yang ingin ikut Pemilu. Sungguh tak disangka Pemilu yang diikuti banyak partai itu, antusiasme masyarakat untuk mendaftar sangat tinggi. Tingkat kehadiran ke TPS pun tinggi, bahkan proses penghitungan suara di TPS-TPS waktu itu baru selesai lewat tengah malam. Penulis bahkan ikut mengantar kotak suara dan form C1 Plano ke Kelurahan jelang tengah malam dan di jalan-jalan yang dijadikan TPS masih terlihat kesibukan merekap suara.

[caption id="attachment_319963" align="aligncenter" width="576" caption="Hasil Pemilu 2009 (ditabulasikan oleh penulis dari data Wikipedia)"]

13974712611124131842
13974712611124131842
[/caption]

Itulah Pemilu dengan tingkat partisipasi tertinggi, 93,33% tanpa rekayasa, tanpa pengerahan seperti jaman Orba. Namun sayangnya, kinerja DPR dan DPRD periode 1999-2004 tak sebagus yang dibayangkan. Bersamaan dengan berlakunya otonomi daerah, maka DPRD pun punya kuasa atas APBD, sejak itu mulailah korupsi marak di berbagai daerah sampai ke pusat. Rakyat dipertontonkan perilaku para legislator yang jadi OKB (orang kaya baru) namun kondisi kehidupan rakyat tak banyak membaik, justru korupsi makin merata di segala bidang. Ada istilah dulu korupsi hanya di pusat, kini merambah ke daerah. Dulu korupsi dilakukan di bawah meja, kini korupsi dilakukan di atas meja. Maka, tak heran kalau pada Pemilu 2004 tingkat partisipasi pemilih menurun.

Kembali partai politik dan parlemen tak juga berbenah. Korupsi makin menjadi-jadi dan kebijakan tak berpihak pada rakyat yang ujung-ujungnya hanya jadi politik transaksional di DPR. Maka, tingkat golput pun makin tinggi pada Pemilu 2009. Dari perjalanan ini jelas bahwa golput adalah AKIBAT dari dikhianatinya kepercayaan rakyat. Golput adalah potret gagalnya partai politik memelihara kepercayaan rakyat. Antusiasme tinggi pada 1999 bertepuk sebelah tangan dengan kinerja buruk parlemen dan Pemerintahan. Begitulah cara rakyat menghukum politisi dan partainya : tidak berpartisipasi dalam Pemilu. Nah, ibarat lingkaran setan bukan? Kini, apatisme pemilih bertemu dengan politik transaksional jual beli suara. Belum lagi parpol yang enggan berbenah dengan memasang 90% aleg lama di DPR/DPRD, membuat gambaran parlemen tak akan membaik. Jadi, golput yang semula akibat, kini sudah jadi sebab dan akibat sekaligus dari buruknya kinerja partai politik dan para politisinya. Selama parpol dan parlemen tak mau berbenah, maka fenomena ini akan terus berulang, entah sampai kapan.

[caption id="attachment_319964" align="aligncenter" width="576" caption="Golput dari Pemilu 1999 s/d 2014 data dihimpun dari berbagai sumber."]

13974713051307601431
13974713051307601431
[/caption]

REFERENSI :

1.Hasil Pemilu Tahun 1999 [PDF]

2.Wikipedia : Pemilu Legislatif Indonesia 1999

3.Wikipedia : Pemilu Legislatif Indonesia 2004

4.Wikipedia : Pemilu Legislatif Indonesia 2009

5.Republika.co.id : Golput Cenderung Meningkat

6.Detik.com : Tekan Angka Golput Tinggi, KPU Minta Mahasiswa Aktif di Pemilu

7.Tempo.co : Golput Pemenang Pemilu 2014, Bukan PDIP

8.Merdeka.com : Tingkat Golput Pemilu 2014 versi CSIS – Cyrus

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun