Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Kurniawan
Muhammad Iqbal Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Political Science Student | Hanya seorang pembelajar | Sangat terbuka atas kritik dan saran terhadap tulisan-tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan featured

Belajar dari Politik AS: Oposan Kuat, Negara Hebat

25 Juni 2019   21:22 Diperbarui: 5 November 2020   08:14 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: shutterstock via insights.dice.com)

Oposisi. Di negeri ini, apabila kita berbicara tentang oposisi, maka yang terlintas adalah sekumpulan orang atau partai politik yang bertolak belakang dengan pemerintah.

Oposisi, di mata masyarakat negeri ini kebanyakan, adalah sebuah koalisi yang bertentangan paham dengan pemerintah, tidak akan pernah sepaham dengan pemerintah, dan/atau selalu 'menjatuhkan' pemerintahan yang sedang berkuasa atau bahkan mengkritik segala bentuk kebijakan pemerintah. 

Ya, segala bentuk kebijakan pemerintah. Ini berarti baik kebijakan pemerintah yang berhasil ataupun gagal. Lalu, apa sebenarnya oposisi dalam pemerintahan itu? Dan apakah di negeri nan ramah ini oposisi itu berjalan dengan baik?

Oposisi (dalam dunia politik) adalah sekumpulan partai penentang pemerintah di parlemen. Kehadiran oposisi adalah buah dari konstelasi politik di suatu negara. Koalisi partai yang memenangi pemilihan umum akan duduk berkuasa selama masa jabatan. Sedangkan, yang kalah akan berbaris rapat mendeklarasikan diri sebagai oposisi.

Penulis akan membawa pembaca untuk sedikit 'bertamasya' ke daerah kampung halaman penulis, tepatnya di Amerika Serikat.

Di Amerika, hanya ada dua partai politik besar yang menjajaki parlemen. Republik dan Demokrat. Kedua partai ini bergantian memenangi pemilu di Amerika sejak dasawarsa 1790-an.

Apabila Republik yang memenangi pemilu, maka Demokrat lah yang menjadi oposisi. Sebaliknya, apabila Demokrat yang memenangi pemilu, maka Republik lah yang merapatkan barisan menjadi oposan. 

Di sini, oposisi seolah benar-benar tidak suka dan akan terus berbeda pandangan dengan pemerintah. Kita ambil contoh ketika pemerintahan Amerika shutdown beberapa waktu silam. Demokrat selaku oposisi mengkritik habis sikap Republik dan pemerintahan Trump terkait imigran di Amerika. 

Selain itu, Demokrat juga sering mengkritisi sikap politik luar negeri Trump yang terkesan 'lo-lo-gua-gua' dengan pandangan 'Amerika pertama, tidak peduli orang lain'. Penjabaran yang sedikit ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Demokrat konsisten menjadi oposan. Selain itu, ini juga menunjukkan sikap tegas Demokrat dalam mengkritisi pemerintahan Republik.

Indonesia memang tidak bisa disandingkan dengan Amerika. Sistem parlemen kita berbeda dengan di sana. Indonesia menganut sistem multipartai. Yang mana setiap partai berbaur menjadi satu di parlemen. Tidak akan ada sekat yang jelas antara oposisi dan pemerintah. Kedua kubu duduk sejajar di ruangan yang sama.

Lalu, apa poin yang ingin disampaikan penulis sampai jauh-jauh membawa para pembaca sekalian unuk 'bertamasya' ke kampung halamannya? 

Poin yang ingin disampaikan penulis adalah di Amerika, setidaknya oposisi berjalan dengan baik. Oposan benar-benar mengkritik kebijakan pemerintahan Trump. Ini sungguh merupakan sebuah bentuk keseriusan menjadi oposisi. Sehingga, check and balances system di negeri Paman Sam ini berjalan dengan baik.

Memang di sana-sini mungkin terdapat kekurangan. Oposan di Amerika terkesan tidak peduli hasil dari kebijakan tersebut, yang penting dikritik saja terlebih dahulu. Ini tentu tidak patut ditiru sepenuhnya. Tetapi, setidaknya sikap oposisi di Amerika yang loyal dan sungguh-sungguh menjadi oposan layak kita tiru.

Sedangkan, oposisi di Indonesia, menurut pandangan penulis hanya formalitas sebagai syarat suatu negera demokratis. Oposan di Indonesia belum memberikan pengaruh yang begitu besar terhadap pemerintahan. 

Memang, kita bisa mengambil contoh keloyalan PDI-Perjuangan dan koalisinya menjadi oposisi selama 10 tahun Pak SBY memimpin, serta Gerindra dan PKS yang bergandengan kuat menjadi oposan selama pemerintahan Presiden Jokowi.

Namun, kita bisa menyadari, oposisi belum terlalu bisa memberikan sumbangsih yang sifatnya konstruktif dan solutif kepada negeri ini. Oposan di Indonesia terkesan hanya suka nyinyir dan julid.

Terlebih setelah konstelasi pemilu berakhir. Ketidakjelasan arah politik beberapa partai menunjukkan bahwa partai-partai di Indonesia (tidak semua memang) memiliki tujuan dan maksud politis pribadi. Beberapa partai yang tadinya menyatakan diri sebagai koalisi, mulai menunjukkan sikap untuk merapat ke inkumben. Ini bukan hanya terjadi sekali. 

Sekitar tahun 2014, setelah perang politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), beberapa partai dari kalangan KMP tidak siap menjadi oposisi, sehingga mereka segera pindah haluan ke KIH --contohnya, Golkar.  

Sikap tidak konsisten ini memberi pandangan kepada masyarakat bahwa beberapa partai 'tidak tulus' untuk membantu negeri. Mereka hanya terkesan mencari keuntungan politis pribadi. Merapat ke barisan pemerintah, demi kursi menteri.

Padahal sebenarnya Indonesia juga butuh oposisi yang cerdas. Dalam membangun sebuah negeri yang sifatnya demokratis, dibutuhkan oposisi yang siap mengoreksi berbagai kebijakan pemerintah dengan tujuan yang konstruktif, serta solutif. 

Oposan di Indonesia belum menunjukkan sikap itu. Kritik yang dilontarkan lebih sering terkesan destruktif dan membawa isu SARA. Selain itu, isu yang diangkat ke permukaan hanya seperti mendaur ulang isu-isu lama, ini jelas sangat kontra-produktif.

Selain itu, sikap pemerintah yang ingin merangkul semua partai untuk bergabung ke koalisinya juga bisa dikatakan sebagai sebuah sikap yang tidak tepat. Ini menunjukkan bahwa pemerintah kurang menghargai pentingnya kehadiran oposisi dalam pemerintahan. 

Apabila semua partai politik bergabung ke kubu pemerintah hanya demi kursi menteri, maka Indonesia tidak akan pernah punya oposan yang kuat dan gigih membangun negeri.

Pemerintah seharusnya sadar akan kebutuhan oposan yang kuat. Karena ketika pemerintah merangkul semua partai yang ada untuk bergabung ke pemerintah dengan diiming-imingi kursi menteri, ini sama saja dengan 'mengebiri' demokrasi kita.

Tulisan ini bukan ingin menakut-nakuti. Penulis memiliki pandangan bahwa ketika sebuah kelompok memiliki kekuasaan yang absolut, tanpa ada alat kontrol di sampingnya, maka kecenderungan untuk bersikap 'absolut' pun akan hadir pula.

Kita tetap bisa membangun negeri dengan bersikap sebagai oposisi. Lontarkan kritik tajam yang konstruktif dan solutif, maka peran oposisi akan 'lebih berguna' di negeri ini. 

Sebuah negara demokratis butuh oposisi yang siap menjadikan check and balances system di negeri ini berjalan dengan baik. Indonesia butuh 'setan penyelamat'.

Indonesia butuh oposisi yang kuat dan siap menggebrak. Bukan hanya oposisi yang melontarkan kata-kata kasar dan menjatuhkan pemerintahan. Berikan pernyataan 'pujian dan dukungan' apabila pemerintah berhasil dalam kebijakannya. 

Akan tetapi, harus tetap menjadi oposan. Bukan malah berputar haluan ke inkumben demi kursi menteri semata. Membangun negara bukan hanya pemerintah yang cakap, tetapi oposisi yang cerdas pula. Demi cita-cita Indonesia Hebat. Demi Indonesia yang lebih bermartabat. Indonesia butuh oposisi yang lebih kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun