Tukang Becak di Solo lebih Elegant dan bermartabat daripada Gubernur Jakarta
Mencermati berbagai berita berkaitan dengan Pilgub DKI dan berbagai aksi teror yang berlangsung di Solo akhir-akhir ini sungguh membuat pikiran saya terhenyak. Melihat berbagai reaksi komponen masyarakat yang beragam, kita bisa secara kasat menilai kapasitas, karakter, dan sifat individu ataupun kelompok manusia yang beragam dengan berbagai kepentingan dan argumen mereka.
Ada Politisi yang menyerukan agar Kapolda Jateng mengundurkan diri dari jabatan sebagai bentuk pertanggung-jawaban. Ada yang lebih elegant dengan menghimbau agar aparat dan masyarakat meningkatkan kewaspadaan.
Ada sebagian masyarakat yang mungkin terlalu antusias mendukung salah satu Calon Gubernur, secara emosional mengkaitkan kejadian di Solo dengan Proses Pilkada DKI. Walaupun Calon yang didukungnya dengan arif mengatakan bahwa dia tidak ingin kejadian di Solo dikait-kaitkan dengan pencalonan dirinya di Jakarta.
Tapi justru yang lebih mencengangkan diri saya asalah berita di Detik.com yang berjudul “Foke Klaim Berhasil Amankan Jakarta Tanpa Konflik”
Gubernur Incumbent ini mengatakan bahwa selama 5 tahun masa jabatannya Jakarta aman, jauh dari berbagi konflik horizontal, sehingga membuat jakrta aman dengan tingkat pertumbuhan usaha yang sangat bagus. Seraya menyindir daerah lain yang menurutnya tidak aman dan penuh konflik. Walaupun tidak secara eksplisit daerah mana yang dia maksudkan, tentunya para pembaca berita ini tahu daerah mana yang dia maksudkan dan siapa kepala daerah yang dia anggap paling bertanggung jawab atas kejadian itu.
Dengan gagahnya di berkata "Hampir 5 tahun di Jakarta selama saya memimpin tidak ada kejadian menonjol yang mengakibatkan kita tidak bisa beraktifitas secara normal. Berbeda dengan kota lain yang memiliki konflik lain yang menimbulkan konflik horizontal," kata Foke di sela silaturahmi Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia di kediamannya, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (1/9/2012). Menurut dia, Jakarta tetap aman karena pemerintah provinsi dan pihak terkait berhasil mengelola potensi konflik yang timbul di masyakarat.
Dalam hati saya berpikir : “Hebat benar nich gubernur memanfaatkan situasi untuk melancarkan kampanye buat dirinya sekaligus serangan buat lawannya di putaran kedua pilkada DKI”. Tapi setelah saya pikir-pikir kembali saya jadi berpikir “ Apakah ini bukan bumerang bagi dirinya, yang justru menjauhkan simpati publik ?”. Coba kita cermati kata-katanya, dan kembli membuka lembaran lama berbagai peristiwa berdarah yang terjadi di wilayah DKI di masa pemerintahannya. Perisiwa makam mbah Priok misalnya, yang jelas-jelas memperlihatkan kebijakan Gubernur atas masalah ini dilihat dari pengerahan Satpol PP yang begitu besar jumlahnya. Atau berbagai konflik antar warga di Jakarta yang sepertinya tidak ada habis-habisnya. Tidak jelas akar permasalahannya apalagi penyelesainnya. Atau berbagai peristiwa tawuran antar sekolah yang sepertinya menjadi peristiwa biasa di Jakarta, Pemerkosaan di Angkot dan yang paling akhir dan masih baru pertikaian antar kelompok preman di Cengkareng. Apakah ini bukan ranah tanggung jawab Gubernur?, sehinggga dengan entengnya di bilang bahwa “selama 5 tahun masa kepemimpinannya jakarta aman tanpa konflik. Rupanya definisi aman yang dia kemukakan sangat jauh berbeda dengan pendapat warga Ibukota yang menganggap bahwa Jakarta saat ini jauh dari rasa aman.
Oke, Dia mengklaim Jakarta aman dan pendapat warga ada yang pro dan ada yang kontra, tapi dengan kata-katanya menyindir daerah lain (Solo) sebagai daerah yang penuh konflik sebuah langkah yang sangat berani tapi tidak bijak. Kenapa saya katakan sangat berani? Karena secra terang-terangan dia telah mengkoreksi langkah-langkah pemerintah pusat dalam mengatasi masalah Terorisme di negeri ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa peristiwa di Solo adalah sebuah aksi teror yang tidak mungkin bisa diselesaikan hanya dengan sebuah langkah kebijakan seorang Walikota. Terorisme , sebuah kejahatan Trans-Internasional melibatkan jaringan di dalam dan diluar negeri. Apakah seorang Walikota bisa menggerakkan aparat kepolisian untuk bertindak ?
Kenapa tidak bijak ? Ditengah aksi terror yang menelan korban 2 orang aparat polisi dia justru memanfaatkannya untuk mencap daerah tersebut kurang aman dan secara tidak langsung menggiring opini publik bahwa Pimpinan Daerah tersebut adalah orang yang paling bertanggung jawab, dan tidak pantas memimpin Jakarta yang dia katakan selama 5 tahun kepemimpinannya aman dan jauh dari konflik. Itupun tanpa disertai pernyataan simpatik turut prihatin misalnya, atau turut berduka cita atas gugurnya para Prajurit Kepolisian yang dengan gagah berani menunaikan tugasnya membasmi teroris. Yang saya yakin itu pasti akan lebih mengundang sinpati publik.
Setelah itu saya membuka situs berita online lain ada sebuah berita foto yang menurut saya sangat menarik untuk disimak. http://www.wonogiripos.com/2012/feature/ucapan-belasungkawa-323973
Paguyuban penarik becak Solo Grand Mall menyampaikan ucapan belasungkawa atas gugurya Bripka Dwi Data kepada segenap Polisi yang berjaga di pospol Singosaren, Solo Sabtu (1/9/2012). Sabtu, 01/9/2012
Menarik untuk menyimak berita diatas. Kenapa ? Tukang becak yang identik dengan rakyat kecil yang keberadaanya kadang dimarginalkan dan terkadang hanya menjadi obyek penderita berbagai kebijakan publik , dan juga terkadang jauh dari yang namanya perlindungan hukum (Seperti kita maklumi saat ini image polisi dan berbagai penegak hukum lainnya adalah Tajam keatas tumpul ke bawah) , dengan sangat ikhlas dan tulus mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya salah seorang anggota polisi yang ditembak teroris. Menyentuh bukan?. Bandingakan dengan dengan pernyataan DR. Ing. Fauzi Bowo, tokoh terhormat, berpendidikan Jerman, Pemegang otoritas tertinggi di Ibukota RI. Mengucap Belasungkapun tidak.
Maka dengan demikian saya berpendapat. Khusus untuk cara menyikapi masalah teror di Solo. Sekali lagi Khusus untuk cara menyikapi masalah teror di Solo, ternyata tukang becak di Solo Lebih lebih Elegant dan bermartabat daripada Gubernur Jakarta.