Kurasa ini sebuah puisi, namun aku tidak pasti
"Puisi itu tulisan yang tidak biasa," katamu.
"Dalam puisi, satu kata memuat nuansa endapan makna," Â sergahmu.
Tetapi aku ingin menulis puisi.
"Ungkapanmu kering dan telanjang," sudut bibirmu mencibir.
Aku bergeming, menggoreskan pena yang tintanya nyaris kering.
Memandangi langit-langit yang terkelupas usia,
Menangkap nyamuk yang terbang rendah, agar kubelajar bahasanya,
Kupejamkan mata memandangi bulan purnama di balik keremangan bilikku yang sunyi, lalu tersenyum dalam hati, merasakan bahagia sepasang kekasih sedang terhanyut.
Kusesap kopi tanpa gula, maka kutahu manisnya cinta dari buah kepahitan hati mendamba.
Selesai sudah larik-larik ini. Aku masih belum pasti bila ini puisi.
Aku ingin menghidupkan kembali percakapan hati Ibu dan Ayahku saat hati berpadu, seperti penuturan Ibu. Ayah membawa separuh jiwa Ibu, dan mewariskan puisi di hatinya.
"Kau adalah puisi terindah, terangkai dari getaran sukma tak terucap."
"Puisi menangkap dan menyiratkan inspirasi," suaramu membuyarkan lamunanku.
Ah, aku adalah puisi yang ingin kutulis, dan kubacakan untukku sendiri. [ Indria Salim ]