Mohon tunggu...
Muhammad Igo
Muhammad Igo Mohon Tunggu... Ilmuwan - mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rimpu Sebuah Budaya Lahir dari Hukum Islam

18 Januari 2019   08:24 Diperbarui: 18 Januari 2019   08:55 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bima adalah salah satu  kota yang ada di bagian timur pulau Sumbawa provinsi Nusa Tenggara Barat, secara administratif terbagi menjadi tiga kepemerintahan, yaitu kota Bima,  Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. 

Akan tetapi, secara kultur masyarakat tersebut berasal dari satu masyarakat yang sama, yaitu masyarakat suku Mbojo atau biasa disebut oleh masyarakat setempat sebagai Dou Mbojo (orang Mbojo). 

Seiring  berjalanya waktu, masyarakat tersebut tepecah menjadi dua golongan,, yaitu yang tersebar di bagian barat yang disebut dengan Dou Donggo Ipa (Orang Donggo bawah/Barat). Masyarakat tersebut masih bisa ditemukan adanya, yaitu di kecematan Donggo kabupaten Dompu. 

Sedangkan yang kedua tersebar di bagian timu,  yaitu yang mendiami kabupaten Bima. Bukti dari hal tersebut dapat dilihat dari jejak perdaban dan kebudayaan yang ada di desa Sambori. Masyarakat desa Sambori diyakinin sebagai masyarakat Mbojo asli yang pertama mendiami kabupaten Bima dan masih bertahan hingga sekarang.

Menurut Bo' Sagaji Kai, yaitu catatan kerajan Bima, Kota Bima pernah menjadi  kerajaan yang jaya pada masanya karena menguasai jalur perdagangan dari Malaka ke Maluku dan sebaliknya. Kapal-kapal yang melalui jalur tritorial kerajaan Bima harus membayar pajak. Selan itu, pelabuhan Bima pada saat itu merupakan tempat persinggahan pesiar. 

Dalam persinggahan beberapa sodagar, ABK, dan pedagang-pedagang ada yang tinggal lebih lama dan bahkan tingga selamanya di kota Bima dengan kata lain, mereka memulai kehidupan baru di tanah Bima. Bukti-bukti  peningalan kerajaan tersebut dapat dilihat di museum  Asi Mbojo dan beberapa ada di Museum Nasional.

Jauh sebelum terbentuknya kerajaan, masyarakat Mbojo memiliki kepercayaan animism dan dinamisme, yaitu terhadap roh nenek moyang yang mendiami bebatuan besar, tebing, tanah, pohon-pohon besar, dan lainnya. Kepercayaan tersebut disebut oleh masyarakat setempat Makakamba Makakimbi. 

Setelah terbentuknya kerajaan, kepercayaan pada masyarakat suku Mbojo-pun berkembang. Masyarakat Mbojo bisa diprdiksi memiliki kepercayan Hindu-Buda pada masa-masa awal kerajaan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari pengambilan nama kerajaan, yaitu Bima. 

Nama bima dikenal dalam suku Jawa sebagai tokoh pewayangan dan merupakan keturunan dewa. Bukti lain yang dapat meperkuat dugaan bahwa masyarakat tersebut pernah menganut kepercayaan Hindu-Buda, yaitu dalam Bo' terdapat cerita salinan dari cerita para dewa dan dalam kehupan masyarakat Bima hingga kini masih mepercayai para Ncuhi, yaitu tokoh terdahulu yang pernah berkuasa dan berilmu tinggi hingga menjadikannya rohnya hidup di tengga-tengah masyarakat dan menjaga wilayah Bima.

Bahasa yang digunakan dalam masyarakat Bima adalah bahasa Mbojo. Akan tetapi, bahasa yang digunakan dalam naskah atau catatan sejarah kerajaan Bima didominasi oleh bahasa Melayu dan akasara yang  digunakan adalah aksara aksara Melayu Klasik atau Arab gundul. 

Hal tersebut bukan berarti suku Mbojo tidak memiliki aksara sendir. Pada awal masuknya islam yang dibawah oleh ulama-ulama dari Sumatra melalui hubungan diplomatik kerajaan Goa dan Luwu  di Sulawesi dengan kerajaan Bima. Pada tgl 15 Muharam 1055 (13 Maret 1645) Sultan Abi'l Khair sirajudin memerintahkan agar BO', atau tradisi tulis menulis dilakukan dengan aksara Melayu atau Arab karena dianggap sebagai aksara yang diridoi oleh Allah SWT. 

Aksara bima memang benar-benar ada, tapi bukti penggunaan aksara tersebut secara aktif tidak dapat ditemukan karena catatan kerajaan BO' bertulis aksara melayu dan diyakini bahwa dari berbagai jenis BO ada yang menggunakan aksara Mbojo. Akan tetapi, dari sekian banyak BO' telah banyak yang hilang akibat kebakaran besar yang melanda kerajaan Bima (Loir. 2012. xiv).

Wanita suku Mbojo sangat pandai dan rajin menenun, kepandaian ini tidak diketahui sejak kapan dimulai karena  hampir seluruh wanita bisa menenun. Biasanya, wanita-wanita tersebut menenun pada musim kemerau untuk mengisi waktu luang dan di sela-sela waktu  luang saat menunggu waktu  panen. 

Tenunan tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu Songket dan Nggoli. Hasil dari tenunan tersebut pada umumnya dijadikan sarung khas daerah Bima-Dompu. Kemudian masuknya pegaruh Islam yang begitu kuat  dalam masyarakt tersebut menjadikan sarung tersebut sebagai pakaian muslimah sesuai aturan Islam. 

Pakaian tersebut hingga sekarang masih digunakan secara aktif oleh beberapa kelompok orang sebagai pakaian keseharian, seperti masyarakat desa Sambori misalnya.

Rimpu adalah nama dari pakaian tersebut, Rimpu merupakan jenis hijap dalam masyarakat suku Mbojo (Bima-Dompu), dalam prakti pemakaiannya dibagi menjadi dua, yaitu Rumpu Cili (rimpu yang menyembunyikan) dan Rimpu Mpida (rimpu kecil).  

Aturan dalam pengunaan rimpu sendiri disesuaikan dengan aturan dalam ajaran Islam, yaitu mengenai batas aurat. Dalam hal tersebut ada dua pendapat besar, yaitu aurat meliputi seluruh anggota tubuh selain telapak tangan dan wajah dan yang lain mengatakan bahwa yang bukan aurat adalah bagian mata dan telapak tangan. 

Maka dari itu, masyarakat suku Mbojo membagi penggunaan rimpu berdasarkan dua pendapat tersebut. Rimpu yang menyerupai cadar atau niqop digunakan oleh anak gadis atau wanita yang belum menikah ketika keluar rumah sedangkan yang menyerupai jilbab syar'i digunakan oleh wanita yang sudah menikah untuk aktivitas sehari-hari di luar rumah.

Rimpu tidak diketahui oleh banyak orang. Maka dari itu, saya menulis artikel ini agar kekayaan Indonesia semakin terekspos. Untuk keberadaan pakaian tersebu masih terlestarikan dan berbagai upaya terus dilakukan untuk menjagan kelestariannya.

Sumber :

Loir, Henri Chamber dan Siri Masyam. Bo' Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Jakarta. Obor

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun