Mohon tunggu...
I. F. Donne
I. F. Donne Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis adalah seorang Magister Pendidikan lulusan Universitas Negeri Jakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis pernah aktif di berbagai komunitas sastra di Jakarta. Beberapa diantaranya; Sastra Reboan, Kedailalang, dan KPSI (Komunitas Pecinta Seni dan Sastra Indonesia). Karya-karyanya diantaranya; Novel ‘Danau Bulan’, Serampai Cerpen Vol. I ‘Soejinah’ dan ‘Dunia Luka’ Vol. II. Antologi puisi bersama sastrawan-sastrawati. Diantaranya; antologi puisi Empat Amanat Hujan (Bunga Rampai Puisi Komunitas Sastra DKJ), Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Fiksi Mini, dan beberapa puisinya juga dimuat di majalah Story. Penulis juga sudah memiliki dua buku antologi cerpen bersama beberapa penulis, yaitu Si Murai dan Orang Gila (Bunga Rampai Cerpen Komunitas Sastra DKJ) dan Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan. Beberapa cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat nasional, diantaranya berjudul, Sepuluh Jam mendapatkan juara 2 di LMCPN (Lomba Menulis Cerpen Pencinta Novel), Randu & Kematian pada tahun 2011 dan Selongsong Waktu pada tahun 2013 mendapatkan juara harapan kategori C di Lomba Menulis Cerpen Rotho - Mentholatum Golden Award. Penulis juga aktif di berberapa organisasi kemasyarakatan, seni dan budaya. Aktifitas yang dijalani penulis saat ini adalah seorang jurnalis di salah satu surat kabar online nasional di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penyiram Bunga

19 Maret 2020   00:00 Diperbarui: 19 Maret 2020   01:44 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kenapa kau tertawa, kawan. Tak bolehkah, sahabatmu ini jatuh cinta?”

“Aneh kau. Dia itu istri orang!” Ia terbahak. Sungguh menyebalkan tawanya!

                 Aku menelan ludah. Telak! Perempuan itu ternyata seorang istri.  Aku keliru, bodohnya aku tertipu silau sang mentari. Namun, pagi keempat, kelima, keenam, dan seterusnya masih tetap kupandangi isyarat -isyarat keindahan pagi dalam dirinya. Terkadang ia menitipkan senyum embun padaku. Sampai akhirnya aku lulus SMU, dan aku pun mulai jarang main ke rumah Ari.

***

Waktu bergulir, aku menghilang bersama kesibukanku. Sampai suatu pagi datang, akhirnya aku berkunjung ke rumah Ari. Pagi itu pukul sepuluh, setelah menghubungi Ari lewat telepon. Aku bergegas mengunjunginya. Di depan rumah Ari, kupandangi rumah perempuan penyiram bunga. 

                    Rumah itu sudah tak seindah sepuluh tahun lalu, tampak lusuh, kusam, dan catnya memudar tersengat matahari. Bahkan asbes atap rumahnya pun terlihat lapuk.

“Ada apa gerangan? Apakah ia telah pindah? Kenapa bunga - bunga itu menjadi kering? Rumah yang dulu pernah menyejukan pagiku, kini kehilangan hijaunya.”

                     Dari teras rumah, Ari tersenyum melihat kedatanganku. Tubuh sahabatku sudah berubah. Ternyata sepuluh tahun membuat segalanya berubah. Sahabatku dan perempuan penyiram bunga itu, sudah begitu jauh berbeda. Tubuh sahabatku kini lebih subur keadaannya. 

                     Sedangkan perempuan penyiram bunga itu, “Bagaimana keadaannya, yang dahulu sering kujejaki paginya?” rasa penasaran menggeliat di batin. Seiring pertanyaan hati, segera kutanyakan pada Ari tentang perempuan penyiram bunga itu.

“Bagaimana kabar tetanggamu itu, Ri?“ tanyaku berkelakar

“Seperti yang kau lihat, Sahabat. Tiga tahun silam, suaminya meninggal. Semenjak itu segalanya berubah.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun