DKI sedang mencari 'Jawara' (baca: gubernur). Setelah kandidat 'jawara' tersisa dua pasangan, suasana relatif lebih tenang. Ketika kandidat ada tiga, suasana DKI riuh, nyaris hiruk pikuk, sedikitnya di media massa.
Penulis tidak punya hak suara di pilkada DKI, namun ingin sumbang saran. Berharap bukan saran yang sumbang. Sebab, penulis hanya mengusul berdasar pengamatan atas berbagai media, dominan media elektronik.
Lepas dari berbagai faktor primordial, disimpulkan, warga DKI menginginkan masyarakat yang lebih maju. Tidak berlebihan jika memandang masyarakat DKI adalah gambaran masyarakat Indonesia. Di sana ada semua suku yang ada di Indonesia, ada semua agama yang resmi, semua jenis kuliner, semua tradisi. Pokoke, semua hal yang ada di Indonesia, dapat ditemukan di Jakarta, setidaknya, dalam bentuk miniatur. Maka, dapat dipastikan, warga DKI ingin kemajuan yang konsisten, bukan kemajuan yang terpatah-patah.
Dari dua pasangan kandidat yang tersisa, lepas dari indah atau bagus atau baiknya berbagai program yang ditawarkan, ada hal yang berbeda pada tawaran kedua kandidat. Program memerlukan eksekusi. Bahwa kandidat petahana, menawarkan hal yang sebagian besar sudah dimulai terlaksana. Bahkan, sebagian hasil positifnya sudah dirasakan oleh warga DKI. Sementara, tawaran kandidat bukan petahana, sebagian hanya menambahkan "plus" dari program petahana. Tawaran selain itu, banyak bersifat utopis. Misal, "Tanpa Penggusuran", adalah mustahil membangun DKI tanpa penggusuran, karena banyak warga 'terlanjur' bermukim bukan di tempat tepat.
Adalah kelaziman di negeri ini, berganti pimpinan akan berganti kebijakan. Bukan jaminan bahwa program yang diberi "plus" akan sungguh-sungguh melanjutkan eksekusi program baik dari program yang sudah ada. Karakter kandidat bukan petahana sudah memberi sinyal, suatu ketika memihak ke kubu tertentu, lalu di saat lain memihak ke kubu yang sebelumnya menjadi seteru. Benar, memang tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik. Namun, pembangunan DKI harus diupayakan maju secara konsisten.
Tentang pola berbicara santun, itu penting. Namun, dalam membangun DKI, kerja lebih penting daripada gaya bicara. Dan lagi, gubernur di manapun, termasuk DKI bukan hendak ngobrol yang memerlukan kesantuanan. Umumnya, guru dan dosenlah yang banyak 'ngobrol' sehingga kesantuanan gaya bicara sangat utama. Dan perlu mewaspadai gaya berbicara santun, jangan-jangan kesantunan itu hanya untuk membungkus ambisi probadi.
Maka, kuusulkan kepada para pencari 'jawara' DKI, selama masih ada waktu, lebih baik meneruskan kemajuan yang sudah baik, daripada mengharapkan eksekusi teori yang belum teruji.
Salam Bhinneka Tunggal Ika