Ada yang kemudian baru saya sadari setelah hampir satu bulan ini: ternyata hari-hari belakangan ini tidak lagi bertemu Setiap Pagi.
Ketika itu saya naik kereta mencarinya ke sana dan ke mari. Tidak ada. Itu waktu yang biasa pedahal, waktu di mana saya bertemu Setiap Pagi. Tapi lagi-lagi baru saya sadari: pagi itu, pagi di mana saya tidak bertemu adalah karena saya berjalan pulang sedangkan dia berangkat. Kami tidak lagi berpapasan. Atau, diam-diam saling curi pandang.
***
Perempuan itu datang untuk kemudian pergi dan mengatakan memilih oranglain.*
***
Tampak wagu memang, namun begitulah keadaannya. Kami menunggu untuk sesuatu yang tidak pernah tidak pernah tepat waktu. Kereta. Jalur 5 atau 6 sama saja. Tujuan manapun kereta itu. Sebab kami akan turun di stasiun kereta pertama. Saya bersandar di satu tiang, dia datang. Saya ge-er. Membaca buku adalah cara terbaik, ketika itu, untuk menunggu. Si Parasit Lajang yang ditulis Ayu Utami, saya keluarkan dari dalam tas.
Musik masih memenuhi telinga saya. Keduanya saya sumpel dengan volume penuh. Sesekali saya intip apa yang dia lakukan dengan telepon genggamnya. Kadang membuka whatsapp, kadang membuka Line, tapi semua itu akan kembali pada sebuah tontonan yang tidak jelas saya tahu.
Orang-orang memang banyak yang tengah suka menonton film lewat layar telepon genggam mereka. Sebuah kemajuan teknologi. Namun, bagi saya, adalah kemunduran terhadap sikap apresiasi terhadap karya. Saya bisa jamin film-film itu diunduh ilegal. Jahat sekali.
Saya tidak peduli. Saya sedang suka tulisan-tulisan Ayu Utami. Lebih tepatnya, buku yang sedang saya baca baru saya temukan di perpustakaan.
Dia masih serius menonton film. Sambil sesekali kami curi pandang. Saya dan dia menyadari itu.
***