Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perlu Garis-garis Besar Haluan Gubernur

4 Juni 2018   15:08 Diperbarui: 4 Juni 2018   16:10 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus "penanaman" kembang plastik di trotar-trotoar DKI Jakarta belum lama ini, sontak menuai kecaman dari banyak pihak. Tidak ada satu pun yang dapat menjelaskan kebijakan ini. Dan tentu tidak ada seorang pun yang dapat membelanya. Apalagi di medsos sempat viral gambar seseorang yang seperti terhalang bunga plastik itu, saat melintas di trotoar. Maka sangat dipahami bila dalam waktu singkat kembang-kembang plastik  itu sudah dicabuti kembali.

Seperti diperkirakan, tidak ada seorang pun yang akan mengakui kalau "pembudidayaan" kembang-kembang plastik itu adalah idenya, atau perintahnya. Semua pihak saling tuding, dan menyalahkan. Uniknya pejabat yang mestinya bertanggung jawab penuh atas hal-hal semacam ini, justru mengatakan tidak tahu-menahu.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa kembang-kembang plastik itu program pemerintahan kota yang lalu. Tapi seingat saya, di era gubernur sebelumnya tidak pernah ada kembang-kembang plastik ditanam di trotoar. Entahlah masyarakat mungkin tidak memerhatikannya, karena dari hari ke hari kita hanya melihat demo menuntut gubernur mundur. 

Menjadi kepala daerah, khususnya gubernur, lebih khusus lagi gubernur DKI Jakarta, tidak mudah. Kasus yang terjadi belakangan ini semakin menyadarkan kita bahwa untuk menjadi kepala daerah di kota metropolitan, gelar akademik berderet-deret tidak menjadi jaminan mutu.

Seorang gubernur harus inovatif, kreatif, konstruktif. Namun di atas segalanya itu, harus punya tabiat jujur, berani, tegas dan berintegritas, tidak mau tunduk atau disetir pihak-pihak tertentu. 

DKI Jakarta adalah pusat pemerintahan negeri ini. Kota ini sekaligus menjadi barometer kota-kota di Indonesia. Apa yang dilakukan di DKI Jakarta, pasti menjadi patron, dicontoh kota-kota lain. Jakarta adalah kota metropolitan dan juga kota dunia.

Sebagai kota dunia, Jakarta harus modern dan bermartabat. Wajah Jakarta harus cantik, maka dia harus ditata rapi untuk menggenapi peruntukannya sebagai kota modern dan berkelas internasional.

(sumber: suara.com)
(sumber: suara.com)

Maka ketika kembang-kembang plastik ditanam di DKI, heboh pun tak terbendung. Sejatinya, DKI butuh banyak kembang, tapi kembang hidup, kembang asli. Tapi ironisnya, konon untuk memberikan tempat ke kembang-kembang plastik, banyak pohon hidup ditebang. Kembang yang hidup itu berfungsi banyak: menjadi penyejuk dan memberikan pemandangan indah alami. Akarnya yang menjalar di dalam tanah bisa menahan air dan sekaligus menguatkan struktur tanah. Maka kalau ada lahan kosong sebaiknya ditanami saja pohon atau kembang hidup, bukan pohon plastik. 

Bukan hanya pohon plastik yang menjadi masalah di DKI saat ini. Yang paling urgen adalah penutupan Jalan Jatibaru. Sejak menjadi orang nomor satu di DKI, Anies Baswedan "memberikan" Jalan Jatibaru untuk para pedagang (PKL). Kebijakan yang sangat kontradiktif dengan gubernur sebelumnya. 

Gubernur Joko Widodo, Ahok, telah "berjuang" mengembalikan kawasan Tanah Abang ke peruntukannya, sebagai jalan raya. Tapi ibarat orang sudah mengepel dan membersihkan lantai hingga mengkilap, namun orang "iseng" menumpahkan kopi setelah orang yang membersihkan tadi itu berlalu. Dan lantai dibiarkan tetap begitu, kotor dan semrawut.

Bahwa kasus penutupan Jalan Jatibaru ini melanggar UU, makin tampak ketika Ombudsman mengingatkan Anies untuk membuka kembali ruas jalan itu dan mengembalikan fungsinya sebagai jalan raya, bukan tempat berjualan. Bahkan pihak kepolisian pun dari awal sudah tegas mengatakan bahwa fungsi jalan tidak bisa diganggu gugat. "Jalan digunakan untuk jalan, trotoar untuk pejalan kaki. Itu sudah tidak bisa diganggu gugat," kata Kombes Polisi Yusuf, Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya belum lama ini (Koran Tempo, Senin 4 Juni 2018).

Dan sebenarnya masih banyak pekerjaan di DKI yang mesti dituntaskan untuk menuju Jakarta sebagai kota modern, manusiawi, dan bermartabat. Salah satunya adalah lokasi-lokasi kumuh yang dijadikan tempat tinggal oleh warga. Banyak gubuk-gubuk di pinggir kali, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, yang kondisinya tidak higienis dan tidak manusiawi.

Tugas gubernur dan jajarannya antara lain adalah mengembalikan fungsi lahan-lahan tersebut sesuai peruntukannya. Dan itu bukan pekerjaan mudah, dibutuhkan keberanian dan ketegasan. Welas asih tidak ada tempatnya bagi pelanggar hukum. Menyediakan alternatif hunian sebelum menggusur, adalah wujud welas asih yang sejati, bukan membiarkan orang berada terus dalam kekumuhan, dan melanggar hukum.

Kasus-kasus di atas mestinya membuat semua pihak sadar perlunya semacam Garis-garis Besar Haluan Gubernur (GBHG), sehingga kepala daerah tidak seolah dilepas begitu saja, yang berpotensi melakukan segala sesuatu secara serampangan. Selain tidak fokus, kebijakannya juga banyak yang menabrak hukum.

Seorang gubernur kota besar, selain membenahi lalu-lintas supaya tidak macet, dan tidak banjir, harus diwajibkan secara bertahap membebaskan lokasi-lokasi dari kekumuhan. Dari GBHG inilah nanti bisa dinilai sejauh mana seorang kepala daerah berhasil menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun