Data identitas yang di-input secara sukarela oleh kita para pengguna (seperti kelamin, usia, tingkat pendidikan, dsb) digunakan facebook untuk membantu pengiklan menampilkan iklan yang tepat, sehingga mencapai impresi yang maksimal dan memuaskan pengiklan. Keren kan?
Tentu saja, hal tersebut tidak akan terjadi, jika saja Mark sependapat dengan Eduardo untuk sama-sama kebelet nyari duit dari startup mereka yang setengah matang. Kemunculan pop-up ads yang tahu-tahu nongol di layar kaca sementara para user lagi sibuk kepoin gebetan, tentu akan membuat user jengkel.
Jika semisalnya belum apa-apa sudah pasang iklan alias dimonetisasi, Facebook akan agak kesulitan untuk berkembang dan mendapat user yang kecanduan memakainya. Bisa saja tetap sukses, tapi tidak akan secepat sekarang suksesnya, dan mungkin penghasilannya hanya jutaan dolar, tidak miliaran.
Namun, bukan itu intinya. Intinya adalah memang dalam menciptakan sebuah startup, ujung tombak yang harus dibangun adalah pengalaman pengguna. Bagaimana sebuah kanal bisa membangun kepercayaan, kesetiaan, dan retensi pengguna yang maksimal. Begitulah Facebook ketika ia mengembangkan dirinya di tahun-tahun awal. Biaya operasional pun didapat dengan menjual saham pada investor baru dari waktu ke waktu.
Investor ini pun tidak keberatan jika tidak mendapat deviden sepanjang perjalanannya memegang saham suatu perusahaan startup. Karena boleh jadi, sasaran sang investor adalah menjual sahamnya ketika valuasi perusahaan startup tersebut sudah naik tinggi sekali, bahkan tanpa menghasilkan profit. Atau, investor mengharapkan deviden ketika perusahaan memang sudah besar dan mapan.
 Jadi ke depannya, anda tidak perlu bingung ketika melihat perusahaan startup seperti Gojek, Grab, Bukalapak, Tokopedia, dan lain sebagainya yang tampaknya "bakar duit" terus dengan segala promonya. Seolah tidak mencari untung sama sekali. Karena model bisnis usaha startup sama sekali berbeda dengan bisnis konvensional.