Mohon tunggu...
Hafiz Fatah
Hafiz Fatah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan

Menyukai topik lingkungan dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Usaha Mengakrabi Alam di Wasior

18 Juli 2017   10:52 Diperbarui: 18 Juli 2017   21:05 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memandang teluk dari Sungai Manggurai. Foto: Egy Erzagian

"Saya mendengar suara gemuruh dari arah gunung, namun tak ada waktu untuk mengamankan diri."

Mama Wiay mengenang kejadian saat dirinya terseret banjir bandang tahun 2010, ketika Sungai Anggris meluap dan membawa serta gumpalan lumpur dan batu menerjang deras pemukiman di Wasior. Air bah mencapai separuh tinggi rumah, batu-batu besar dan kayu menghantam dinding-dinding bangunan. Pagi itu alam mengirim petaka yang merenggut seratusan korban jiwa dan melumpuhkan denyut kehidupan kota.

"Keadaannya luar biasa waktu itu," mama melanjutkan berkisah dengan kalimat yang diucapkan pelan dan sepotong-potong, dalam dialek yang susah payah saya coba pahami. "Rumah-rumah hancur dan segala hal seperti berhamburan di medan yang sulit dikenali." Matanya yang tadinya dibuka lebar bulat-bulat menipis mengernyit saat mengenang kejadian yang membuatnya bergidik, mendapati seekor ular sebesar betis bergelasar di dalam sebuah puing lemari yang barangkali ikut terseret dari hutan bersama arus banjir, dan ketika dari tingkah mencurigakan seekor anjing ia meminta tim penolong mengangkat sebongkah batu besar. Tubuh seorang korban tergencet di bawah batu itu.

Mama menyudahi ceritanya dengan sebuah tarikan nafas panjang. Saya dan Irfad terdiam. Tidak seperti Irfad yang sudah banyak mendengar kisah kejadian bencana dari mulut penyintas karena telah lama bergaul dengan masyarakat di daerah rawan bencana, ini adalah hal baru bagi saya. Wajah penyintas tidak menyimpan gurat apapun penanda suatu peristiwa katrastopis yang pernah dialami, namun ingatannya adalah rumah bagi sebuah kenangan yang mengoyak hati.

Mama Wiay tinggal di dekat lokasi bertemunya tekuk lereng Pengunungan Wondiboi dengan dataran rendah Wasior, di tepi Sungai Anggris tempat kami memasang alat deteksi longsor yang dimodifikasi untuk banjir bandang. Rumahnya menyendiri, jauh dari tetangga terdekat, dan hanya berjarak sepelemparan batu dengan mulut aliran sungai yang keluar dari himpitan tebing-tebing sempit nan menjulang. Radius beberapa ratus meter dari rumahnya adalah tanah ulayat milik keluarganya. Ia dan Kostan, saudaranya, menyambut dengan hangat waktu pertama kali kami melakukan survei kandidat lokasi pemasangan alat.

Kabupaten Teluk Wondama menghuni wilayah di tengkuk burung Pulau Papua, Provinsi Papua Barat. Tak seramai Nabire. Pusat aktivitas warga berada di Kampung Wasior yang merupakan gerbang penghubung Teluk Wondama dengan daerah lain dengan keberadaan pelabuhan, sekaligus pusat perekonomian dengan keberadaan pasar. Sekolah berbagai jenjang serta tempat ibadah juga dapat dijumpai di Wasior. Seutas jalan raya membentang dari selatan hingga ke ujung utara wilayah kabupaten, rumah-rumah hunian dengan halaman yang ditanami bebungaan dan sederet kecil pohon pinang berjajar di tepiannya.

Bentang alam Teluk Wondama dicirikan oleh dataran rendah sempit di kaki pegunungan tinggi. Sembilan sungai stadia muda yang kerap mengirim air bah mengalir memotong jalan, mengantarkan produk pengikisan batuan akibat curah hujan tinggi di pegunungan ke teluk. Beda relief yang curam membuat sungai-sungai ini dipenuhi bebatuan sebesar kepalan tangan sebab energi yang membawanya masih terbilang tinggi. Penduduk Teluk Wondama diberkahi tanah yang indah permai dengan lanskap pegunungan megah, garis pantai menawan, dan hasil laut yang melimpah. Bagaimanapun, tanah ini tak sempurna. Sebuah ancaman besar mengintai kehidupan penduduknya.

Hampir seluruh wilayah pemukiman dan pusat keramaiannya berada di zona risiko tinggi terkena bencana sebab kondisi alami daerahnya. Rumah-rumah penduduk dan pusat-pusat aktivitas publik terletak di zona aluvial di dataran sempit yang terbentuk di antara pegunungan dengan ketinggian hingga 2000 meter dan muka air laut di teluk yang terbuka sebab pergeseran Patahan Wandamen. Dalam kondisi normal pun, dasar sungai mendangkal dengan cepat oleh pasokan material dari pegunungan, memperburuk risiko meluapnya air ke daratan di sisi-sisinya.

Tahun 2010 peristiwa banjir bandang Wasior menyita perhatian seluruh negeri. Tahun 2014 banjir kembali terjadi. Meski dalam skala yang lebih kecil, kerusakan bangunan dan ancaman korban jiwa hadir di depan pelupuk mata. Sebagian besar warga Wasior hidup dalam rasa was-was akan petaka yang sewaktu-waktu datang dari pegunungan.

Berbagai upaya sedang ditempuh untuk melawan rasa khawatir terhadap bencana banjir bandang. Normalisasi sungai dilakukan terus menerus, seiring dengan sosialisasi pada masyarakat dan pembentukan tim siaga bencana. Kedatangan kami adalah salah satu bagian dari upaya yang dibangun BNPB dan BPBD setempat untuk menyiapkan ketangguhan wilayah ini dari ancaman bencana.

Lanskap wilayah Teluk Wondama dengan sembilan daerah aliran sungai. Sumber Blog Konservasi Kepala Burung Papua| Google Earth
Lanskap wilayah Teluk Wondama dengan sembilan daerah aliran sungai. Sumber Blog Konservasi Kepala Burung Papua| Google Earth
Pak Wayan dan Pak Ino, pegawai BPBD Teluk Wondama yang antusias dan menyenangkan, mengajak kami melihat wilayah tanggungjawab kerjanya dari Raisei di selatan hingga Pantai Rowor di utara dan bercakap dengan seorang tetua kampung tentang bencana yang pernah melanda daerahnya. Kami mendalami bahwa ancaman utama di daerah ini memang banjir bandang, dan spesifikasi alat yang dikirim BNPB mesti menyesuaikan sebab sedianya alat itu diperuntukkan sebagai detektor tanah longsor. Namun tugas harus tetap berjalan, alat hanya salah satu bagian dari sistem tangguh bencana. Menyesuaikan karakter ancaman bencana, kami memodifikasinya berdasarkan saran dosen pembina.

Tekad pemerintah mengurai permasalahan kebencanaan di Teluk Wondama membentur dinding berlapis. Pada tingkat mendasar, pengembangan daerah pemukiman dan pusat kegiatan publik terlanjur abai pada prinsip tata ruang yang sadar bencana. Sudah pada titahnya jika kipas aluvial merupakan daerah limpasan material dan sungainya meluap dalam frekuensi tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun