Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Asal Kata Istilah "Ojek" #BahasakuIndonesia

28 Oktober 2014   21:37 Diperbarui: 4 April 2017   17:29 4086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14144869441639000281

[caption id="attachment_370049" align="aligncenter" width="600" caption="Ojek/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Istilah “ojek” sudah sangat akrab di telinga kita, yaitu sepeda motor yang dipakai untuk memberi jasa transportasi dengan cara membonceng. Pengendara ojek, yang biasanya adalah pemilik sepeda motor, disebut dengan “tukang ojek”. Mungkin pernah terlintas dalam benak kita, mengapa kendaraan roda dua ini dinamakan dengan “ojek”. Dalam bahasa Inggris, kendaraan pengantar orang yang murah dan praktis ini dinamakan dengan “motorcycle taxi”. Ojek ini ada banyak dijumpai di negara-negara Asia dan Afrika. Di negara Kamboja, ojek ini dinamakan dengan motodops, di Vietnam dengan sebutan xe om, di Thailand dengan sebutan motoesai rap chang. Di Tiongkok dan India juga sangat banyak bisa dijumpai tukang ojek di sudut-sudut jalan.

Istilah “ojek” sebenarnya terlahir dari kata “ngobjek” yang kurang lebih bermakna “mencari tambahan penghasilan untuk menutupi kekurangan dari gaji yang diterima”. Di zaman susah, sekitar tahun 70 sampai 90an, pegawai negeri, guru, polisi, tentara, harus “ngobjek” selepas jam kerja untuk menutupi kekurangan gaji yang memang sangat minim. Ada yang menjadi tukang becak, kuli di pelabuhan, penjual kaki lima dan sebagainya. Istilah “ngobjek” ini sendiri, nampaknya diadopsi dari bahasa Belanda “object” (bacanya: obyek) yang kira-kira bermakna “barang dagangan”, jadi maksudnya segala item yang dapat menghasilkan duit. Karena itu, dulunya orang melafalkannya dengan “ngobyek” dan baru belakangan diucapkan dengan “ngobjek”. Sekitar tahun 80-90an, orang melihat peluang untuk “ngobjek” dengan menjadi alternatif becak yaitu membonceng penumpangnya dengan sepeda motor. Dan “ngobjek” cara ini ternyata memberi penghasilan yang lumayan dan yang penting tidak terlalu menyedot waktu dan tenaga. Dan begitulah, lama-kelamaan istilah ”ngobjek” menjadi terpateri secara eksklusifpada pemberian jasa pengantaran penumpang dengan sepeda motor dan kata “ngobjek” pun bermetamorfosa menjadi "ngojek" dan akhirnya menjadi “ojek”.

Sezaman dengan istilah “ngobjek” kita mengenal juga istilah “ngompreng” yaitu “menyewakan atau memakai kendaraan dinas secara sembunyi-sembunyi untuk dipakai orang sipil, tentunya dengan imbalan jasa tertentu. Di zaman susah dahulu, praktik “ngompreng” ini banyak dilakukan oleh tentara atau polisi untuk menutupi kekeurangan gaji, bahkan kadangkala komandan yang bersangkutan tutup mata saja. Istilah “ngompreng” ini, sangat kuat dugaan diadopsi dari istilah bahasa Belanda “ombrengen” yang maknanya “deliver” atau “mengantar/mendistribusikan”. Manakala tentara ini mendapat perintah untuk mengantar logistik ke sejumlah tempat, maka dipakai kesempatan ini untuk memanfaatkan kendaraan dinas ini disewakan kepada orang sipil. Maka berubahlah istilah “ombrengen” ini menjadi “ngompreng”. Pada sebuah buku saya menemukan definisi yang menarik dari “ngompreng” ini yaitu “hiring out government vehicles for private gain”.

Berbicara soal “motorcycle taxi” (ojek) tadi, mungkin berguna bagi kita untuk mengenal kata Inggris “pillion”. Kata “pillion” ini dipakai untuk mengacu pada orang yang membonceng sepeda motor. Simaklah penjelasan tentang ojek ini sebagai berikut: The motorcycle taxi typically carries one passenger, who rides as the pillion behind the motorcycle operator (Ojek ini membawa satu orang penumpang, yang membonceng di belakang tukang ojek). Ada sesuatu yang menarik diuraikan tentang pillion riding (bonceng berduaan pada sepeda motor) ini dan saya kutip sebagai berikut: Pillion-riding is associated with terrorist or criminal attacks in some South Asian countries. In Pakistan, for instance, pillion riding is often banned by local authorities around sensitive times, such as the Ashura commemoration, when there have been violent attacks on worshippers (Bermotor berboncengan ini sangat lekat dengan modus terorisme dan tindak kejahatan pada sejumlah Negara Asia Selatan. Di Pakistan, misalnya, bermotor berboncengan dilarang oleh penguasa setempat pada hari-hari rawan, seperti perayaan Asyura, di mana sering terjadi serangan brutal pada pemujanya). Ya, riding pillion ini yang pernah saya sitir untuk diwaspadai sebagai tukang jambret, yaitu naik motor berboncengan dua lelaki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun