Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mendekonstruksi "Sahurnya Ngemie, Berbukanya Ngopi"

27 Mei 2017   11:08 Diperbarui: 27 Mei 2017   13:09 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada guyonan anak kos menyoal puasa. Semua menu selama puasa beragam masakannya. Ada soto, kari ayam, bakso sapi, empal goreng, dll. Tapi dalam bentuk mie instan. Lalu berbukanya pun tidak kalah bermacam. Ada kopi toraja, kopi latte ice, kopi luwak (luwakan), kopi putih, dll. Tapi semua pun dalam bentuk kopi instan. Tinggal seduh air panas, lalu dibuat untuk iftar.

Sekilas dan di permukaan hal ini dianggap 'meme puasa'. Fenomena menertawai betapa sederhana dan instannya makanan puasa anak kos. Karena anak kos pun pada umumnya tidak punya banyak uang, apalagi di akhir bulan. Mereka pun cenderung sibuk dan terbebani tugas (katanya). Sehingga pilihan makanan plus minuman instan menjadi pilihan. Dan kadang memang tidak bulan puasa saja.

Namun mari kita coba dekonstruksi makna dibalik fenomena ini. Karena tentunya jika melihat banyaknya tanda-petanda menjelang Ramadhan, maknanya bukan lagi sama. Dan saya pun bisa yakin hal ini ada dalam fikiran kita. Namun mungkin belum tersampaikan. Karena tentunya rumitnya hidup dan simbolisme di kepala kita.

Pertama, sahur mie instan dan berbuka dengan kopi instan menyiratkan kehidupan milenial. Kepraktisan dan cepatnya sifat suatu entitas menjadi prioritas alam bawah sadar. Lihat saja contohnya sehari-hari. Pesan chat harus kita terima dengan cepat. Busway telat sedikit sudah banyak yang ngedumel. Antrian panjang menjadi ajang beberapa orang berbuat picik dengan menyela. 

Semua keburu-buruan ini juga adalah ikonisitas era post-industrialis. Dimana manufaktur masif dan produksi komoditas serupa menjadi intinya. Cepat terpenuhi bahkan sering tidak sesuai permintaan. Surplus dari komoditas menjadi patokan suksesnya produksi. Karena saat komoditas tadi didistribusikan ke pasar, orang tidak akan menolaknya. Tapi menjadi ilusi dari pilihan. Saat bosan dengan mie instan merek A, kenapa tidak sekali waktu mencoba merek B. Dan 'sekali waktu' ini direpetisi dengan masifnya konsumsi.

Kedua, sahur mie instan dan berbuka dengan kopi instan menyiratkan konsumsi masif menjelang Ramadhan. Karena tidak dipungkiri lagi, saat bulan puasa inflasi terjadi, gaji berlebih dan mindset berbelanja menguat. Mie dan kopi instan terdengar remeh dan murah memang. Namun jika dikaitkan dengan masifnya produksi dan surplus permintaan, mungkin konsumsi barang sepele ini berlipat. Karena memang faktanya, banyak dari kita yang menyetok barang konsumsi instan lebih banyak di bulan puasa.

Munculnya pola 'maha-konsumsi' ini memang ironis. Saat puasa mengajarkan berhemat dan berempati, namun faktanya 180Ëš. Saat berbuka, lebih banyak orang menjajakan takjil dan makanan. Setelah tarawih juga lebih banyak orang bersantap di restauran. Pun, banyak orang yang bersliweran di supermarket di siang hari membeli makanan untuk berbuka. Semuanya memang 'wajar' jika dilihat faham 'nanti juga ada THR'. Lihat artikel saya Belum Juga Puasa Sudah Mikir THR.

Ketiga, sahur mie instan dan berbuka dengan kopi instan menyimbolkan oto-kritik pada kita sendiri. Tentunya, dua fenomena semiotis diatas tak lepas dari kita sebagai agen. Kita adalah pelakunya. Kita yang menjadikan fenomena ini bereksistensi. Saat kehadiran itu berada, maka keberadaan bisa dipertanyakan. Fenomena ini menjadi rahasia umum saat puasa tiba. Baik sadar maupun tidak sadar, kita menjadi automaton dalam fenomena ini.

Kita sejatinya menertawakan era dan mindset kita hidup saat ini. Banyak yang berpandangan distopis pada masa kita hidup. Hidup sebagai manusia modern di era informasi malah membuat semakin pusing. Tidak seperti dulu dimana semua lebih mudah. Tapi bukankah setiap jaman sedemikian? Selalu ada ketidakpuasan pada tatanan kehidupan yang sudah ada. Sebuah fenomena in search of El-Dorado yang setiap generasi terjadi. Namun kita hanya terseok dan menertawai diri sendiri di kehidupan kita saat ini. Mau tak mau, ingin tak ingin, bertahan dalam arusnya menjadi prioritas utama.

Dan semua yang instan terjadi di depan kita. Tinggal bagaimana kita memaknasi dan berkontemplasi di dalamnya. Mungkin axioma take it for granted akan terus konsisten. Fenomena ini akan ada, hanya tinggal kita saja mengkritisinya. Entitas yang kita bongkar akarnya, untuk dilihat, lalu kita tanam kembali.

Salam,

Wollongong, 27 Mei 2017

02:08 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun