(sumber: ESDM RI, 2017)
Hal seperti diatas menjadi dilematis ketika pengembang EBT ingin tidak rugi, sementara pemerintah ingin agar tarif listrik lebih kompetitif dan efisien meski dengan bahan baku fosil (Batubara & BBM). Jangankan pihak swasta yang sudah invest cukup besar, penulis pribadi & tim yang passion dan ingin terjun di bidang EBT pun menjadi sedikit gelisah setelah membacanya. Pun di grup whatsapp seputar RE yang penulis ikuti. Sejauh ini, pengembangan EBT di Indonesia memang mendapatkan subsidi dalam prakteknya. Maka, target 23% penggunaan EBT dalam porsi bauran energi final Indonesia pada tahun 2025 rasanya akan sulit untuk tercapai dengan diberlakukannya aturan diatas.
2. Tinjauan Besaran Investasi dan Pendanaan
Sebagai pengusaha dan pelaku industri, apa yang kita investasikan harus bisa bernilai positif dan menguntungkan. Jika tidak, maka investasi yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan. Tentu kita semua tidak mau. Termasuk dalam bidang EBT.
Harga minyak bumi yang masih dibawah 60 USD per barrel tentu masih sangat menggairahkan bagi pelaku industri yang berbahan baku tersebut. Lebih murah dan sudah teruji andal. Teknologinya pun sudah dikuasai.
Penulis mencatat, jenis energi terbarukan saat ini di Indonesia yang cukup baik dalam pelaksanaannya adalah pada jenis EBT panas bumi dan biomassa. Panas Bumi sudah menjadi kewajiban PT Pertamina untuk mengelolanya sebagai aset Negara, sementara biomassa banyak yang merupakan investasi pihak swasta. Keduanya, dari segi teknologi sudah baik dan kemampuan untuk mencetak Energy-ROI terbilang sangat baik (lihat kembali tulisan tentang Memperbarui Mindset tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia).
Dalam sebuah portal berita Detik.com, disebutkan bahwa salah satu dari masalah utama EBT di Indonesia adalah terkait pendanaan, disamping teknologi dan ketersediaan bahan baku. Hal itu disampaikan oleh Satrio Astungkoro yang menjabat Dirut PT Energy Biomassa Indonesia sebagai salah satu anak usaha PT EMI yang merupakan BUMN Indonesia di bidang Konservasi dan Konversi Energi Baru Terbarukan [5].
Apakah benar demikian?
Beberapa perusahaan yang menerapkan teknologi biomasa seperti Growth Steel Group(GSG) dengan ke-10 PLTU (baik yang sudah operasi maupun belum), ternyata menunjukkan kinerja yang cukup bagus. Dengan lokasi yang strategis, GSG berhasil membangun banyak PLTU berbasis biomassa dengan bahan baku utama dari limbah kelapa sawit (cangkang sawit). Listrik dari PLTU GSG bahkan dijual ke PLN. Ini tentu menunjukkan bahwa penerapan dan bisnis EBT di Indonesia sangat menguntungkan. Perhatikan persebaran PLTU Biomassa GSG berikut ini,
(sumber: arsip pribadi – diolah dari berbagai sumber)
Perspektif yang lainnya dalam menjawab masalah besaran investasi dan pendanaan, kita dapat menemukan fakta bahwa ternyata penerapan EBT di luar negeri lebih banyak yang merupakan hasil investasi perusahaan multinasional dan juga pinjaman dari Bank Dunia yang komitmen terhadap energy ramah lingkungan.