Mohon tunggu...
Fernandes Nato
Fernandes Nato Mohon Tunggu... Petani - Founder Golo Sepang Institute

make your dream chase you

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Memalak" THR, Etiskah?

2 Juni 2019   19:48 Diperbarui: 5 Juni 2019   10:58 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Tok.. tok... tok...tok... tok...!!!"   Sore ini ketokan di pintu rumah kami agak berbeda dari biasanya. Ketokan yang tidak disertai ucapan salam SHALOM atau pun Asallamualaikum membuat saya sedikit mencurigai orang di balik pintu tersebut. Di balik gorden jendela bayang orang tersebut bergerak mundur.

Saya dan Istri beradu pandang tanpa kata-kata terucap. Saya lalu berdiri melangkah ke pintu dan membukanya dengan pelan sembari menyalami tamu tersebut. Ternyata ada seorang lelaki berbadan tegap sedang menunggu di luar.  Ia membawa map biru dan pena berwarna biru pula. Bajunya berwarna orange. Rambut laki-laki itu agak gondrong, lurus, dan agak dekil.

"Uang sampah, Pak!" demikian beliau berkata saat menyerahkan map biru dan pena biru kepada saya. Saya lalu menerima map dan pena tersebut sembari memandang lelaki tersebut setengah curiga. Saya membaca sejenak surat yang ada dalam map tanpa mencerna isinya, terdapat stempel RT 01, dengan nama jelas Ibu RT di bawahnya.

"Kalau iuran sampah biasanya ibu RT sendiri yangambil, Pak" saya menanggapi lelaki tersebut yang sama sekali tidak ramah itu.

Saya membuka halaman kedua dari surat dalam map biru tersebut dan terdapat banyak nama orang dengan paraf serta tercatat jumlah uang dengan minimal sumbangan 50.000 rupiah. Kecurigaan saya terhadap tamu kami ini masih belum hilang karena biasanya ia menjadi 'tukang sampah' di RT 01, lantas saya mengulangi pernyataansaya sebelumnya.

"Biasanya Ibu RT sendiri yang mengambil iuran sampah, Pak." Saya menatap lelaki tersebut yang duduk di bawah jemuran depan rumah kami. 

Ia lalu berdiri dengan nada yang agak gugup lalu mendekati saya dan menunjukkan halaman pertama dari surat dalam map biru tersebut. Saya lalu menyimak kembali isi surat yang ditandatangani ibu RT 01 dengan stempel lengkap. Ternyata surat dari ibu RT  kali ini bukan iuran sampah tapi minta sumbangan THR untuk 'tukang sampah' lingkungan. Saya baru sadar terkait isi halaman pertama surat dalam map biru tadi dan senyum-senyum sendiri sembari memanggil nama istri terkait proposal sumbangan atau lebih tepatnya pemalakan THR tersebut.

Saya lalu meminta istri saya menyediakan uang untuk sumbangan THR bagi t'tukang sampah' ersebut.  Awalnya tsaya tidak mau menulis nama dalam daftar orang-orang yang menyumbang THR  tapi demi kepentingan administrasi RT lalu saya cantumkan.

Tapi sebenarnya, menurut saya, meminta sumbangan THR secara langsung oleh 'tukang sampah' kepada warga adalah tindakan yangtidak tepat. Lebih tepatnya adalah tidak sopan. Apalagi bila hal tersebut terjadi di kota besar seperti Jakarta yang katanya sudah teratur dan beradabini.

Menurut saya, Ketua RT mestinya mengatur semua hal tersebut dalam rencana kerja sebagai Ketua RT, lalu dirembukkan hal tersebutb ersama warga. Nominalnya (minimal) harus disepakati bersama warga sehingga menjdi pemahaman dan tindakan bersama bagi warga.

Memberi THR kepada 'tukang sampah' dan tukang keamanan mestinya menjadi sebuah kesadaran bagi setiap warga dalam sebuah lingkungan RT. Proses pengumpulan dan pemberian THR juga harus dilakukan olehketua RT bersama warga, kalau bisa. Sehingga ada nilai penghargaan terhadap jasa 'tukang sampah dan tukang keamanan' tersebut.

Tapi, kalau sumbangan THR bagi tukang sampah diminta langsung oleh 'tukang sampah' kepada warga tanpa ada kesepakatan antara ketua RT dan warga, kesan saya kok ini seperti sebuah pemalakan terhadap warga dan boleh dikategorikan ke dalam tindakan kriminal.

Warga bisa saja salah paham dan tidak mau memberikan sumbangan yang berujung pada selisih paham dengan orang yang minta sumbangan tersebut. Ini kriminal.  Ketua RT hanya bermodalkan selembar kertas bertanda tangan dan stempel tanpa ada rembuk dengan warga. Boleh jadi ini juga gambaran sikap otoriter seorang ketua RT. Saya kira ini sebuah kekacauan serius dan baik untuk dibenahi sehingga hidup antara warga bisalebih damai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun