Mohon tunggu...
Febroni Purba
Febroni Purba Mohon Tunggu... Konsultan - Bergiat di konservasi ayam asli Indonesia

Nama saya, Febroni Purba. Lahir, di Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Menempuh pendidikan SD hingga SMA di Kota Medan. Melanjutkan kuliah ke jurusan ilmu Peternakan Universitas Andalas. Kini sedang menempuh pendidikan jurusan Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Pernah menjadi jurnalis di majalah Poultry Indonesia selama tiga tahun. Majalah yang berdiri sejak tahun 1970 ini fokus pada isu-isu ekonomi, bisnis, dan teknik perunggasan. Di sana ia berkenalan dengan banyak orang, mengakses beragam informasi seputar perunggasan Tanah Air dan internasional. Samapai kini ia masih rajin menulis, wawancara dan memotret serta berinteraksi dengan banyak pihak di bidang peternakan. Saat ini dia bergabung di salah satu pusat konservasi dan pembibitan peternakan terpadu ayam asli Indonesia. Dia begitu jatuh cinta pada plasma nutfah ayam asli Indonesia. Penulis bisa dihubungi via surel febronipoultry@gmail.com. atau FB: Febroni Purba dan Instagram: febronipurba. (*) Share this:

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Industri Pengolahan Daging (Tak) Siap Hadapi MEA

8 Desember 2015   17:39 Diperbarui: 8 Desember 2015   18:10 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Masyarakat Ekonomi ASEAN tinggal menghitung hari. Industri pengolahan daging Indonesia dinilai belum siap untuk berdaya saing. Sulitnya memperoleh bahan baku yang murah merupakan penyebab utamanya.

Industri pengolahan daging di Indonesia terus bertumbuh. Hal itu dapat kita lihat dengan fenomena usaha sosis dan nuget yang menjamur di mana-mana. Makanan berbahan olahan daging ini makin digemari hampir semua lapisan masyarakat karena rasanya yang lezat dan mudah menyajikannya. Jadi jangan heran jika pedagang sosis panggang mudah dijumpai di mal, hotel, kafe, terminal, sekolah, dan pinggir jalan.

Meskipun ditengarai mengalami pertumbuhan, harga daging olahan lokal masih lebih mahal ketimbang daging olahan impor. Hal ini disebabkan lantaran bahan baku seperti Mechanical Deboned Meat (MDM) lokal jauh lebih mahal. Harga MDM lokal sekitar Rp 16.245 per kg. Sedangkan harga MDM impor hanya sekitar Rp10.000 per kg. MDM adalah daging ayam yang melekat pada tulang kerongkongan dan tulang hasil sisa dari pembuatan dada dan paha tanpa tulang (boneless). MDM hanya dapat diperoleh dari pemisahan dengan mesin separator.

Tak hanya itu, dalam hal rasa (taste), daging olahan lokal juga masih kalah dengan daging olahan impor. “Daging olahan impor khususnya dari Malaysia, jauh lebih enak daripada daging olahan kita karena kandungan dagingnya lebih banyak,” ungkap Ketua Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (NAMPA) Ishana Mahisa, di kantornya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (7/12).

Daging olahan asal Malaysia sudah membanjiri pasar Indonesia sejak tahun 2012. Bahkan produk olahan daging impor dari Malaysia meningkat setiap tahun. Ini menunjukkan bahwa Malaysia merupakan negara yang sangat kompetitif sebagai produsen daging olahan. Menurut Ishana, Malaysia mampu berdaya saing lantaran dagingnya dari India.

Hingga detik ini, pemerintah Indonesia tidak berani impor sapi/kerbau dari India karena belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), sehingga sapi dari Autralia selalu menjadi pilihan. Padahal harga daging sapi 85 CL dari India lebih murah sekitar Rp43.000 per kg, sedangkan 85 CL dari Australia kisaran Rp 66.000 – Rp 69.000 per kg. Sebagian besar jenis daging yang dibutuhkan oleh indsutri pengolahan adalah jenis 85 CL (tetelan).


Ishana mengatakan, jika pemerintah melakukan pembatasan terhadap industri dalam memenuhi kebutuhan bahan baku, berdaya saing dalam MEA hanyalah mimpi belaka. Ia menilai, risiko penyakit PMK dapat dicegah. “Sapi yang didatangkan dari India diperiksa oleh dokter hewan pada waku di karantina. Lalu diotopsi untuk mengetahui adanya penyakit. Setelah bebas penyakit, kemudian masuk proses pelayuan, dan dibekukan,” ujarnya.

Oleh sebab itu, industri pengolahan daging berharap kepada pemerintah agar segera membebaskan impor sapi asal India agar industri pengolahan daging bisa berdaya saing. Jika bahan baku industri daging dapat lebih murah maka harga daging olahan lokal dapat bersaing. Daging merupakan kompsisi tebresar (50-55 persen) yang dibutukan oleh industri pengolahan daging.

Selama ini, untuk menyiasati mahalnya daging, beberapa industri memberi tepung (tapioka) dengan porsi besar ketimbang daging sehingga rasanya kurang nikmat. Hal ini terpaksa dilakukan karena harga daging olahan impor jauh lebih murah. Tak hanya itu, sapi jenis potongan sekunder (secondary cut) dari India juga sekitar Rp 50.000 per kg, sedangkan di Indoneisa mencapai Rp 80.000 per kg.

Diakui Ishana, industri pengolahan daging tahun 2016 masih berkembang seiring pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk Indonesia yang besar sekitar 250 juta jiwa (40 persen ASEAN) menjadi pasar yang menarik. Namun jumlah penduduk Indonesia yang besar ini bukanlah konsumen yang loyal. Dengan bahasa lebih sederhana, masyarakat Indonesia pada umumnya senang gonta-ganti produk apalagi jika produk tersebut murah dan berkualitas. Ke depan masyarakat Indonesia perlu menjadi konsumen loyal sebagaimana sebagian besar orang Jepang yang nasionalis, cinta produk lokal. Tentu, industri pengolahan daging Indonesia harus menghasilkan daging yang berkualitas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun