Mohon tunggu...
Faisal Reza Pardede
Faisal Reza Pardede Mohon Tunggu... -

Anak lembah Sibualbuali yang mengidolakan konseptor Marsipature Hutana Be, Almarhum Mayjend. H. Raja Inal Siregar ( si anak kota berhati desa ) yang bercita - cita suatu saat bisa seperti beliau dalam memajukan daerah.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ketika Sejarah dan UU Diabaikan di Tapanuli Selatan

14 Januari 2010   09:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:28 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ibukota Sipirok Untuk Masyarakat Tapanuli Selatan

mesjid raya sipirok

Tujuan pemekaran merupakan suatu upaya percepatan pembangunan yang berorientasi kepada pelayanan publik yang mudah, dekat, nyata bisa dirasakan masyarakat yang bertujuan mensejahterakan serta memakmurkan masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar tersebut berdasarkan kajian, potensi, dan uji kelayakan dalam pemekaran daerah, pemerintah pusat melalui suatu ketetapan UU no 37 dan no 38 Tahun 2007 memekarkan Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi 3 bagian yang terdiri Padang Lawas, Padang Lawas Utara, dan Kabupaten Tapanuli Selatan sendiri sebagai kabupaten induk yang beribukota di Sipirok. Akan tetapi 23 bulan sejak UU tersebut ditetapkan ibukota sekaligus Pusat Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan tetap berada di Padangsidimpuan, artinya dibandingkan Padang Lawas dan Padang Lawas Utara tentu sangat ketinggalan dan terbelakang. . Apabila Paluta dan Palas sudah bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mulai membangun infrastruktur pemerintahan di wilayahnya sendiri, Tapanuli Selatan yang justru sebagai ibu dari kabupaten baru tersebut masih menumpang di rumah tangga Pemerintah Kotamadya Padangsidimpuan. Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat Tapanuli Selatan, potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan efek dari penempatan pusat pemerintahan di wilayah sendiri tidak bisa dirasakan masyarakat. Terkait hal tersebut di atas ditinjau dari perkembangan tentang perpindahan ibukota selama ini pada dasarnya Bupati Tapanuli Selatan tidak mempunyai niat yang serius dalam perpindahan Ibukota Tapanuli Selatan. Bahkan secara terbuka Ongku P Hasibuan sebagai Bupati Tapanuli Selatan malah ingin memindahkan pusat pemerintahan ke Desa Tolang / Maragordong dari Sipirok, kenyataan ini merupakan pembangkangan terhadap UU yang secara yuridis Sipirok telah defenitif dan sah menjadi ibukota tanpa bisa ditafsirkan secara sepihak oleh siapapun termasuk Bupati Tapanuli Selatan.

Berbagai alasan yang dikemukakan oleh bupati tentu harus disertai dengan pertimbangan yang mempunyai rasionalitas, bukan mengada – ada dengan menyebutkan Sipirok rawan gempa dasyat dalam kurun waktu sekali dalam 30 tahun karena berada tepat di atas Patahan Semangko, secara geografis Sipirok tidak sentralistik dari kecamatan terjauh di Tapanuli Selatan, tinjauan dari ilmu planologi tidak memungkinkan karena daerahnya berbukit, kemudian secara hidrologi juga tidak memungkinkan untuk perkantoran seluas 275 Ha. Terkadang saya tersenyum sekaligus sedih terhadap bupati yang juga saya pilih ini pada Pilkada Tapsel 2005 silam, saya berpikir Pak Bupati ini sedang tidak berpidato di depan ibu – ibu pengajian ataupun dihadapan peserta safari Jum’at yang sering dilakukannya dimana mereka pada umumnya tidak akan memikirkan secara detail yang disampaikan oleh bupati. Tetapi banyak intelektual maupun cendikiawan Tapanuli Selatan memperhatikan perkembangan ibukota ini dan tentu fakta – fakta yang diberikan oleh bupati tersebut seharusnya disertai kajian yang mendalam dari pihak terkait karena ditinjau dengan fakta dilapangan saat ini sangat bertolak belakang, sebagai salah satu contoh bupati mengatakan Sipirok tidak sentralistik, padahal kalau kita melihat peta Tapanuli Selatan yang memanjang dari utara ke selatan Sipirok berada di tengah. Selanjutnya Fakta keadaan air lebih memungkinkan di Tolang daripada Sipirok juga sangat kontras karena Sipirok sendiri mempunyai sumber air yang berlimpah dari Gunung Sibualbuali, sedangkan tolang justru sangat minim..

Berdasarkan fakta tersebut di atas disertai beberapa pernyataan bupati mengenai perpindahan dan pertapakan ibukota seperti pada 11 Februari 2009 kemarin di Aula Kenanga Sekretariat Bupati Tapanuli Selatan yang mengatakan “Pelanggaran terhadap UU no 37 Tahun 2007 tidak mempunyai sanksi apapun karena bersifat pengaturan saja”.. Sungguh ironis memang, pernyataan seorang pejabat negara yang seharusnya menjadi tauladan bagi masyarakat dalam menjunjung dan penegakan hukum. Padahal seorang pejabat negara disumpah untuk taat pada perundang – undangan yang berlaku seperti yang diucapkannya saat dilantik. Rasa kecewa mendalam masyarakat Tapanuli Selatan kepada bupati yang tidak amanah terhadap UU dan dengan nyata telah merugikan masyarakat. Percepatan pembangunan serta pelayanan masyarakat untuk memakmurkan masyarakat sebagaimana tujuan pemekaran diabaikan oleh ambisi pribadi bupati yang tidak mempunyai kerangka kerja serta wujud nyata menjalankan amanah untuk rakyat.

Rencana Umum Tata Ruang Kota ( RUTRK ) Sipirok

Secara geografis Sipirok berada ± 900 Meter diatas permukaan laut dengan luas wilayah 53.599 Ha yang terdiri dari 95 desa dan 5 kelurahan sebelum penggabungan desa. Jumlah penduduk pada saat ini adalah 33.038 jiwa dengan 6.851 rumah tangga, artinya tingkat kepadatan penduduk sekitar 61,64 jiwa/km². Sesuai dengan rencana Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan Kota Sipirok akan dikembangkan sebagai kota jasa dan perdagangan dan wilayah sekitarnya dikembangkan menjadi beberapa blok seperti pemerintahan, pendidikan, pariwisata dan sebagainya seperti yang tertuang dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Sipirok tahun 2006. Namun secara tiba – tiba pada pertengahan tahun 2008 bupati meluncurkan ide membangun kota baru di sekitar Desa Tolang / Kawasan Maragordong dengan luas 275 Ha dimana bupati berencana akan membangun Pusat Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan dengan sistem terpadu pelayanan satu atap baik instansi horizontal maupun instansi vertikal yang dilengkapi dengan pusat bisnis dan pertokoan, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan sarana pendukung seperti lapangan golf mini dan taman rekreasi. Untuk mendukung rencana tersebut dituangkan lagi pada Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Sipirok tahun 2007. Dengan kenyataan dan fakta tersebut di atas merupakan indikasi tentang ketidakpatuhan terhadap UU no 37 Tahun 2007 dan memang hingga saat ini laporan akhir RUTRK Sipirok belum diajukan ke DPRD sebagai Ranperda untuk dibahas dan ditetapkan sebagai Peraturan Daerah. Hal tersebut sengaja diulur karena dalam laporan akhir RUTRK Sipirok terimplikasi yang dimaksud dengan Sipirok sebagai ibukota berada dalam radius 9 Km, sehingga keberadaan Desa Tolang / Kawasan Maragordong sebagai lokasi pusat pemerintahan yang direncanakan sebagaimana yang diajukan bupati dalam RDTRK Sipirok bertentangan dengan laporan akhir RUTRK Sipirok yang pada kenyataannya telah ditandatangani oleh bupati sendiri. Pengawasan penataan ruang tentunya melibatkan masyarakat, akan tetapi melihat sikap arogansi serta tidak adanya transparansi pemerintah daerah terutama ketua Bappeda Tapanuli Selatan yang mempertanyakan keberadaan RUTRK Sipirok dimaksud tentu tidak berpedoman kepada UU no 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Hak, kewajiban, dan peran masyarakat diabaikan begitu saja terutama pasal 60 dan 65 dari UU tersebut yang mengakibatkan kepentingan masyarakat banyak didahulukan oleh sikap ambisius bupati dengan rencana – rencana yang tidak menyentuh kepada rakyatnya. Penyebabnya adalah jika meninjau kondisi Kota Sipirok yang sekarang masih memerlukan perbaikan disegala aspek dan masih memerlukan pengembangan kota dengan infrastruktur yang memadai, rencana bupati di Desa Tolang / Kawasan Maragordong dengan berbagai fasilitasnya tentu bukan sistematika prioritas pada saat ini. Kota Sipirok sendiri bila diakumulasi hanya sekitar 100 Ha, artinya dengan rencana bupati membangun kota baru seluas 275 Ha di kawasan tersebut menimbulkan pertanyaan rakyat atau masyarakat manakah yang akan dilayani. Fungsi pelayanan yang seharusnya dioptimalkan dengan memangkas jarak pelayanan justru dengan rencana tersebut menjadi berbanding terbalik. Bila bupati masih berkeyakinan penuh mengembangkan Kota Sipirok sampai ke perbatasan Kecamatan Angkola Timur dengan Kecamatan Sipirok memang merupakan suatu pandangan yang visioner dan dianggap sebagai ide yang sangat hebat, akan tetapi ingatlah Kota Sipirok sendiri masih kota terbelakang, sarana masih minim, artinya marilah membangun kota berdasarkan embrionya karena Kota Sipirok belum seperti Kuala Lumpur sebagai ibukota dari negara Malaysia tapi pusat pemerintahan di Johor Bahru. Konsep penataan ruang Sipirok sebelumnya juga sudah ada, dari berbagai konsep tata ruang Kota Sipirok belum pernah dibuat pengembangannya sampai ke wilayah Maragordong dengan kenyataan lebih dekat ke salah satu ibukota kecamatan di Padang Lawas Utara, Aek Godang. Dengan kerendahan hati dan demi tercapainya tujuan pemekaran tidak seharusnya bupati melanjutkan rencana tersebut, pertahankan konsep tata ruang sebelumnya demi kepentingan seluruh masyarakat Tapanuli Selatan. Sejarah Sipirok dan Implikasinya Terhadap UU no 37 Tahun 2007 Sipirok terbentuk dari migrasi marga Siregar dari Muara Siregar di pinggiran Danau Toba pada abad 15 atau sekitar tahun 1500an. Struktur pemerintahan dan pembagian kekuasaan mulai dibentuk pada tahun 1550 di Tambatan Gaja disekitar Aek Siguti sampai Tor Halihi, hal ini ditandai dengan dibaginya 3 tiga sitem kewilayahan sekaligus kekuasaan berdasarkan keturunan Oppu Palti Raja Napa Napa ni Sibualbuali yaitu Sayur Matua ke Rante Omas sekitar Parau Sorat sekarang dan dikenal dengan Kuria Parau Sorat, Sutan Parlindungan ke Hasona sekarang terkenal dengan Kuria Baringin, dan yang terakhir mendiami Tambatan Gaja dan dikenal dengan Kuria Sipirok Godang (Sipirok Pardomuan, Sutan Pangurabaan 1925). Dari sistem kekuasaan tersebut mempunyai wilayah masing – masing sehingga tercipta masyarakat karakteristik yang sangat mengahargai satu sama lain, bersahabat, gotong royong dan memegang teguh prinsip Dalihan Na Tolu dalam kerangka Haruaya Mardomu Bulung sebagai simbol dari 3 unsur kekuasaan wilayah tersebut. Atas dasar menjaga kerukunan dalam mengantisipasi permasalahan di kemudian hari tepat di Tor Pamelean (Kantor Camat sekarang) ditanam 3 pohon Beringin sebagai simbol yang mempersatukan 3 kekuasaan. Maka setiap permasalahan yang timbul pada saat itu diselesaikan dalam sidang dibawah pohon Beringin tersebut yang dikenal dengan Bona ni Asar. Tempat tersebut menjadi suatu mahkamah dalam penegakan hukum dan yang menjadi hakim adalah Datu Nahurnuk didampingi oleh raja dari masing – masing kuria. Berdasarkan keadaan tersebut daerah ini makin hari bertambah ramai sekaligus menjadi pusat pertemuan baik untuk berdagang, pendidikan adat, maupun tempat persinggahan para saudagar di Tapanuli pada saat itu. Setelah berkembang menjadi kota penting di Tapanuli pada saat itu lebih dikenal dengan nama “Sipirdot” karena sekitar Tor Pamelean banyak ditumbuhi Pohon Pirdot sehingga masyarakat menyebutnya Sipirok sampai dengan sekarang. Pada tahun 1720 pemerintahan Bonjol mulai memasuki wilayah Sipirok dengan menempatkan Bondanalolot Nasution di Parau Sorat Sipirok yang bertugas mencari kuda dari wilayah Toba dan Humbang untuk keperluan tentara Padri di Minangkabau. Dari informasi yang diterima pemerintah Bonjol dari Bondanalolot Nasution tersiar kabar bahwa Sipirok merupakan kota penting di Tapanuli dengan akses sampai ke wiliyah Toba. Maka secara perlahan Bonjol terus memberikan pengaruhnya di Sipirok termasuk penyiaran agama Islam hingga pada tahun 1816 tentara Bonjol yang berkedudukan di Benteng Rao merebut Sipirok sekaligus menghindari penguasaan yang akan dilakukan oleh Inggris dari Tapian Nauli di Teluk Sibolga.. Setelah berhasil menguasai Sipirok tentara Bonjol yang dipimpin Tuanku Rao diangkat sebagai Gubernur Militer Padri, headquartereing di Sipirok dengan pusat pemerintahan tepat berada di Tor Pamelean dan simbol – simbol kebudayaan yang ada di tempat tersebut langsung di buang dan dihancurkan termasuk batu megalit sebagai tempat duduk raja dan Datu Nahurnuk karena dianggap simbol sesat dan berhala. Tepat pada tahun 1818 Tuanku Rao menyerang tanah Batak dan diberangkatkan dari Tor Pamelean sehingga Sipirok semakin strategis dan termasuk sebagai tempat menetapnya sebagian tentara Bonjol yang berjumlah 3.000 unit kavaleri (Buku Tuanku Rao). Berdasarkan rangkaian sejarah di atas jelas diketahui Sipirok merupakan kota tua dengan segala kekayaan peradaban yang masih harus dikembangkan. Rencana Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan memindahkan Sipirok ke Tolang tentu tidak mempunyai sumber acuan yang jelas. Dari fakta sejarah di atas yang menjadi pusat Kota Sipirok adalah Tor Pamelean tepat di Kantor Camat sekarang dan sekaligus titik nol Kota Sipirok. Berbagai buku tentang sejarah Sipirok tidak satupun yang mengatakan Tolang / Maragordong bagian dari Sipirok karena yang menjadi batas terakhir pada jaman dahulu sekalipun adalah Desa Saba Tarutung yang berada di wiliyah situmba dan ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan sebagaimana terangkum dalam RUTRK Sipirok dengan pengembangan kota dalam radius 9 Km. Oleh karena itu pembangkangan terhadap UU no 37 Tahun 2007 yang dilakukan oleh Bupati Tapanuli selatan juga merupakan suatu bentuk penistaan sejarah para leluhur yang merupakan kekayaan budaya masyarakat Tapanuli selatan. Harapan dan Penutup Sejak tentara Bonjol menghancurkan salah satu situs kebudayaan Sipirok pada tahun 1816 masyarakat Sipirok tetap tidak terlepas dari kebudayaannya. Masyarakat Sipirok berkembang menjadi pribadi yang tangguh dengan masuknya agama Islam dan Kristen silih berganti, tingkat sumber daya manusia yang ada semakin maju ditandai berdirinya sekolah pada tahun 1862. Guru yang mengajar pada saat itu adalah Mangasa, Dja Rendo, Dja Lembang Goenoeng Doeli, Soetan Soaloon, Soetan Mangantar, Baginda Soetan, Dja Gorga, dan Soetan Endar Bongsoe yang merupakan alumni dari sekolah yang ada di Jawa pada saat itu seperti HKS Bandoeng, HBS Bandoeng, dan Stovia. Setelah tahun 1900 Sipirok makin berkembang dan merupakan salah satu kota yang dianggap paling besar diwilayah Tapanuli dan kejayaan tersebut membuat tingkat mobilitas serta penyebaran orang Sipirok di seluruh Andalas, Jawa, Celebes, dan Borneo sangat banyak karena pemerintahan Belanda menganggap orang Sipirok memiliki sumber daya manusia yang lebih baik untuk dijadikan sebagai pegawai Belanda. Berdasarkan hal tersebut Kota Sipirok selain kota pendidikan tumbuh menjadi kota jasa dengan berdirinya jasa transportasi pertama di Pulau Sumatera yaitu Sibualbuali pada tahun 1937. Kota Sipirok yang ada sekarang merupakan akumulasi sejarah panjang dari jaman ke jaman, bila Sipirok dianggap ada sejak tahun 1720 (sejak Pemerintah Bonjol menempatkan wakilnya di Sipirok) maka usia Kota Sipirok saat ini adalah 288 tahun. Ide membangun kota baru sebagai ibukota dari Tapanuli Selatan tentu sangat merugikan masyarakat, bahkan dengan eskalasi pertumbuhan dua kali lebih cepat dari kota normal maka diperlukan waktu 144 tahun lagi agar pusat pemerintahan di kota baru tersebut sama dengan Kota Sipirok saat ini. Dan tidak bisa dibayangkan berapa banyak biaya harus diperlukan membangun kota baru, pembangunan jaringan pipa air, jaringan listrik, infrastruktur transportasi, pendidikan, fasilitas umum, fasilitas sosial tentu tidak bisa diciptakan secara instan. Beberapa contoh pembangunan pusat pemerintahan baru di Indonesia pada umunya gagal seperti ibukota Banggai Kepulauan ke Salakan, pemindahan ibukota Tanggerang ke Tigaraksa gagal total karena mamfaatnya tidak maksimal dan terjadi pembengkakan biaya. Oleh sebab itu tidak ada satupun alasan bupati memindahkan ibukota dari Sipirok ke Desa Tolang / Kawasan Maragordong. Selama ini masyarakat Tapanuli Selatan sudah terlalu banyak dirugikan dan dengan kerendahan hati meminta kepada bupati tetap mengacu kepada UU no 37 Tahun 2007 dan ketentuan yang lain yang sebenarnya sudah mengikat. Untuk lahan pertapakan sebagaimana sering dikeluhkan bupati sebenarnya sudah berungkali ditawarkan, bahkan beberapa bulan yang lewat melalui Ir. Abdul Rahim Siregar (mantan Pjs Bupati Tapanuli Selatan) atas nama Badan Pengkajian Pembangunan Sipirok (BPPS) menawarkan langsung kepada Ir. Riswan Daulay Ketua Bappeda Tapanuli Selatan lahan seluas 50 Ha (sertifikat hak milik) dan dijawab akan disampaikan kepada bupati. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan diharapkan lebih pro aktif dengan mengajak masyarakat Tapanuli Selatan duduk bersama membahas persoalan ini, termasuk juga DPRD Tapanuli selatan karena selama ini tidak terlihat koordinasi yang baik antara lembaga tersebut. Dengan begitu semoga cita – cita dari pemekaran terwujud dengan baik. Horas ! Penulis adalah : Faisal Reza Pardede Ketua DPP Naposo Nauli Bulung Napa Napa ni Sibualbuali Sibualbuali Sipirok (NNBS)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun