Mohon tunggu...
Fajar Perada
Fajar Perada Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang jurnalis independen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pernah bekerja di perusahaan surat kabar di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bukti Komitmen Jokowi dalam Pengakuan Hutan Adat

25 Maret 2019   12:49 Diperbarui: 25 Maret 2019   13:17 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.republika.co.id/

Sejak putusan Mahkamah Konstitusi No 35 Tahun 2012 yang mengakui bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara, maka Pemerintahan Jokowi-JK terus memberikan pengakuan pada usulan hutan adat. Tercatat setidaknya telah ada 9 hutan adat yang diakui Pemerintah dengan fungsi yang sama seperti sebelumnya, yaitu hutan adat Kamato Kajang (Sulawesi Selatan), Serampas (Jambi), Posangke (Sulawesi Tengah), Bukit Sembahyang dan Paduan Gelanggang (Jambi), Bukit Tinggai (Jambi), Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (Jambi), Tigo Luhah Kemantan (Jambi), dan Tombak Haminjon/Kemenyan (Sumatera Utara).

Keberadaan hutan adat juga dipayungi UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Lebih jauh keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, diakui dan dihormati keberadaannya sebagai hak asasi manusia sesuai prinsip NKRI, dijamin dalam UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28 huruf I ayat (3).

Komitmen yang telah berjalan ini memang masih mendapat kritikan dari banyak pihak. Sebagian mengatakan bahwa jumlah dan luas hutan adat yang telah diakui masih jauh dari target yang diharapkan. Namun kenyataannya, warisan kekacauan di masa Pemerintahan masa lalu dalam pengelolaan hutan dan pengakuan hutan adat memang tidak mudah diurai.

Untuk itu, dalam sambutannya tentang perhutanan sosial untuk masyarakat adat, masyarakat ulayat, petani dan nelayan, Jokowi menegaskannya pada Februari lalu "Saya hanya menyampaikan, pembagian seperti ini tidak dilakukan selain di masa pemerintahan saya".

Pada masa lalu, Pemerintah telah menetapkan banyak kawasan hutan tanpa melalui persetujuan masyarakat. Berawal dari Pemerintahan Belanda yang telah menetapkan banyak kawasan konservasi berupa cagar alam, suaka margasatwa dan hutan lindung di seluruh Indonesia. Pada masa pemerintahan orde baru dikuatkan lagi dengan penetapan berbagai tipe hutan sesuai peruntukannya. Hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat dikonversi, termasuk taman nasional dan taman wisata alam yang dikategorikan sebagai hutan konservasi.

Penetapan berbagai tipe hutan produksi pada awal era 1981-1984 sebenarnya banyak yang kemudian hanya diperuntukkan bagi kroni-kroninya. Berbagai ijin hak pengusahaan hutan diobral kepada orang dekat diktator orde baru untuk semata-mata dipanen kayunya, tanpa ada upaya untuk merehabilitasinya. Milyaran uang berhasil dikeruk dari dalam hutan yang hanya memperkaya segelintir orang di dekat lingkar kekuasaan. Masyarakat pinggir hutan dan masyarakat adat hanya bisa melihat kayu-kayu gelondongan keluar dari hutan setiap harinya tanpa mendapatkan bagian. Tak ada yang berani melawan karena harus berhadapan dengan aparat bersenjata pada masa itu.

Hingga kemudian pada masa runtuhnya orde baru, masyarakat merasakan euforianya dengan menjarah hutan sebagaimana dilakukan perusahaan di masa lalu. Kayu-kayu besar yang tersisa dihutan ditebang dan langsung dijual. Sebagian lainnya disimpan dengan menguburnya di sungai atau bawah tanah, yang pada suatu saat bilamana keadaan telah membaik, akan dijualnya. Akibatnya, di beberapa tempat terjadi bentrokan dengan aparat yang menimbulkan luka dan trauma.

Memasuki era reformasi, masyarakat masih saja belum mendapatkan kepastian hukum bagaimana mereka dapat memperoleh haknya, termasuk hutan adat. Pemerintah pada masa itu justru lebih suka membagi-bagikan hutannya untuk pengusaha besar. Akibatnya, lagi-lagi kecemburuan muncul di kalangan masyarakat karena mereka belum juga mendapatkan haknya yang adil. Hingga kemudian pada tahun 2012, Mahkamah konstitusi, Mahfud MD, mengakui adanya hutan adat.

Namun meskipun telah ada keputusan MK, pemerintah pada masa itu belum juga mau mengakui adanya hutan adat. Semua dibiarkan mengambang, tak ada kejelasan. Namun masih saja membagikan kawasan hutan kepada pengusaha besar.

Hingga akhirnya Pemerintahan Jokowi-JK mau membuat mekanisme pengakuan hutan adat, yang terlepas dari hutan negara. Selanjutnya, usulan pengakuan hutan adat terus muncul. Mekanismenya harus terlebih dahulu ada pengakuan dari pemerintah daerah di tingkat kabupaten dan provinsi.

Pada rapat koordinasi nasional percepatan penetapan hutan adat di Jakarta, tahun 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mentargetkan pengakuan hutan adat seluas 4,38 juta hektar, yang masuk dalam skema perhutanan sosial. Tujuannya jelas, terjadi pemerataan ekonomi melalui pemanfaatan hutan, mengurangi kesenjangaan sosial, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun