Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Becak Spesial dan Loper Koran

3 Juli 2016   00:56 Diperbarui: 3 Juli 2016   21:13 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Amrullah Achmad

Hari ini, tenggat akhir daftar ulang. Jika tidak datang untuk menjalani prosesi itu, maka namaku pasti terancam hilang dari daftar murid baru di SMP Negeri 33 Surabaya. Bapak sedang sakit keras, sementara ibu harus menggantikan posisi bapak untuk bekerja, menjaga bengkel tambal ban di ruas Jalan Raya Kupang Indah Surabaya.

Bengkel kaki lima itu menjadi penopang utama untuk menjaga agar dapur di rumah tetap berasap. Ibu berubah menjadi wonder women keluarga. Dengan tangkas ibu mampu menambal ban mobil yang bocor, dan pekerjaan lain yang lazimnya dilakukan oleh laki-laki.

Bapak tak bisa lagi mencari rupiah untuk menarik becak, sembari jadi penjaga malam sebuah perumahan di kawasan Kupang Indah Surabaya. Penyakit liver dan ginjal yang sudah lama tak pernah dihiraukan, kini seolah menjadi monster yang tiba-tiba bangun dan menggerogoti kesehatan bapak. Terlihat bola mata bapak mulai menguning, begitu juga telapak tangan tak lagi putih, tapi mulai pucat kekuningan. Itulah kenapa tak sedikit yang menyebut penyakit bapak ini sebagai sakit kuning.  

Agak ragu aku membangunkan bapak yang sedang terbaring. Tapi aku juga tak mau menghapus cita-cita untuk masuk ke sekolah negeri. Ini adalah sekolah yang aku impikan sebelumnya, untuk menghindari biaya mahal jika harus masuk sekolah swasta.

“Pak, hari ini aku terakhir daftar ulang. Siapa yang antar ke sekolah?” tanyaku mencoba menyentuh kaki bapak di kamar. Lebih tepatnya hanya ruang tengah, jadi satu dengan ruang keluarga. Di situ tempat kami tidur juga untuk menonton televisi hitam putih kala itu.

“Ya udah, bapak antar…” ujarnya sembari menata tubuhnya untuk bangkit. Hanya cuci muka dan berganti pakaian, aku kemudian disuruh meminta tolong dengan kawan bapak, sesama tukang becak yang mangkal di ujung gang kampung Ngesong Dukung Kupang, hanya 50-an meter dari tempat tinggalku.

Aku tahu, bapak menahan rasa sakitnya. Tak sampai hati rasanya meminta bapak seperti ini. Tapi aku tak bisa daftar ulang sendirian. Syaratnya jelas, harus dihadiri orang tua atau wali murid. Di atas becak, terdengar helaan nafas bapak beberapa kali cukup berat. Tatapannya kosong ke arah jalanan, namun tangan kirinya mendekap hangat pundakku. Sesekali dia melirikku sembari tersenyum. Aku tahu, itu senyum yang sangat sulit. Sepanjang jalan, aku tak banyak bicara, kedua tanganku mendekap semua berkas daftar ulang dengan seksama.

Sampai di sekolah, tanganku tak pernah lepas dari gandengan bapak. Seketika perasaan bangga menyelinap di dada. Rasa itu bahkan naik ke ubun-ubun hingga menyebar ke seluruh tubuh. Bangga sudah pasti. Sebab di kampungku, hanya tiga orang yang bisa masuk sekolah negeri ini.

Usai daftar ulang, bapak kembali tersenyum menatap wajahku. Kali ini senyumnya terasa lebih hangat. Aku tahu, uang daftar ulang itu bagi bapak tidaklah murah. Mungkin bagi mereka yang kerja kantoran uang daftar ulang itu tak seberapa. Tapi bagi bapak, itu hasil menyisihkan uang dari menarik becak, sekaligus jaga malam yang tak seberapa. Juga dari bengkel tambal ban yang lebih banyak dijaga ibu.

Hari pertama masuk sekolah di SMP 33 Surabaya, masih seminggu lagi. Penyakit yang diderita bapak tak bisa lagi diajak kompromi. Aku pun mengisi waktu dengan membantu ibu, ikut menambal ban atau melayani pengendara motor yang membeli bensin eceran dalam kemasan botol.

Akhirnya, tiba juga saatnya. Senin itu adalah hari pertama sekolah. Tapi bukan pagi hari. Aku masuk pukul 13.00 WIB, siang hari. Ya, sekolah itu masih baru, sehingga ruang kelasnya terbatas. Murid baru harus masuk siang hari. Pagi itu, baru pukul 06.00 WIB, bapak yang tiba-tiba terlihat sehat, membangunkan aku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun