Terlalu panjang diceritakan jika menelisik Islam dan etnis Tionghoa di Indonesia.
Singkatnya, jika melihat Jalur Sutra, teori dari negeri Tiongkok tak dapat luput begitu saja dikesampingkan. Teori tersebut menyatakan, perantau Tiongkok lah yang membawa Islam ke Indonesia. Para perantau ini telah mendapat pengaruh dari Arab. Sebagaimana disebutkan bahwa banyak permukiman Muslim yang bermunculan di negeri itu.Â
Menurut Tan Ta Sen, sejarah Islam di Indonesia sangat berkaitan erat, bahkan berasal dari Champa. Berlokasi di Semenanjung Indocina, Champa merupakan salah satu wilayah taklukkan Cina sejak era Dinasti Tang. Di tengah pengaruh konfusian dan Hindu, Champa disinyalir mendapat pengaruh Islam dari pedagang Arab. Dugaan tersebut datang setelah ditemukannya dua batu nisan Muslim di wilayah Phan-rang, Champa selatan.
M Ikhsan Tanggo dkk dalam "Menghidupkan kembali Jalur Sutra Baru" menuturkan, agama Islam telah masuk Tiongkok sejak abad ketujuh melalui Jalur Sutra. Demikian pula, masuknya Tionghoa ke Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 Masehi dengan banyaknya bukti arkeologis. Dengan demikian, penyebaran Islam di Indonesia tak hanya dilakukan oleh orang-orang Arab dan Persia melalui Laut India, tapi juga dilakukan Muslimin dari daratan China.
Namun Alfianda menyebut, ada beberapa catatan penting perlu diketahui bahwa pada 1950, Haji Abdul Karim Oei Tjing Hien, kelahiran Bengkulu, sejak 1930 telah menjadi Konsul Muhamadiyah untuk daerah Sumatera Selatan. Lalu ia bersama Kho Guan Tjin di Jakarta dan mengembangkan Persatuan Islam Tionghoa (PIT). Pada tahun 1953, mendirikan organisasi dakwah pula dengan nama Persatuan Muslim Tionghoa (PMT), di Jakarta.
Pada tahun 1954, kedua organisasi dakwah itu difusikan. Namun perjalanannya, organisasi ini bubar karena berbeda pandangan menjelang pemilihan umum pertama tahun 1955. Lantas, pada awal 1972, Kejaksaan Agung RI - dengan alasan bahwa agama Islam adalah agama universal, - menganggap PITI tidak selayaknya ada. Tidak ada Islam Tionghoa atau Islam-Islam lainnya. Maka pada 15 Desember 1972, Dewan Pimpinan Pusat PITI memutuskan untuk melakukan perubahan organisasi menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.
Dari 238 juta jiwa penduduk Indonesia, diperkirakan 15 persen di antaranya adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, dan sebanyak lima persen dari 15 persen tersebut adalah Muslim.
Bapak Proklamator RI Soekarno sejatinya sudah merasakan bahwa isu pribumi, asli atau tidak dalam bernegara ke depan akan menjadi bahan pertentangan. Bahkan bisa "digoreng" dibenturkan sehingga dapat berpotensi mengancam integrasi bangsa.