Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Etnis Tionghoa sebagai Pembawa Islam dan "Gorengan Politik" [Bagian II]

28 November 2017   05:11 Diperbarui: 28 November 2017   11:05 3120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung kantor Hakka di kawasan Batu Ceper, Jakarta. Foto | Dokpri

Gambaran singkat perjalanan Cheng Ho di Museum Cheng Ho, Jakarta. Foto | Dokpri.
Gambaran singkat perjalanan Cheng Ho di Museum Cheng Ho, Jakarta. Foto | Dokpri.
Museum Cheng Ho di kawasan TMII, Jakarta. Foto | Dokpri
Museum Cheng Ho di kawasan TMII, Jakarta. Foto | Dokpri
Jalur Sutra, jalur maritim penting 

Terlalu panjang diceritakan jika menelisik Islam dan etnis Tionghoa di Indonesia.

Singkatnya, jika melihat Jalur Sutra, teori dari negeri Tiongkok tak dapat luput begitu saja dikesampingkan. Teori tersebut menyatakan, perantau Tiongkok lah yang membawa Islam ke Indonesia. Para perantau ini telah mendapat pengaruh dari Arab. Sebagaimana disebutkan bahwa banyak permukiman Muslim yang bermunculan di negeri itu. 

Menurut Tan Ta Sen, sejarah Islam di Indonesia sangat berkaitan erat, bahkan berasal dari Champa. Berlokasi di Semenanjung Indocina, Champa merupakan salah satu wilayah taklukkan Cina sejak era Dinasti Tang. Di tengah pengaruh konfusian dan Hindu, Champa disinyalir mendapat pengaruh Islam dari pedagang Arab. Dugaan tersebut datang setelah ditemukannya dua batu nisan Muslim di wilayah Phan-rang, Champa selatan.

M Ikhsan Tanggo dkk dalam "Menghidupkan kembali Jalur Sutra Baru" menuturkan, agama Islam telah masuk Tiongkok sejak abad ketujuh melalui Jalur Sutra. Demikian pula, masuknya Tionghoa ke Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 Masehi dengan banyaknya bukti arkeologis. Dengan demikian, penyebaran Islam di Indonesia tak hanya dilakukan oleh orang-orang Arab dan Persia melalui Laut India, tapi juga dilakukan Muslimin dari daratan China.

Namun Alfianda menyebut, ada beberapa catatan penting perlu diketahui bahwa pada 1950, Haji Abdul Karim Oei Tjing Hien, kelahiran Bengkulu, sejak 1930 telah menjadi Konsul Muhamadiyah untuk daerah Sumatera Selatan. Lalu ia bersama Kho Guan Tjin di Jakarta dan mengembangkan Persatuan Islam Tionghoa (PIT). Pada tahun 1953, mendirikan organisasi dakwah pula dengan nama Persatuan Muslim Tionghoa (PMT), di Jakarta.

Pada tahun 1954, kedua organisasi dakwah itu difusikan. Namun perjalanannya, organisasi ini bubar karena berbeda pandangan menjelang pemilihan umum pertama tahun 1955. Lantas, pada awal 1972, Kejaksaan Agung RI - dengan alasan bahwa agama Islam adalah agama universal, - menganggap PITI tidak selayaknya ada. Tidak ada Islam Tionghoa atau Islam-Islam lainnya. Maka pada 15 Desember 1972, Dewan Pimpinan Pusat PITI memutuskan untuk melakukan perubahan organisasi menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.

Dari 238 juta jiwa penduduk Indonesia, diperkirakan 15 persen di antaranya adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, dan sebanyak lima persen dari 15 persen tersebut adalah Muslim.

Bung Karno dan cerita tentang wanita etnis Tionghoa. Foto | Dokpri.
Bung Karno dan cerita tentang wanita etnis Tionghoa. Foto | Dokpri.
Etnis Tionghoa sebagai ahli kunci tempo doeloe. Foto | Dokpri.
Etnis Tionghoa sebagai ahli kunci tempo doeloe. Foto | Dokpri.
Pertumbuhan Muslim Tionghoa di Indonesia semakin pesat, khususnya di Jakarta, Surabaya, dan Semarang, kata Wakil Ketua Bidang Kesra DPP Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Budijono, yang juga memiliki nama Nurul Fajar, di sela Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antar Pimpinan Pusat dan Daerah Intern Agama Islam di Pontianak, Kalbar. 

Bapak Proklamator RI Soekarno sejatinya sudah merasakan bahwa isu pribumi, asli atau tidak dalam bernegara ke depan akan menjadi bahan pertentangan. Bahkan bisa "digoreng" dibenturkan sehingga dapat berpotensi mengancam integrasi bangsa.

Gambaran etnis Tionghoa sebagai pekerja pertambangan di Nusantara. Foto | Dokpri.
Gambaran etnis Tionghoa sebagai pekerja pertambangan di Nusantara. Foto | Dokpri.
Coba perhatikan pidato Bung Karno pada tanggal 14 Maret di Istora Senayan, antara lain mengatakan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun