Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kawin Silang Ekonomi ala Muhajir Effendi

22 Februari 2020   03:33 Diperbarui: 22 Februari 2020   05:13 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ribut-ribut soal anjuran dan pituah (dari petuah, mengadopsi plesetan gaya maestro pelawak Asmuni yang melafalkan kata "menantu" dengan "minantu") mengingatkan saya saat pergi haji dulu. 

Saya setengah yakin tidak banyak umat muslim, meski sudah pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, yang mengetahui apa yang ada di ddalam Hijir Ismail, sebuah pasangan batu setinggi 50-an sentimeter berbentuk setengah lingkaran yang menempati salah satu sisi  bangunan ka'bah. 

Ketika melaksanakan ibadah tawaf berputar mengelilingi ka'bah sebanyak tujuh kali ke arah berlawanan dengan jarum jam, maka akan selalu melewati Hijir Ismail yang posisinya akan selalu berada di sebelah kiri dari pelaksana tawaf. 

Menjelang keberangkatan saya bersama istri ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 1997 lalu, saya tertarik dan membekali diri mengenai wawasan ibadah haji dengan membaca buku karya tulis Dr Syariati, cendekiawan muslim asal Iran, yang berjudul Haji. Secara garis besar isi buku tersebut merupakan kesan penulis sekaligus memberikan semacam pedoman bagaimana seharusnya sikap batin selama pelaksaan dan memaknai serta menghayati ibadah haji. 

Menurutnya, ibadah haji lebih merupakan perjalanan napak tilas yang harus direnungkan sejarahnya dan diresapi maknanya secara mendalam. 

Namun dari uraian buku tersebut salah satu yang paling menarik sekaligus mengejutkan --karena selama tujuh tahun lebih saya belajar agama Islam (1957) hingga membaca buku tersebut (1997) belum pernah mendengar -- diceritakan bahwa Hijir Ismail tersebut ternyata merupakan makam salah seorang istri Nabi Muhammad saw bernama Hindun, seorang janda tua yang kemudian mendapat julukan "Ummul Mukminin". 

Cerita tersebut ada hubungannya dengan topik yang sedang hangat dibicarakan, yakni anjuran dan petuah agar lelaki kaya menikahi perempuan miskin dalam rangka untuk ikut menanggulangi masalah kemiskinan. Tetapi sebelum ke sana, ada baiknya dilanjutkan sedikit soal istri Nabi saw "pendamping rumah Allah" tersebut dari perspektif Dr Syariati. 

Katanya, kalau manusia berkuasa pasti memperlihatkan kekuasaanya dengan cara mempertontonkan segala macam dan bentuk atribut kebesarannya. 

Tetapi Tuhan sebaliknya, Ia menunjukkan ke-Maha Kuasaan-Nya justru dengan memperlihatkan bangunan ka'bah yang bersahaja terbuat dari batu biasa sebagai rumahNya. 

Dan ini yang membuat jiwa tertunduk malu bahwa yang mendampingi bangunan ka'bah yang sederhana tersebut hanyalah seorang perempuan janda jauh dari kata rupawan --menurut versi Syariati merupakan perempuan berkulit hitam bekas budak hamba sahaya dari Abesinia-- sebagaimana layaknya raja yang berkuasa. 

Simak juga: Tuhan Tidak Malu

Dari perspektif lain, fakta bahwa salah seorang perempuan yang dinikahi Nabi saw sebagian besar adalah perempuan janda yang boleh dibilang jauh dari kata rupawan menggugurkan sekaligus menepis tudingan dan pandangan sinis (biasa dilontarkan oleh pihak yang memusuhi Islam dan Islam phobia dengan mendiskreditkan Nabi saw) tentang beristri banyak atau berpoligami Nabi saw sebagai pelampiasan nafsu libido belaka. 

Sebaliknya, pernikahan tersebut lebih dimaknai sebagai pembebasan (dari perbudakan, ketertindasan dan kemiskinan). 

Akan halnya imbauan dan petuah dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhajir Effendi agar lelaki kaya menikahi perempuan miskin. 

Semestinya ia tak perlu jengah lalu berkelit atau mengelak ketika ditanya wartawan seraya mengatakan bahwa pernyataannya itu hanyalah gurauan semata, kalau saja ia mengetahui (mungkin hanya lupa) tentang riwayat pernikahan Nabi saw dengan Ummul Mukminin tersebut. 

Bahkan harusnya diyakinkan kepada para lelaki kaya bahwa menikahi perempuan miskin merupakan sunnah Nabi saw, jika lelaki tersebut benar-benar mengaku Nabi saw sebagai imamnya, apalagi jika sudah pernah berziarah ke makam beliau. 

Pastinya lelaki tersebut akan mendapatkan syafaat di hari kiamat dan tinggall bertetangga dengan beliau di sorga kelak. Mana yang lebih dipilih? Kesenangan kehidupan di dunia atau kebahagiaan di akhirat untuk selamanya? 

Sebagaimana diingatkan Alquran QS 28:77 (Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan). 

Lagi pula sekiranya umat muslim mau dan mampu mengamalkan sebagai mukmin secara total, maka pastilah jumlah angka kemiskinan di negeri ini dapat menurun dan berkurang drastis, sebagaimana diamanatkan Alquran QS 107: 1-3.

Nah loo...siapa takut!! Siapkah dan mampukah umat muslim mewujudkannya? Adapun persyaratan 'kufu' atau sepadan seperti kerap dianjurkan dalam suatu pernikahan boleh saja diterapkan untuk perempuan lain, en toch sejauh ini persyaratan tersebut tidak menjamin terwujudnya sebuah pernikahan yang samawa (sakinah, mawaddah, wa rahmah). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun