Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pengaruh Perilaku Masyarakat terhadap Meledaknya Dollar AS

1 September 2018   19:08 Diperbarui: 2 September 2018   07:41 1140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(FOTO: KOMPAS / TOTOK WIJAYANTO)

Di tengah ramainya pagelaran Asian Games 2018, kita seperti terlena sehingga tidak sadar bila nilai tukar Dollar sudah sempat menembus angka 14.800 Rupiah. Bahkan dalam seminggu ini pergerakan Dollar semakin meningkat dari kisaran 14.600 menjadi 14.800 sebelum ditutup di angka 14.788 Rupiah. 

Riuh rendah berita Asian Games seperti meninabobokan kita dari ancaman krisis ekonomi yang bakal kembali melanda ketiga kalinya setelah 1998 dan 2008 seperti membentuk siklus sepuluh tahunan.

Kita selalu ngeles dengan mengatakan bahwa peningkatan nilai tukar Dollar akibat kebijakan perdagangan luar negeri Trump, kenaikan suku bunga The Fed atau Bank Sentral Federal AD, atau krisis di negara lain seperti Turki dan Venezuela serta sekarang ini menyusul Argentina. Padahal faktor dalam negeri juga sebenarnya signifikan namun tidak pernah disadari oleh para pengambil kebijakan.

Salah satu faktor dalam negeri yang mungkin berpengaruh terhadap kenaikan nilai mata uang selain keamanan dan kestabilan politik adalah perilaku kita sendiri, antara lain:

Fluktuasi Rupiah terhadap Dollar (Sumber: Tradingeconomics.com)
Fluktuasi Rupiah terhadap Dollar (Sumber: Tradingeconomics.com)
1. Perilaku Koruptif

Hampir di setiap OTT KPK atau instansi penegak hukum lain, uang Dollar dan mata uang asing lainnya terselip di antara gepokan uang Rupiah. Penggunaan Dollar dalam bentuk cash tampaknya untuk mempermudah pemberian uang agar tidak terlihat gepokan bila memberi dalam bentuk Rupiah. Bayangkan kalau memberi 150 juta Rupiah dalam bentuk gepokan bila dikonversi dalam Dollar 'hanya' butuh 10 lembar 1000 Dollar saja. 


Bentuknya jadi tipis dan mudah dikantongin daripada bawa tas untuk menggendong uang Rupiah yang menimbulkan kecurigaan orang lain. Konon pemerintah Singapura sampai tak menerbitkan lagi pecahan 10.000 SGD karena ditengarai digunakan untuk mempermudah transaksi gelap tersebut. 

Sekilas permainan ini biasa saja, padahal bisa dibayangkan bila setiap orang harus menukar Dollar untuk melakukan transaksi gelap, sementara yang tertangkap OTT saja sudah ratusan. 

Berapa juta Dollar sudah disita KPK atau penegak hukum lain, belum lagi yang masih berkeliaran bebas bertransaksi gelap, jumlahnya mungkin lebih banyak dari yang terkena OTT. Bila diakumulasi, bisa jadi Dollar yang berputar pada transaksi gelap ini jumlahnya milyaran sehingga berperan signifikan dalam peningkatan nilai tukar Dollar.

2. Perilaku Konsumtif

Zaman saya kecil dulu, walau harganya masih jutaan ternyata tidak mudah membeli rumah dan mobil. Sekarang walau harganya sudah ratusan juta, bahkan milyaran, masih banyak orang mampu membeli rumah dan mobil walau harus dengan kredit. 

Sebelum krisis moneter, kebanyakan orang hanya membeli barang dalam bentuk cash, masih jarang orang membeli barang dalam bentuk kredit. Sekarang hampir setiap orang 'dimampukan' untuk memiliki barang walau harus dengan kredit.

Peningkatan kebutuhan akan barang tanpa diiringi produksi di dalam negeri tentu membuat kita harus mengimpor dari luar negeri dan membutuhkan mata uang asing termasuk Dollar untuk membayarnya. 

Neraca perdagangan yang tidak seimbang alias defisit lambat laun membuat nilai tukar semakin menurun karena kebutuhan impor lebih besar daripada ekspor barang menyebabkan peningkatan nilai tukar Dollar terhadap Rupiah. Sebaiknya mulai dipertimbangkan kembali menggunakan mata uang negara asal impor misalnya Vietnam atau Tiongkok agar tidak teralalu tergantung pada Dollar.

Bila kita bandingkan dengan negara tetangga, masyarakat kita lebih modern dalam penggunaan hape terbaru atau mobil teranyar. Lihatlah negara tetangga Malaysia atau Thailand, jarang sekali mobil baru bersliweran di jalan, demikian pula hape lama masih banyak dipakai warganya ketimbang harus membeli baru. 

Iklan hape dan mobil tidak terlalu mencolok di sana, sementara di negeri ini justru masyarakatnya masih senang gaya dengan mainan baru walau harus kredit sehingga meningkatkan impor barang tersebut karena belum mampu diproduksi di negeri sendiri. Perilaku inilah yang memicu impor besar-besaran dan berperan dalam menurunkan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar.

3. Perilaku Spekulatif

Selain gaya, masyarakat kita juga sering menumpuk barang atau dengan kata lain 'investasi' baik dalam bentuk tanah, rumah, emas, Dollar atau barang berharga lainnya. Investasi khususnya dalam bentuk spekulasi mata uang juga turut berperan dalam menurunkan nilai tukar karena kebutuhan Dollar meningkat sementara Rupiah semakin tidak bernilai karena ditukar dengan mata uang asing. 

Secara nominal mungkin mereka untung karena nilai Rupiah yang bakal dimiliki ikut terkerek dengan naiknya nilai tukar, tapi secara intrinsik atau nilai barang justru semakin mahal karena harus diimpor dengan menggunakan Dollar. Akhirnya secara riil nilainya sama saja, bahkan bisa jadi lebih mahal sekarang karena praktek spekulasi tersebut.

* * * *

Sebagai perbandingan selama 40 tahun terakhir per tanggal 1 Januari 1978, 1 USD = 442 Rupiah; 2,37 Ringgit; 20,3 Baht; 7,3 Peso; 239 Yen. Sementatar per 31 Agustus 2018, 1 USD = 14788 Rupiah; 4,11 Ringgit; 32,76 Baht; 53,48 Peso; 111 Yen. 

Tampak bahwa depresiasi Rupiah paling besar yaitu sebesar 3445%, sementara Ringgit hanya 173%, Baht 161%, bahkan Yen malah terapresiasi 215%. Paling dekat dengan Rupiah adalah Peso yang terdepresiasi 764% dalam kurun waktu 40 tahun. Ini menunjukkan bahwa Rupiah sangat rentan untuk kembali jatuh ke jurang depresiasi apabila masyarakat kita tidak segera mengubah perilaku konsumtif dan koruptif menjadi produktif dan kreatif. 

Lalu kenapa Jepang bisa terapresiasi? Karena produksi mereka tinggi dan nilai perdangangannya surplus sehingga mereka meraup banyak uang kembali ke negerinya. Politik dumping bisa jadi masih dipraktekkan sehingga cenderung lebih menguntungkan mereka sebagai negara produsen ketimbang negara konsumen seperti kita.

Ledakan Dollar bakal terjadi di pembukaan bursa awal Senin besok pasca kemeriahan Asian Games apabila kita masih terlena dan mabuk kemengangan dengan mengabaikan potensi kehancuran ekonomi beberapa bulan mendatang. Kasus Venezuela bukan tak mungkin terjadi di negeri kita bila perilaku kita masih konsumtif dan koruptif serta spekulatif seperti sekarang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun